Tangan Mike beralih memegang pinggang Devan yang terasa pas di rangkulan tangan besarnya. Mata mereka bertemu pada satu titik, tanpa disadari mereka saling mengagumi dalam diam. Mike meneguk ludah kasar saat pandangannya beralih kearah bibir Devan yang sedikit terbuka seakan mengundang untuk dilecehkan. Tanpa disadari, kini mereka saling mendekat dengan nafas yang semakin memburu. Debaran jantung terdengar seirama, mata mereka tak berniat beralih pada objek yang sama, bertemu pada nafsu yang semakin membuat mereka merasa sesak. Mike hampir kehilangan kendali kalau saja tangan kecil Devan tak mencengkram keras lengan atas miliknya. Mike hampir saja terjerumus, Devan terlalu menggemaskan untuk menjadi seorang pria.
"Hanya ingin memeluk saja, kok!"
Mike kini memerangkap Devan dalam dekapan hangatnya. Matanya terpejam dengan tarikan nafas panjang meredakan degub jantung yang malah semakin menggila. Tubuhnya bergetar hebat dan membuatnya semakin erat mencengkram tubuh kecil dalam dekapannya itu. Pria itu sudah lama tak merasakan hal semenyenangkan ini, Mike pun ingin sekali mengusahakan yang terbaik untuk remaja mungil yang dianggap adiknya sendiri itu.
"Ohhh..?"
Mike melepas rangkulannya dan beralih menangkup wajah Devan yang terasa sangat lembut di tangan kasarnya. Mereka terdiam cukup lama, Mike berusaha meraba rasa yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya. Rasa ini terasa asing dan di lain waktu membuatnya merasakan nyaman.
"Seminggu tak bertemu denganmu membuatku merasa rindu. Hah… aku senang punya rasa ini, bocah!" ungkap Mike dengan suara yang jelas menyeruakkan lega. Ya, setidaknya rasa rindu yang dulu membeku kini bisa kembali mencair. Mike bisa merasakannya lagi, meski pada raga berbeda.
Devan seketika bungkam, seluruh tubuhnya lemas hingga kembali tubuhnya jatuh dalam dekapan pria itu. Dekapan itu kian mengencang membuat Devan tersadar dari angannya. Matanya memanas, ia merasa sangat terharu. Mike itu orang baru dalam kehidupan Devan, tapi entah mengapa ia sudah menempati sebagian besar tempat di hatinya. Devan bersyukur setidaknya masih ada orang yang mengasihinya.
Hari-hari mereka lalui bersama membuat mereka saling mengenal satu sama lain. Sarapan bersama dengan Mike yang selalu memuji betapa lezat masakannya. Mike bahkan dengan antusias mengisi penuh kulkas dengan banyak persediaan sayur- sayuran, daging dan banyak lainnya berharap dapat memakan aneka masakan lezat sehari-harinya. Mike kini tak tidur lagi di sofa, ia sudah beralih ke kamarnya semula. Sedangkan Devan berada di kamar lain yang baru saja direnovasi. Sebenarnya Mike memaksanya untuk mendesign sendiri ruangannya hingga jadilah sekarang ruangan yang semula nampak suram dengan dinding bercat gelap kini nampak cerah dengan warna biru laut dan berapa ornament cantik. Mike juga membeli perabotan baru yang membuat Devan merasa tak enak akan kebaikan pria itu.
"Apa kau suka dengan kamarmu?" tanya Mike setelah menelan makanan yang ada di mulutnya. Mereka kini tengah duduk berhadapan dengan menu sarapan sederhana yaitu nasi goreng dengan telur setengah matang.
"Suka… Tapi, aku jadi merasa tak enak denganmu," balas Devan setelah menegak air putih miliknya.
"Kenapa?"
"Kau terlalu baik padaku."
"Kau mau aku jadi jahat?" goda Mike dengan menampilkan seringainya.
"Tak begitu juga, sih!"
"Hemm… Jadi hanya nikmati kebaikan ku saja, Ok?"
Mereka saling diam sibuk menghabiskan sarapan yang telah dibuat oleh Devan. Berkali-kali tatapan mereka sempat bertemu dan membuat bibir Mike melebarkan senyum. Devan berusaha tak acuh meski jantungnya berontak ingin balas menampilkan senyum terbaiknya.
"Kau akhir-akhir ini terlihat bebas," tanya Devan dengan tangan sibuk menumpuk piring bekas miliknya dan juga Mike yang ternyata juga telah menghabiskan sarapannya.
"Kau berharap aku tak menemuimu?" balas Mike dengan tatapan fokus ke arahnya.
"Bagaimana mungkin… Ini kan rumahmu! Maksudku, kau tak seperti biasanya yang suka menghilang."
Devan berusaha menghindar dari kontak mata yang menatapnya tajam itu. Ia memilih melangkahkan kakinya berniat membereskan kekacauan di dapur. Tangannya sibuk dengan mencuci satu per satu peralatan itu dengan busa pencuci piring. Devan hampir saja menjatuhkan piring di genggamannya itu saat nafas segar meniup tengkuk telanjangnya.
