"Dasar! Bagaimana kau bisa?"
"Itu mudah untukku."
Lagi-lagi Devan di buat menjadi manusia paling berharga oleh pria yang bahkan masih baru dalam kisahnya. Devan tak dapat memungkiri, rasa sukanya kini berkali-kali lipat menjadi rasa cinta terhadap Mike. Dan suatu kenyataan yang pasti langsung ia dapatkan, Mike tak mungkin bisa menatapnya seperti pandangannya terhadap Mike. Seketika Devan merasa gamang. Bukankah Devan seperti terjebak dalam situasi yang malah akan semakin menghancurkan harapannya? Lantas apa yang bisa ia lakukan, saat hidupnya malah bergantung pada pria itu?
"Aku tak menyangka kau melakukan ini. Apa karena kata-kata Gista yang membuatmu melakukan ini semua?"
"Tidak juga, sebenarnya aku sudah berencana mendaftarkanmu sekolah sejak beberapa waktu lalu. Kau ingat saat kita pergi ke pusat perbelanjaan? Aku tau kalau kau sedang menatap iri segerombolan anak berseragam itu. Kau nampak sangat iri hingga kau mendiamiku sepanjang hari. Meski sebenarnya kau nampak sangat menggemaskan dengan bibir merah yang mencebik seperti ini," goda Mike dengan mencebikkan bibir. Devan sangat malu, hingga membuat wajahnya begitu memerah, dan lagi- lagi ia dibuat kagum dengan sosoknya, apa Mike memang sepeduli itu?
"Mike! Ku pukul kau!"
Tangan Devan terangkat berniat memberi pelajaran, meski begitu ia tak bisa menghilangkan raut bahagia yang terlanjur digambarkannya. Bibirnya bahkan terus menyungging senyum, meski matanya begitu panas, Devan ingin menangis haru.
"Pukul saja. Sini mendekatlah… Ayo lebih dekat."
"Lepaskan! Kenapa kau malah memelukku, sih?"
Ke dua kalinya tubuh mereka saling berhimpitan. Devan berusaha menjauhkan tubuhnya ataupun mendorong Mike menjauh, tapi sayang, tenaganya tak akan bisa sebanding dengan tubuh besar milik Mike.
"Biarkan. Aku suka memeluk tubuh mungilmu ini," ucap Mike semakin mempererat pelukannya.
"Setidaknya biarkan aku bernafas."
"Baiklah, tak tega juga melihat tubuh mungilmu ini remuk di pelukanku."
Dengan sedikit tak terima, Mike melepaskan rangkulannya. Bibirnya mencebik berusaha menampilkan wajah merajuk.
"Tak cocok kalau wajah garang sepertimu mencebikkan bibir. Alih- alih merasa kasihan, aku malah merasa ngeri," canda Devan membuat keduanya tertawa. Mereka begitu cepat akrab, kedua tubuh yang sama- sama kesepian pasti akan merasa saling simpati satu sama lain. Dalam hati masing- masing dari mereka pun begitu berharap keakraban ini tak akan cepat berakhir hanya karena satu masalah sepele.
"Aku memang punya banyak teman, mereka semua memang membuatku merasa bahagia dengan sifat urakan atau pertandingan kami dalam melakukan kegilaan. Tapi setelah semua itu, hatiku tak pernah bisa damai. Sampai akhirnya sosok remaja datang, dan untuk pertama kalinya aku merasa begitu di andalkan. Aku mulai sayang denganmu, maukah kau jadi adikku?"
Ungkapan Mike begitu membuat Devan bahagia. Setelah sekian lama, baru kali ini ia merasa begitu lengkap.
"Terimakasih, juga maaf karena selalu merepotkanmu," lirih Devan dengan nada serius.
"Kenapa aku merasa suasana jadi haru begini, ya?"
"Jangan menggodaku," datar Devan berusaha tak menyucurkan air mata.
"Pernah ku bilang kan, bukan seperti ini caraku menggoda."
Mike mengedipkan sebelah matanya membuat Devan balas menatap dengan wajah kebingungan. Secepat kilat tubuhnya terbalik dengan tak elegantnya, tubuhnya tersampir di bahu kiri Mike membuat darahnya seketika naik dan membuatnya sedikit pening. Tangannya memukul belakang Mike sambal menjerit, "Mike…. turunkan aku! Kau pikir aku karung beras apa?"
Pagi ini terasa begitu menegangkan untuk Devan. Berkali-kali mematut tampilannya dalam kaca besar yang menampilkan seluruh tubuhnya. Tangannya sesekali membenarkan letak seragam yang menurutnya belum nampak rapi.
