"She? Kamu menang lagi?"
"Selamat She!"
"Apakah kamu bisa memenangkan kompetisi berikutnya?"
"Enak ya jalan-jalan ke luar negeri terus!"
"Kamu pasti mendapatkan banyak uang ya? Asyik dong!"
Itu adalah sebagian dari ribuan kalimat yang diucapkan oleh para siswa-siswi saat bertemu dengan Sheren. Kalimat-kalimat itu terasa sangat menyebalkan di telinga Sheren, namun dia tidak bisa berbuat banyak. Jadi, yang dia lakukan hanyalah memberikan senyum pada para siswa-siswi tersebut. Dan dia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju kelasnya karena sebentar lagi akan diadakan upacara bendera.
***
Bisik-bisik kembali di dengar oleh Sheren saat dia berjalan menuju podium di tengah lapangan. Kepala sekolah memanggilnya agar berdiri di podium untuk menerima penghargaan sebagai apresiasi dari sekolah untuknya. Sheren bisa melihat berbagai macam ekspresi para siswa yang kini tengah menatapnya. Ada ekspresi kagum, ekspresi sinisme, dan ekspresi tak peduli dari para siswa. Namun, Sheren tidak menghiraukan itu. Dia kini fokus menatap Kepala Sekolah yang sedang menatapnya dengan senyum bangga seraya berpidato di hadapan para siswa tentang betapa bangganya beliau terhadap prestasi Sheren.
'Aku sudah beberapa kali melalui hal yang sama seperti ini. Berdiri di depan para siswa untuk menerima penghargaan atas kerja kerasku.Namun, entah mengapa, aku selalu merasa terbebani dengan ini semua. Terutama saat ekspektasi-ekspektasi tinggi disematkan padaku.'
"Selamat ya, Sheren," senyum Kepala Sekolah seraya menyerahkan piagam dari sekolah dan sebuah amplop berwarna putih yang Sheren yakini adalah uang untuknya.
"Terima kasih banyak, Pak," senyum Sheren menerima piagam dan amplop dari Kepala Sekolah. Lalu, sesi serah terima itu diakhiri dengan berfoto bersama antara dirinya, para guru, dan Kepala Sekolah.
***
Rhea dan Sashi memeluk Sheren dengan bahagia. Mereka bangga pada Sheren. Namun, euforia mereka harus terhenti karena mereka melihat Theresa tengah berjalan ke arah mereka. Sheren, Sashi, dan Rhea kini tengah dalam perjalanan menuju kelas setelah upacara.
"Hei, kenapa Theresa berjalan ke sini ya?" tanya Sashi. Gadis itu menatap Theresa dengan pandangan aneh. "Bukankah kelas dia tidak berada di arah ini ya?" lanjut Sashi semakin heran. Sementara itu, Rhea dan Sheren hanya terdiam melihat Theresa. Mereka kini tengah mengamati Theresa yang berjalan ke arah tempat Sashi, Rhea, dan Sheren berdiri.
"Ya sudah, masuk kelas aja yuk!" Ajakan Rhea disambut anggukan oleh teman-temannya. Mereka lalu berjalan menuju kelas mereka yang kini hanya berjarak sepuluh meter dari tempat mereka berdiri.
"Tunggu!"
Panggilan dari Theresa seketika membuat tiga remaja itu berhenti berjalan. Mereka menatap Theresa dengan ekspresi curiga, terlebih lagi ada jejak air mata di pipi gadis itu.
"Ada apa?" tanya Rhea sambil menatap Theresa dengan ekspresi dingin.
"Boleh aku bicara berdua dengan Sheren?" pinta Theresa.
Sashi menggeleng. "Mau apa kamu?"
Sheren menepuk pundak kedua sahabatnya itu. "Sudah, gak apa-apa kok. Kalian pergi ke kelas duluan saja." Sashi dan Rhea sebenarnya enggan menuruti ucapan Sheren. Namun, mereka tak kuasa menolak permintaan Sheren karena ekspresi gadis itu yang menyuruh mereka untuk meninggalkannya di sini bersama Theresa. Akhirnya, Rhea dan Sashi pergi meninggalkan Sheren dengan terpaksa.
