Tak seperti bayangan Devan, baru beberapa hari ia bersekolah, nyatanya ia sudah punya teman dekat. Bayangan-bayangan buruk tentang adanya perbedaan pada siswa baru nyata nya tak ia rasakan. Ia memasuki kelas 11 Ipa 1 dengan Fandy sebagai teman sebangkunya. Reno dan Rifky yang duduk tepat dibelakang mereka itupun juga menjadi teman dekatnya saat ini. Devan merasa sangat bersyukur.
"Kalian ingin pesan apa, biar kita yang pesankan," tanya Rifky pada Devan dan Fandy. Tubuh Rifky yang paling tinggi di antara mereka berempat itupun merangkul bahu Reno.
"Aku nasi goreng dan jus jeruk, kau Dev?"
"Samakan saja denganmu," jawab Devan.
"Ok! Kalian cari tempat duduk ya!"
Rifky dan Reno melenggang pergi menuju ke arah stan makanan yang ingin dipesan, sedangkan Devan dan Fandy sibuk melayangkan pandangannya pada deretan bangku yang sebagian besar telah diisi.
"Disana ada yang kosong Dev."
Fandy menarik pelan lengan Devan, dan melenggangkan langkah kakinya diantara banyak siswa yang berlalu lalang. Mereka mendudukkan diri di bangku kosong yang ada di sudut kantin. Bunyi riuh para siswa berebut mendapat makanan yang dipesan dengan cepat. Sudut bibir Devan tertarik saat rasa bahagia melingkupnya, keramaian sekolah yang sejak sebulan terakhir selalu dirindukannya.
"Hey! Kau mau kemana? Duduk dulu disini dengan kami!" ucap seorang pria diantara gerombolan siswa yang bersuara begitu keras hingga membuat atensi Devan kini teralih kearahnya.
"Hahaaha… Dia terlihat tegang, Nath! Santai saja kawan, kami hanya ingin merombak penampilanmu yang terlihat kampungan ini."
Dahi Devan kini mengkerut tajam menatap kurang suka dengan ucapan salah satu pria yang terlihat merendahkan pria berkacamata yang sedang berdiri di depannya. Devan semakin gemas saat pria berkacamata itu hanya mampu menundukkan kepala tanpa membalas tindakan tak pantas yang dilakukan terhadapnya.
"Ku rasa kacamatamu harus kita singkirkan, kau terlihat mengerikan, kawan!" ucap pria lain yang ada di meja yang sama dengan tangan yang kurang ajar melempar kacamata pria yang kini menjadi bahan candaan seluruh siswa di kantin. Devan seketika mengatupkan bibir, geram.
"Kau lihat apa?" tanya Fandy saat mendapati Devan tertegun pada satu objek.
"Kenapa mereka tampak menyudutkan pria berkaca mata itu?" tanya Devan dengan menunjuk segerombolan siswa yang duduk hanya berjarak beberapa meja darinya.
"Oh… Itu sudah biasa, tidak usah dipedulikan," jawab Fandy dengan mengelus pelan punggung Devan. Fandy tak ingin Devan mendapatkan masalah di minggu pertamanya ia sekolah hanya karena pandangan Devan yang tampak menatap geng berandal itu dengan tatapan menantang.
"Disini rupanya!"
Rifky dan Reno datang dengan makanan yang mereka pesan tadi. Menaruh tepat dihadapan masing-masing dan langsung menyantapnya. Pandangan mereka bertiga itupun tertuju ke arah Devan yang masih dengan posisi yang sama, menatap tajam pada satu objek tanpa ada niat menyentuh makanan miliknya. Rifky, Reno, dan Fandy pun saling tatap dengan mengedikkan bahu.
"Kenapa kau tak memakan makananmu, Dev?" tanya Rifky yang duduk tepat dihadapannya. Devan hanya bergeming tanpa ada niat untuk mengalihkan pandangannya.
"Dia sepertinya kesal dengan perbuatan Nathan dan lainnya," Jawab Fandy mewakili keterdiaman Devan.
"Kenapa semua orang disini hanya diam? Bahkan mereka tak ada rasa kasihan, malah sibuk bersorak," tanya Devan memandang satu per satu dari kawannya.
"Tak ada yang berani, Dev!"
"Ku laporkan pada guru saja kalau begitu."
Tangan Devan di cekal oleh Fandy yang duduk di sampingnya. Devan kembali pada posisi duduknya dengan menandang kawan-kawannya tak percaya.
"Jangan, Dev! Jangan buat hari-harimu di sekolah ini jadi lebih menyeramkan."
Kini Reno yang berbicara. Tubuhnya sedikit dicondongkan ke arah Devan.
"Maksudmu," tanya Devan dengan mengernyitkan dahi.
"Nathan itu anak pemilik yayasan dengan penyumbang terbesar di sekolah ini, jadi meskipun kau melaporkan pun akan percuma. Laporanmu bahkan hanya dianggap angin lalu."
"Benarkah? Kenapa ia sok berkuasa sekali?"
Devan heran, kenapa di zaman yang sudah berintelegent tinggi seperti ini masih saja ada orang yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas orang lain.
"Ku beri tau kau ya, jangan ada urusan dengan nya kalau kau mau belajar dengan tenang," nasehat Rifky saat dirasa belum mendapat respon darinya. Devan merasa gamang, sudut hati terkecilnya mengatakan untuk segera membantu pria berkacamata itu, tapi disisi lain ia tak mau mendapatkan masalah dan akhirnya membuat kerepotan untuk Mike.
"Kau mau kemana?" tanya Reno saat Devan kembali berdiri.
"Ke toilet," jawab Devan sedikit sensi.