"Mau sampai kapan kau berdiri di depan cermin seperti itu?" tanya Mike setelah keluar dari kamar mandi miliknya. Mike sedikit menguap saat jadwal bangunnya secara mendadak jadi lebih pagi karena gedoran pintu di kamar miliknya. Tak hanya itu, Mike pun dibuat ternganga dengan tindakan Devan yang secara mendadak sudah berdiri di depan cermin besar miliknya saat Mike akan keluar berniat berganti pakaian. Mike pun dengan cuek berganti pakaian tepat di samping Devan yang nampak tak menyadari tindakannya itu.
"Kau bicara seakan-akan aku bercermin selama sejam saja," omel Devan dengan menata rambut untuk kesekian kalinya.
"Hampir. Bahkan sekarang sudah jam setengah tujuh," jawaban cuek itu membuat Devan memelototkan mata. Pandangannya teralih ke arah jam analog di meja nakas milik Mike.
"Benarkan? Kenapa kau tak menyadarkanku dari tadi, Mike bodoh!"
Devan secepat kilat berlari ke arah kamar miliknya. Menyambar tas dan sepatu yang baru saja ia lepas label harganya dengan menariknya kasar.
"Lihatlah. Kenapa sekarang aku yang disalahkan?"
Mike mengangkat tangan melihat Devan yang diburu waktu.
"Sudahlah, aku tak punya waktu berdebat denganmu lagi."
Devan menyambar kunci mobil milik Mike dan menarik tubuh besar itu keluar dari apartement mengikutinya.
"Kenapa seperti aku yang salah terus, ya?"
"Mike, cepatlah!" omel Devan sekuat tenaga menarik tubuh besar itu untuk lebih cepat.
"Kau tidak sarapan?"
"Tak cukup waktu, cepatlah!"
Dan akhirnya tampilan rapi Devan harus tercemar dengan peluh yang membasahi tubuhnya.
Jalanan hari senin selalu saja terasa lebih ramai di bandingkan hari lain. Bahkan mobil yang dikendarai Mike lebih sering terhenti karena salipan motor yang secara mendadak menghadang jalannya. Devan kini merasa cemas, bibirnya digigit keras dengan jari yang tak henti mengetuk-ngetuk kaca mobil.
"Duduk dengan tenang, aku tak bisa berkonsentrasi menyetir," peringat Mike dengan mengacak rambut Devan.
"Aku gugup. Bagaimana kalau nanti tak ada yang ingin berteman denganku," cemas Devan yang mulai tak masuk akal membuat Mike memutar mata.
"Kau terlalu berlebihan."
"Kau tak akan mengerti Mike," dengan kesal Devan menggembungkan pipi dan mengalihkan tatapan sepenuhnya ke arah luar.
"Merajuk, Eh?" bujuk Mike dengan menoel bahu sempit Devan.
"Jangan bicara padaku!"
"Baiklah," balas Mike dengan sabar.
Mereka saling diam hingga beberapa puluh menit berlalu. Mike berkonsentrasi untuk menyalip di setiap kesempatan yang membuat Devan harus olahraga jantung setiap kali tancapan gas tak kira-kira dari Mike.
"Sampai."
Mobil mewah milik Mike itupun menepi di depan gerbang sebuah gedung mewah dengan banyak anak murid seusianya.
"Kau tak salah, kan? Kenapa sekolah ini besar sekali?" tanya Devan masih tetap ternganga dengan gedung mewah di hadapannya itu.
"Ehmm… Ini yang paling bagus. Aku dulu alumni di tempat ini."
"Benarkah? Mereka tampak sangat berkelas."
Devan dibuat kecil saat pandangannya kini menatap hampir seluruh siswa yang bahkan datang dengan mobil mewah.
"Kau bahkan lebih dari mereka."
"Aku tak yakin kalau kau yang bicara," ucap Devan dengan menyipitkan mata.
"Sudahlah, kau tak ingin telat di hari pertamamu, kan? Ini untukmu."
Mike merogoh dompet berwarna coklat yang sepintas terlihat penampakan banyak kartu berjejer. Ia menyabet beberapa lembar uang dan memberikannya pada Devan.
"Kenapa banyak sekali? Segini saja cukup kok!" balas Devan membalikkan sebagian uang yang diterimanya. Meski Devan berasal dari keluarga yang cukup terpandang, ia tak akan bisa begitu saja menerima kebaikan Mike yang begitu berlebihan. Meski pun keduanya sudah menjalin ikatan lisan, tak menutupi kenyataan bahwa mereka masih tergolong orang asing
"Tidak apa, kalau sisa ya di tabung."
"Kau seperti ayah ku sekarang." ucap Devan menatap Mike penuh rasa haru.
"Hem… Besok panggil aku daddy jika kau ku beri uang!"
"Sekarang pun bisa, daddy!" bisik Devan tepat ditelinga Mike. Senyumnya melebar tanpa tau efek yang ditimbulkan akibat perbuatannya itu terhadap Mike.
"Sial! Kenapa aku sedikit merasa tergoda dengan bocah itu?" sadar Mike menatap ke arah Devan yang sudah berlari masuk ke gedung sekolah.