"Ohh… Baiklah, lain kali aku akan izin kau kalau pergi," bisik suara bariton itu tepat di telinganya.
"Kau sedang menggodaku ya?"
Devan membalikkan badannya dan merengut kesal. Tubuh mereka kini saling bertatapan dengan Devan yang mendongakkan kepala karena tingginya hanya mencapai batas leher Mike saja.
"Apanya… Bukan begitu caraku menggoda," balas Mike dengan menumpukan tangan kirinya tepat di meja belakang Devan. Mereka bertambah dekat, Devan berusaha melarikan diri malah dibuat tercengang ke dua kalinya. Tangan besar Mike kini bertengger di pipi kirinya dan mengusap dengan lembut sudut bibirnya. Devan membeku, tak bisa menolak sentuhan tangan yang terasa sangat mendebarkan dan hangat di saat bersamaan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Devan beberapa saat setelah mendapatkan kesadarannya kembali.
"Diamlah. Ada busa di wajahmu."
Jari Mike semakin gencar menari-nari di sekitaran wajahnya. Menyibakkan rambut milik Devan yang hampir mengenai mata. Turun melewati hidung mancung dan berakhir di sudut bibir Devan yang setengah terbuka. Devan semakin terhipnotis, ia hanya mampu membalas tatapan tajam menghanyutkan itu sampai cubitan di pipi menyadarkannya.
"Aduch…!"
"Haha…. Apa kau sudah tergoda?"
Mike dibuat terpingkal-pingkal dengan tampang Devan yang terlihat bingung. Mata bulatnya mengerjap beberapa kali dan akhirnya ia baru tersadar bahwa Mike telah menggodanya.
"Sialan, kau menipuku!"
Devan kesal setengah mati, meski sebagian dari dirinya menjerit kegirangan saat sadar bahwa ialah sumber dari tawa Mike.
"Sudah ku bilang, tak baik bocah sepertimu mengumpat, boy!" ucap Mike dengan mengacak rambut halus Devan.
"Kau acak rambutku sekali lagi, akan ku pastikan busa ini mendarat dimatamu ya?" ancam Devan dengan memelototkan matanya. Devan yang seperti ini tak ada seram-seramnya malah terlihat semakin menggemaskan. Mike ingin mencubit pipi halus Devan sekali lagi tapi ia harus menahannya kalau tak ingin bocah nakal ini merajuk semakin parah.
"Sadis sekali. Baiklah aku tak akan menggodamu lagi. Cepat bereskan pekerjaanmu, setelah itu ikut aku."
"Kita kemana?"
"Kau akan tau."
Tangan Mike sepertinya tak bisa di ajak kompromi hingga membuatnya terangkat dan mencubit pipi menggemaskan milik Devan sekali lagi.
"Mike….!"
Dan Mike pun sudah lari terbirit-birit sebelum sempat Devan membalas dendam.
"Menurutmu yang ini bagaimana?"
Tunjuk seorang wanita pada gaun panjang berwarna merah dengan beberapa ornament yang menambah kesan elegant.
"Bagus."
Wanita itu mengerucutkan bibir saat sang pria malah asik dengan ponsel pintarnya.
"Ini dan ini lebih bagus mana?"
Kali ini wanita itu berusaha bersabar, ia menunjuk gaun warna merah tadi dengan gaun lain warna hitam yang kali ini lebih pendek.
"Semuanya terlihat bagus untukmu."
Sang pria menoleh sekilas dan kembali lagi pada benda di genggamannya itu.
"Kalau begitu kita ambil dua-duanya, boleh?"
"Ambil sesukamu."
Wanita itu merasa malu saat tak mendapatkan perhatian dari sang kekasih. Beberapa orang disekitarnya pun berusaha menahan tawa. Tapi meskipun begitu ia juga tak mau ambil pusing yang penting ia bisa memanfaatkan kesempatan emas seperti ini, belanja gratis.
Nampaknya interaksi tersebut disaksikan juga oleh Mike dan Devan yang tanpa malu mengemburkan tawa jahat. Sebenarnya Devan merasa kasihan, tapi melihat dua orang berbeda jenis itu ia merasa sangat geli. Bagaimana tidak, wanita itu malah dengan entengnya menyabet beberapa gaun lagi seenaknya tanpa memikirkan sang kekasih yang sok sibuk. Lihat saja nanti, Devan jadi penasaran saat tagihan belanja itu membuat mata sang pria menggelinding, sungguh miris.
"Untung saja aku tak berminat pada wanita," ucap Devan tanpa sadar membuat tawa Mike seketika lenyap.
"Hah?! Kau bilang apa?" tanya Mike saat dirasa Devan bicara dengannya.
"Oh? Aku bilang apa memangnya?" balas Devan berusaha berdalih. Ia melangkah pergi dengan merutuk dalam hati kebodohannya tadi. Mike mengejar dan menyampirkan tangannya di bahu sempit Devan menyisakan tatapan tajam yang mengikuti pergerakan keduanya.