Devan membasuh wajahnya yang terasa panas karena menahan emosi. Ia menyesal pada dirinya sendiri sekarang, kenapa ia hanya diam saat orang dihadapannya mendapat penindasan. Devan sebal saat ia tak bisa melakukan apapun.
"Puas memandangiku?"
Sebuah suara mengintrupsi lamunannya. Pandangannya pun beralih ke arah kaca besar yang menampilkan sosok pria dengan seringainya. "Apa maksud pria itu? Puas memandanginya? Jangan-jangan pria itu merupakan salah satu gerombolan pembully tadi?" batin Devan.
"Sial!" umpat Devan dengan suara pelan.
Firasatnya tak enak sekarang, ia masih ingat kata-kata Reno tadi, "Jangan bermasalah dengan mereka atau hari-harimu akan buruk di sekolah ini,"
"Kau mengumpatiku? Bahkan setelah beberapa hari yang lalu kau tertawa keras mengejekku, saat tadi di kantin pun kau menatap seakan-akan ingin membunuhku, dan apalagi sekarang... Kau berani mengumpatku?"
Tertawa keras mengejek? Oh, Devan ingat itu, pria yang dilihatnya di mall bersama wanita matre? Kenapa bisa kebetulan seperti ini?
"Kau bisu ya?"
Nathan kesal setengah mati. Tubuhnya mendekat pada Devan, menarik bahunya kasar hingga kini mereka saling berhadapan. Kilat mata Nathan sudah semakin memerah saat Devan malah seperti tak menanggapi kemarahannya tersebut. Baru kali ini ucapan penuh penekanannya tidak berefek pada pria mungil yang hanya mencapai batas dagunya itu. Ia semakin mempersempit jarak diantara mereka dan membuat kedua tangan Devan meremas pinggiran wastafel di belakangnya.
"Bisakah kau memberiku sedikit ruang?" ucap Devan tanpa repot-repot mendongakkan pandangannya.
"Kalau aku tak mau, bagaimana?"
Nathan kini makin mendekatkan wajah mereka dengan sebelah alis terangkat, seringai iblis dari sang berandal sekolah itupun muncul saat Devan mulai meresponnya dengan menggertakkan gigi menahan kesal. Nathan semakin intens menatap Devan bermaksud untuk semakin menyudutkan pria mungil itu. Tanpa sadar matanya kini malah mengikuti jatuhnya tetesan air yang perlahan turun melewati kontur pria itu dan berakhir pada belah bibir ranum milik Devan. Seketika Nathan terdiam, pemandangan itu terlihat begitu erotis di matanya. Tubuhnya seketika panas dingin dengan debaran jantung yang mulai tak bekerja semestinya. Nathan berusaha menetralkan kondisi tubuhnya yang tiba-tiba merasa tak nyaman dengan mengepal erat buku jarinya.
"Ku tunggu kau sampai menyingkir dengan sendirinya, aku tak masalah jika harus menunggu."
Dengan tanpa rasa takut sedikitpun. Devan kini malah menaikkan tubuhnya dan duduk tenang di pinggiran wastafel.
"Brengsek! Tunjukkan pandangan marahmu padaku tadi!"
Nathan berusaha mendominasi setelah berhasil mengembalikan kontrol tubuhnya. Nathan sudah sangat kesal sekarang. Bocah yang dibayangannya akan menundukkan kepala penuh dengan rasa takut, nyatanya malah tak menampilkan ekspresi apapun. Pandangan mereka kini sejajar dengan kilatan mata yang berbeda.
"Aku tak ingin membuat hariku jadi buruk karena masalah sepele seperti ini, jadi maafkan aku oke?" bujuk Devan dengan santai mengacak rambutnya yang sedikit basah. Tindakan itu tak luput dari penglihatan Nathan yang tengah merutuki dirinya sendiri. Nathan tak suka ada orang yang meremehkan kehadirannya, apalagi dengan orang yang secara sengaja ataupun tidak telah mengusik hidupnya.
"Pengecut!"
"Terserah kau mau bilang apa," balas Devan cuek.
Nathan semakin di buat kesal dengan tingkah pria mungil itu. Ia seketika kehilangan ide untuk sekedar menggertaknya. Langsung pergi dan membiarkan masalah ini berlalu tentu saja bukan gayanya, ia masih belum melihat rasa takut di mata sendu itu. Bunyi pintu terbuka pun seketika membuat pandangannya teralih.
"Kemari kau cupu!"
Tangan Nathan mengkode pria berkacamata itu untuk mendekat kearahnya. Ia ingin melampiaskan kekesalannya itu pada pria cupu yang menurutnya hanya membuat pandangannya sakit saja.
"Kau pergi pun akan percuma!" bentak Nathan saat yang dipanggil tak kunjung melangkahkan kaki. Sudut bibir Nathan pun menyeringai saat pria itu nampak bergetar ketakutan, kedua tangannya saling meremas dan kejadian itu tak luput dari pandangan Devan.
"Kenapa kau suka sekali menggertak, sih?!" kesal Devan mendekat ke arah pria berkaca mata itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya Devan sembari mengelus pelan punggung pria itu bermaksud menenangkan.
"Mau jadi pahlawan, ehh?!" sahut Nathan dengan suara yang terdengar begitu mengerikan di telinga si pria berkacamata itu.
Baru seminggu Devan bisa merasakan kegembiraannya lagi karena menginjakkan kaki ke lingkungan sekolah, dan karena pria dengan banyak gelang melingkar di lengan kirinya itu, Devan merasa kehidupan sekolahnya tak akan semenyenangkan dari minggu lalu.