"Ada apa?"
Theresa menatap Sheren tajam, ada gurat kecewa pada wajahnya. "Tidak bisakah kamu membiarkan aku bahagia, She?! Kenapa kamu selalu menghalangi kebahagiaanku! Sebenarnya, apa salahku hingga kamu membenciku seperti itu?! Belum puas kamu menghalangiku dan Shaka, kini kamu juga menghalangiku dan Shawn?!"
"Bicara apa kamu? Apa yang kuhalangi antara dirimu dan Shawn? Aku bahkan tidak begitu mengenal kalian!" Sheren benar-benar kebingungan, memang apa yang sudah dia lakukan hingga Theresa membencinya? Karena Shawn? Tapi, Sheren tidak pernah melakukan apa-apa dengan Shawn!
"DULU, KAMU MEMISAHKAN AKU DAN SHAKA PADAHAL KAMI SALING MENCINTAI. SEKARANG, KAMU MEREBUT SHAWN DARIKU PADAHAL KAMI SALING JATUH CINTA! SEBENARNYA APA MAUMU? APA SALAHKU? KAMU BENAR-BENAR SERAKAH, TIDAK TAHU MALU, DAN JUGA WANITA MURAHAN!"
Tanpa perlu berkata-kata, Sheren menampar pipi Theresa dengan kencang. Dia sudah sangat muak dengan segala tingkah laku Theresa. "Kamu tahu apa yang paling memuakkan darimu? Kamu selalu saja menyalahkan orang lain atas kegagalanmu. Dan kamu tahu? Kamu lebih murahan dariku, karena apa? Karena kamu dengan gampangnya mengatakan bahwa aku murahan! Orang yang suka menghina orang adalah orang yang paling hina. Kamu lebih hina dariku!" Sheren lalu berjalan meninggalkan koridor menuju kelas. Manik mata hitamnya melihat ada beberapa siswa yang menyaksikan insiden itu, termasuk Nathanael dan Oriana. Namun, Sheren tak peduli. Hatinya terlalu sakit karena hinaan Theresa padanya.
Rhea dan Sashi kaget saat Sheren memasuki kelas dengan langkah lebar, wajah cantiknya terlihat sangat marah. Gadis itu lalu menyambar ranselnya kemudian berjalan keluar kelas dengan cepat. Dia tak mengacuhkan panggilan Rhea dan Sashi. Yang Sheren butuhkan kini hanyalah sebuah ketenangan. Dia sudah sangat muak dengan hidupnya.
"Loh? Mbak Sheren mau ke mana?" Pertanyaan dari satpam pun tidak dia acuhkan. Sheren terus berlari keluar dari sekolah. Lalu, gadis itu menaiki bus yang berhenti di halte yang berada tepat di depan sekolah.
***
Sebuah rumah bercat merah muda yang memiliki berbagai macam tanaman hias yang cantik di halaman rumah yang disulap menjadi taman. Di taman itu terdapat beberapa pepohonan buah yang cukup rimbun. Sehingga membuat rumah itu tampak asri dan sejuk. Sheren menatap rumah itu dengan pandangan hangat, dia merindukan rumah itu sama seperti dia merindukan masa kecilnya yang membahagiakan. Dengan langkah mantap, gadis itu berjalan memasuki rumah itu. Rumah itu tampak sepi, dan pintu depannya terkunci. Jadi, dia mengetuk pintu itu beberapa kali.
Seseorang membukakan pintu dan tampak terkejut melihat Sheren berdiri di sana dengan senyum merekah. "Loh Mbak Sheren? Mbak Sheren sendirian?" tanya wanita itu yang tak lain adalah asisten rumah tangga sang nenek.
"Iya Mbak. Eyang ada?"
"Ada Mbak. Mari masuk mbak!"
