Sheren memeluk Shaka dengan riang saat pemuda itu baru saja tiba di depan kelasnya. Hal ini tentu saja membuat Shaka kaget.Ada apa kira-kira? Kenapa adiknya bisa sangat senang seperti ini? Apakah dia memiliki pacar baru? Lalu, bagaimana dengan Shawn?
"Ayo antar aku ke suatu tempat, aku tidak boleh terlambat sampai ke sana!" Sheren menatap Shaka dengan riang. Pesan yang dia terima sesaat setelah kelas usai benar-benar membuatnya senang. Sedikit demi sedikit, dia mulai menemukan jalan untuk meraih mimpinya.
Shaka menatap adiknya dengan tatapan penuh tanya. "Kamu mau ngapain sih? Kamu mau kencan ya? Punya pacar baru?"
"Bukan itu! Sudah, jangan banyak tanya! Antarkan aku ke tempat yang kumau!" Suasana hati Sheren terjun bebas melihat reaksi sang saudara kembar. Dari banyaknya kemungkinan pilihan, mengapa kakaknya justru memiliki pemikiran bahwa dia akan pergi berkencan dengan laki-laki? "Lagipula kembaranku tersayang, aku enggak akan mengajakmu jika aku pergi berkencan!" Kemudian, Sheren menarik tangan Shaka untuk mengikutinya. Dengan langkah sejajar, Shaka berjalan bersama Sheren sembari memendam tanya dalam hati.
***
Shaka memandang gedung tinggi di hadapan mereka melalui kaca mobil dengan senyum merekah, namun binar matanya menyiratkan binar misterius yang aneh. Shaka menepuk pundak Sheren dengan riang. "Jadi, ada apa ini? Kamu diterima menjadi artis di sini?"
"Peserta pelatihan, Shaka. Aku belum resmi diterima debut di perusahaan ini," koreksi Sheren sambil melepaskan sabuk pengaman.
Shaka tersenyum,tangan kirinya mengacak lembut rambut sang adik. "Aku yakin kamu pasti bisa diterima. Jadi, ini ya maksudnya kegiatan rahasiamu?"
"Betul! Kamu marah karena aku gak kasih tahu kamu?"
"Enggak, buat apa aku marah? Kamu memiliki privasi yang harus kuhargai, begitupula sebaliknya. Dan aku enggak akan mengganggu privasimu selama itu enggak membahayakan nyawamu."
Sheren tersenyum, dirinya merasa beruntung sekali memiliki kakak yang sangat pengertian seperti Shaka. "Aku keluar dulu ya? Nanti bisa jemput aku? Doakan aku lancar menjalani pelatihanku."
"Tentu, hati-hati di sana ya? Hubungi aku jika kamu sudah selesai berlatih."
Sheren mengangguk. "Dan jangan beritahu Mama dan Ayah, aku sendiri yang akan memberitahu orang tua kita tentang ini." Lalu, Sheren turun dari mobil. Kemudian, dia berlari kecil menuju gedung besar itu. Shaka menatap dengan senyuman pada punggung dengan ransel berwarna biru muda itu. Lalu, Shaka mengemudikan mobilnya meninggalkan gedung besar ini setelah memastikan adiknya benar-benar masuk ke dalam gedung.
***
Sheren memasuki gedung dengan kebingungan. Dia sudah berada di lantai delapan dan kini, dia tidak tahu kemana dia harus pergi. Jadi, Sheren hanya berjalan berputar-putar di lorong yang panjang dan luas nan sepi itu.
"Sheren?"
Sheren menoleh saat seseorang memanggil namanya. Suara itu berasal dari belakangnya. Saat berbalik, dia menemukan seorang remaja laki-laki seusianya. Remaja itu mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru dengan motif kotak-kotak berwarna hitam, lengan panjang kemeja itu digulung hingga siku, kancing kemejanya dengan sengaja tidak dikancing sehingga memperlihatkan kaos polos hitam yang dia kenakan, sepatu kets hitam putih dan celana jeans hitam menjadi penyempurna penampilannya. Oh Tuhan, berikan kekuatan pada Sheren untuk tidak merona di depan pemuda ini.
"Oh hai Shawn."
Shawn menatap Sheren penuh tanya. "Sedang apa kamu di sini?"
"Aku sedang mencari Ibu Wendy." Itu benar. Wendylah yang mengirim pesan pada Sheren bahwa dia lolos audisi dan menyuruhnya datang ke perusahaan ini dan menunggunya di lantai delapan.
Berbeda dengan ekspresi Sheren yang kebingungan, Shawn justru kaget saat mendengar penuturan Sheren. Namun, rasa kaget itu lalu berganti dengan rasa senang luar biasa. "Selamat bergabung dengan kami, She. Aku harap kamu betah disini. Oh ya, tadi kamu bilang soal Bu Wendy ya? Ayo ikut aku! Aku akan mengantarmu ke Ibu Wendy."
Sheren mengangguk, lalu dia berjalan mengikuti Shawn. Sebuah rasa geli menggelitik perut Sheren,rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu melayang di perutnya. "Kamu dari mana tadi, Shawn?"
"Biasa, ruang latihan. Ingat saat aku dan teman-temanku berada di akademi musikmu?" Sheren mengangguk. Melihat respon Sheren atas pertanyaannya, Shawn lalu melanjutkan, "Hari ini aku latihan untuk episode baru."
