Dentuman musik terdengar begitu memekakkan telinga. Suasana redup dengan lampu kerlap-kerlip yang menghiasi tempat tersebut menambah kesan intim. Aroma menyengat tercium disetiap penjuru ruangan. Seluruh tubuh setengah sadar itu dibuat terlena hingga tanpa ragu melenggokkan badan dengan erotic sesuai irama. Namun semua kebebasan itu nampaknya tak berpengaruh pada pria tampan yang tengah menenggak dengan rakus cairan laknat itu. Tatapan mata yang nampak berang terfokus pada satu titik objek.
"Ada apa dengan tatapan membunuhmu ini? Jika ada yang merasa tersinggung dengan tatapanmu, kita bisa dalam masalah!"
Pria itu mendudukkan pantatnya di samping Nathan. Tangannya terangkat mengelus punggung lebar sahabatnya itu.
"Singkirkan tanganmu dari ku, Bian!" ucap Nathan membuat pria bernama Bian itu menjauhkan tangannya seketika. Tatapannya seketika menyendu hingga beberapa saat wajahnya kembali dengan wajah cerahnya.
"Aku tak yakin, tapi sekarang kau terlihat begitu kesal dengan seseorang, bukan?!" tanya Bian dengan sedikit memajukan wajahnya. Senyum tipis terukir di wajah manis itu kala matanya sibuk meneliti setiap jengkal wajah Nathan yang terlihat begitu menggairahkan. Tangan kirinya seketika menopang kepala menanti jawaban yang keluar dari bibir tebal yang terlihat seksi itu.
"Hemm… dia mengusik pikiranku sejak tadi," balas Nathan membuat Bian berpikir keras. Nathan tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Sudah… Kau bisa mati cepat saat alkohol itu kau tenggak sekali lagi, Nath!"
Bian mencekal lengan Nathan yang ingin menenggak langsung dari botol alkohol miliknya.
"Jangan ganggu aku Bi… Kau pergilah!" ucap Nathan berusaha melepas cekalan tangan pria berwajah cantik itu.
"Tidak. Aku itu- sahabatmu. Aku tak ingin kau membuang waktu berhargamu hanya dengan memikirkan hal tak berguna."
"Kalau bisa aku tak akan seperti ini, nyatanya dengan sikap acuh dan wajah yang menatapku penuh keberanian itu membuat ku benar-benar marah! Sebelumnya tak ada yang seperti itu denganku kan, Bi? Semua orang tunduk denganku, kan? Bagaimana bisa, dia sama sekali tak berpengaruh denganku!"
"Sudah, cukup! Aku sama sekali tak memahami ceritamu. Dia siapa aku juga tidak tau! Tapi yang pasti, kau harus berusaha mengalihkan pikiranmu Nath, ikut aku!"
Bian merampas botol alkohol itu dan menaruhnya di tempat semula.
"Tidak… Aku sedang malas."
"Aku memaksa!"
Tangan kecil Bian menarik Nathan hingga membuat Nathan yang setengah mabuk itu hanya bisa mengikutinya. Mereka melenggang di antara lautan manusia yang tanpa ragu melenggokkan badannya. Tangan Bian terulur menggenggam kedua lengan Nathan yang hanya bisa menurut saja.
"Menarilah denganku," bisik Bian tepat di telinga Nathan. Kakinya sedikit berjinjit dengan tangan yang sudah beralih memegang erat ke dua bahu kekar sahabatnya itu. Senyum lebar terukir di bibir pria berwajah cantik saat tangan kekar itu kini membalasnya dengan memeluk ringan pinggang rampingnya. Bian merasa bahagia sekali sekarang.
"Aku kesal dengan seorang anak baru."
Dengan jelas Bian mendengar Nathan bicara di telinganya. Suara musik yang terdengar semakin memekakkan telinga sudah tak dihiraukan lagi.
"Benarkah? Apa aku tau orangnya?"
Mereka saling bicara dengan posisi yang masih sama. Tubuh yang saling melilit satu sama lain membuat sebagian orang menatap mereka layaknya sepasang kekasih gay.
"Tidak."
"Apa kau mau aku untuk memberinya pelajaran?" tawar Bian. Kepalanya mendongak menatap Nathan yang sama sekali tak membalas tatapannya.
"Jangan. Dia urusanku!" balas Nathan dengan suara yang tiba-tiba dingin.