Sheren lalu masuk ke rumah tersebut setelah melepas sepatunya dan menyerahkan sepatu itu pada Mbak Lastri. Sheren lalu berjalan cepat menuju taman belakang, tempat di mana Eyang Kakung dan Eyang Putri menghabiskan waktu sebelum makan siang.
Benar saja, kakek dan neneknya tengah bersantai di ayunan kayu yang diletakkan tepat di teras belakang yang berhadapan dengan taman belakang. "Eyang!"
Panggilan riang itu membuat sepasang lansia tersebut menoleh. Eyang Putri lalu berdiri sembari merentangkan tangannya saat menyadari bahwa suara panggilan tadi berasal dari cucu termudanya. Sheren memeluk Eyang Putri dengan riang, begitu juga dengan Eyang Putri.
"She kangen Eyang," gumam Sheren.
Eyang Putri mengangguk. "Eyang juga kangen She."
"She, tadi kamu ke sini sama siapa? Mana orang tuamu?" Pertanyaan dari Eyang Kakung seketika membuat Sheren tegang. Gadis itu tahu bahwa Eyang Kakung memiliki karakter yang nyaris sama dengan Mama, karena Mama adalah putri bungsu Eyang Kakung.
"Di rumah, Mama dan Ayah di rumah," gugup Sheren. Gadis itu lalu melepaskan pelukan Eyang Putri dengan lembut. Sebisa mungkin, dia mengontrol ekspresinya agar tidak tampak gugup.
Eyang Kakung menatap cucu perempuannya dengan tatapan tajam. Tatapan itu mampu membuat Sheren gemetar ketakutan. "Lalu, bagaimana caramu ke sini? Dan lagi, kenapa kamu masih memakai seragam sekolahmu? Kamu membolos ya?"
'Mati aku!' Sheren tersenyum simpul. "Eyang Kakung, aku tidak membolos. Aku hanya pulang lebih pagi."
"Kenapa?"
"Hm? Apanya?"
"Kenapa kamu memutuskan untuk pulang lebih pagi?"
"Aku capek."
Eyang Kakung tersenyum. "Terlalu banyak orang aneh di sekelilingmu, hm? Ya sudah, masuk ke kamarmu sana! Mandi, ganti baju, lalu ikut kami untuk makan ke restoran."
"Tapi Eyang, aku tidak mungkin berkeliaran pada jam segini," tolak Sheren.
"Maka, kamu juga harusnya sadar bahwa itulah konsekuensinya," kata Eyang Kakung.
Respon Eyang Kakung tentu saja membuat Sheren kesal. "Bukan begitu, Eyang!"
"Kita pergi ke tempat Felicia, oke?"
"Kak Feli sedang kerja, Eyang Kakung."
"Maka, kita bisa menginterupsi pekerjaan Felicia. Sudah, cepat ganti baju sana!"
Dengan terpaksa, Sheren berjalan menuju lantai dua tempat kamarnya di rumah ini berada. Dia tentu saja tahu bahwa dia tidak akan menang berdebat melawan Eyang Kakung.
***
Eyang Kakung tidak berbohong dengan kalimatnya bahwa beliau bisa menginterupsi pekerjaan Kak Felicia. Kini, Sheren bersama Kakek dan Neneknya tengah berada di dalam kantor pribadi dokter penyakit dalam itu. Di ruangan ini, tidak hanya ada Kak Felicia, namun juga suaminya.
"Loh Sheren? Kenapa kamu di sini? Tidak sekolah?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh Kak Cyrus adalah pertanyaan pertama yang dia terima saat dia baru saja mendaratkan dirinya di sofa panjang yang empuk.
"Aku memutuskan untuk pulang pagi, Kakak."
"Kenapa?"
Sheren hanya tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaan Cyrus. Dan Cyrus memahami arti senyuman yang diberikan oleh sepupu iparnya itu. Jadi, dia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut. Sheren sangat bersyukur saat keluarganya tidak membahas lebih jauh mengenai tindakannya hari ini.
***
Surabaya, 24 Februari 2020
Aku tahu bahwa aku pasti akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Namun, aku terlalu lelah untuk menjawabnya. Terlalu sangat lelah.