"Latihannya rumit ya?"
"Tidak juga karena aku sudah terbiasa. Kamu tadi ke sini naik apa?"
Mereka berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan pelatihan spesial. Sheren menatap Shawn dan pintu itu bergantian. "Ibu Wendy di sini?"
Shawn mengangguk. "Iya, dia di dalam. Ayo masuk!" Shawn mengetuk pintu, kemudian dia membuka pintu itu setelah mendengar jawaban seseorang dari dalam ruangan.
"Ibu Wendy, ada tamu!" Seruan itu Shawn lontarkan saat dia dan Sheren memasuki ruangan itu. Wendy yang sedang berada di dalam ruangan dengan kertas-kertas partitur berserakan di meja kaca menatap Shawn galak. Sheren tersenyum saat tatapan matanya dan tatapan mata Wendy bertemu.
"Shawn, berhenti memanggilku dengan sebutan Ibu Wendy!"
Shawn menatap Wendy dengan tatapan polos layaknya anak kecil. Ekspresi wajahnya pun menyiratkan kesan bahwa dia adalah pemuda lemah dan tak berdaya sehingga membuat orang-orang tidak tega untuk memukulnya. "Tapi Ibu Wendy memang sudah pantas dipanggil dengan sebutan itu."
"Shawn!"
"Iya Mama," tawa Shawn pada akhirnya. Dia memilih mengakhiri kejahilannya saat Mamanya memanggilnya dengan nada penuh perintah mutlak.
"Bu Wendy itu Mamamu?" Sheren bertanya dengan tatapan terkejut. Gadis itu menatap Shawn dan Wendy bergantian. Reaksi Sheren tentu saja mengundang tawa dari Shawn dan Wendy. Shawn lalu mengacak lembut rambut Sheren. Hal ini tentu saja tak luput dari tatapan mata Wendy.
"Iya, saya Mamanya Shawn. Kamu boleh memanggil saya dengan sebutan Tante atau Mama Wendy juga boleh." Wendy menyeringai saat Shawn menatapnya dengan tatapan tajam.
"Baiklah, saya akan memanggil Anda dengan sebutan Ibu Wendy."
"Saya harap kamu mau memanggil saya dengan sebutan Mama Wendy. Tapi saya rasa, memanggil saya dengan sebutan Ibu Wendy adalah sebuah permulaan yang baik."
Shawn menyela. "Ma, Mama bukannya harus melatih Sheren ya?"
Wendy mengangguk. Wanita itu lalu menatap Sheren, "Sheren bisa bermain saxophone?"
"Tidak. Saya belum pernah bermain saxophone."
Wendy menunjuk saxophone berwarna hitam di meja. "Saya akan mengajarkanmu cara bermain saxophone."
Sheren kemudian meletakkan tasnya di sofa panjang di ruangan itu. Lalu, Sheren berpindah tempat ke arah kursi di depan meja saxophone.
"Shawn, kenapa kamu masih di sini?" Wendy menatap Shawn dengan tatapan datar.
"Aku ingin mengenang masa laluku saat menjadi peserta pelatihan," senyum Shawn.
Wendy menatap Shawn datar. "Daripada kamu hanya duduk manis tanpa kegiatan, lebih baik kamu pergi ke kafe di sebelah gedung ini dan belikan dua gelas jus stroberi." Shawn mengangguk, pemuda itu lalu bergegas meninggalkan ruangan.
Melihat interaksi Shawn dengan sang Mama membuat hati Sheren menghangat. Interaksi keluarga Shawn sangat hangat. Pantas saja Shawn memiliki kepribadian yang baik. "Sheren? Ayo latihan!"
Sheren mengambil saxophone di meja. Tangannya terasa sangat canggung dan kikuk saat memegangnya. Melihat itu, Wendy lalu membetulkan pegangan Sheren pada saxophone. "Kamu tahu? Saxophone jika dimainkan dengan tepat akan menghasilkan nada yang indah?"
"Saya pernah mendengarnya, Pelatih. Ada banyak musisi muda yang saya tahu memiliki bakat bermain saxophone dengan luar biasa. Dan Anda benar, bunyi yang dihasilkan sangatlah indah."
Wendy mengangguk. Wanita itu lalu mengajarkan pada Sheren mengenai kunci-kunci nada pada saxophone. Antusiasme, rasa penasaran, rasa cinta pada musik, dan tekad terpancar dari raut wajah Sheren dan Wendy bisa melihat itu. 'Anak yang berbakat dan memiliki rasa cinta pada hal yang merupakan bakatnya adalah hal terbaik yang dilakukan oleh anak manusia. Dan aku yakin dia pasti akan menjadi sukses nantinya.' Wendy membatin seraya tersenyum.
Sementara itu, Sheren merasakan antusiasme yang sangat tinggi. Semangat ini kembali hadir setelah sekian lama tertimbun oleh berbagai macam perasaan yang berlalu lalang di hidupnya. Dan Sheren bersyukur dengan keputusannya menerima taruhan Mama. Nekat memang, tapi dia beruntung karena takdir berpihak padanya.
***
Surabaya, 3 Maret 2020
Hari ini adalah hari dimana aku bisa secara perlahan-lahan keluar dari zona nyamanku. Dan aku mulai menyukainya, terutama pada saat gairah terhadap musik kembali kurasakan setelah sekian lama terpendam dan terlupakan.