"Tak biasanya kau seperti ini, jika hanya orang yang tak penting sama sekali maka biar aku saja yang menanganinya."
Secara mendadak Bian merasa hatinya tak tenang. Nathan yang seperti ini tak pernah ia temui. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres dengan orang yang dimaksud oleh Nathan.
"Aku hanya ingin memberikannya pelajaran dengan caraku sendiri."
Seketika Bian menunduk lesu. "Siapa orang itu? Orang yang berhasil mengusik Nathan. Kupastikan akan ku dapatkan dia!" batin Bian.
Bel istirahat telah berbunyi, seluruh siswa pun berhamburan keluar dan langsung mengarahkan langkahnya ke arah kantin. Perut yang sudah berteriak minta asupan nyatanya tak lebih penting saat segerombolan pria tertampan di sekolah itu melenggang di tengah mereka.
Pria dengan tinggi semampai dan terlihat menggoda dengan seragam yang begitu pas melekat di tubuh berotot miliknya membuat para wanita tak bosan-bosannya memekik girang. Tatapan matanya tajam menatap tak peduli dengan kegaduhan yang ditimbulkannya.
"Bodoh!" umpat pria manis itu dengan suara lirih. Bibir yang dipoles sedikit lip balm itu pun menyeringai puas saat Nathan masih menampilkan wajah kaku tanpa sedikitpun menanggapi.
"Kau bicara apa?" tanya pria lain yang tepat berjalan di samping Bian. Tangannya merangkul tubuh pendek itu hingga mendapat tatapan mematikan dari pria cantik itu.
"Diam kau San!" peringat Bian kepada Sandy yang membuat si tubuh tinggi itu menatap Bian takut-takut.
Nathan, Bian, Sandy, Marco, dan juga Randy merupakan pentolan dari SMA elite seantero kota. Dengan wajah diatas rata-rata membuat mereka digilai para wanita. Berbanding terbalik dengan itu, para pria akan bernyali ciut saat disandingkan dengan dewa sekolah itu. Bian, si pria berwajah cantik dengan sikap yang sayangnya begitu sadis saat seseorang berani mengusiknya. Meski ia tak bisa beladiri namun dengan kata-katanya yang sangat tajam mampu membuat lawan seketika mati kutu. Sandy, pria yang suka menertawakan hal sepele yang membuat kawan lainnya menatap datar, meski begitu dalam urusan beladiri ia cukup terbilang tangguh. Marco, si playboy yang dengan terang-terangan mencabangkan hatinya hingga membuat kawannya yang lain sering kali menggeram kesal saat para korbannya sudah mulai rusuh. Randy, pria yang paling pintar, ia juga pendiam di balik sikap pembangkangnya. Namun di balik itu semua Nathan, si nomor satu tak ada yang bisa menandingi kebrengsekan di balik wajah tampan bak dewanya.
"Kalian duluan saja, aku menyusul," ucap Nathan saat sekelibat pandangannya melihat sosok pria yang mengusiknya dari awal mereka bertemu.
"Denganku, ya?!" tawar Bian dengan mencekal lengan kekar Nathan.
"Sudahlah Bi… Kita ke kelas dulu saja," ucap Marco dengan menarik lengan Bian agar melepas pegangannya dari Nathan. Pandangan seperti itu membuatnya mengerti jika sekarang Nathan sedang tak ingin diganggu.
"Tapi…"
Tanpa mempedulikan ucapan Bian, Nathan melangkahkan kakinya menyisakan pandangan tanya dari wajah cantik itu.
"Kita kekelas," putus Randy dengan suara datarnya. Mereka pun melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti dengan Bian yang terus mengikuti pergerakan Nathan hingga ia tak terlihat dari pandangannya lagi.
Sedangkan disisi lain Nathan sedang mengawasi pergerakan Devan. Senyum lebar saat pria pendek itu berkumpul dengan kawan-kawannya begitu membuatnya kesal. Bahkan setelah semua yang dilakukan Nathan untuk menundukkan Devan seolah tak terpengaruh.
Nathan tak suka diabaikan, tapi pria itu melakukannya. Nathan tak suka jika targetnya masih sanggup tertawa, dan Devan masih nampak baik-baik saja dengan berbagai hukuman yang dijalaninya.
"Setidaknya dia harus menunduk takut dihadapanku, kan?!"