Pagi ini Devan mengawali hari dengan perasaan berbeda dari biasa. Matanya beberapa kali mengerjap dengan raut kebingungan. Objek awal yang ia tangkap masih begitu asing hingga membuatnya tak nyaman. Ruangan mewah itu seperti tak sebanding jika tanpa aroma Mike yang terhirup di hidung sensitifnya.
Seketika Devan tertarik ke dunia khayal yang sering kali berspekulasi dari pandangan terjauhnya. Bagaimana tidak, pikirannya terus saja mencari perkara dengan memutar film yang diperankan oleh Mike dan sosok wanita dengan tubuh sintal diatasnya. Pakaian yang sudah tertanggal dengan tubuh saling mencumbu, meraba penuh sensualitas, dan memberikan beberapa gigitan khas bercinta. Erangan nikmat saling bersahutan yang begitu menggema di seluruh ruangan. Bergerak seirama dan saling melengkapi untuk bisa mencapai batas kepuasan. Seketika Devan hadir sebagai tokoh figuran. Hanya bisa membelalakkan mata dengan perasaan tak karuan melihat adegan di depannya.
Memikirkan itu membuat mood pagi Devan hancur lebur. Hatinya sudah terdengar meratap dengan begitu memelas seolah tak tahan dengan kesakitan. Logika berpikirnya pun seperti tanpa dosa malah berteriak keras, "Kau itu Devan! Pria memelas yang dengan beruntungnya dipertemukan dengan sosok baik hati dan baik rupa. Masih ingatkah dirimu tentang rasa tak enak hati? Jangan sekalipun merusak sesuatu yang sudah tertata baik dengan adanya rasa tidak puas yang selalu merongrong!"
Benar saja, harinya pun berlanjut buruk hingga Devan ingin sekali meloncati hari ini berharap besok akan hadir yang lebih baik. Setelah adegan membuka mata dengan penuh pergulatan batin yang menguras emosi, kini Devan harus bertaruh nyawa di tangan orang lain. Bagaimana tidak, Nathan yang saat ini menunggangi motornya dengan kesetanan itu seperti ikut menyumbangkan tubuhnya secara gratis di jalanan keras. Bergerak meliuk-liuk diantara kendaraan yang membuat Devan tak bisa berbuat banyak, lengan yang tanpa memikirkan sungkan itu pun memeluk pinggang Nathan dengan mata yang tak berani menatap.
Tak sampai disitu, kesialan masihlah berlanjut saat gerbang hitam di tempat tujuan mereka tertutup. Devan yang turun dari motor dengan sempoyongan itu pun hanya bisa menatap nanar dengan memegang kedua besi terbentuk itu dengan berteriak keras, "Pak, bukain pak! Saya mau belajar pak! pak!"
Tangg
Balasan berupa bunyi besi yang terpukul keras itu membuat ratapan Devan terhenti. Lengannya secara otomatis terlepas dari genggaman benda keras di depannya itu. Menatap dengan penuh belas kasihan saat gerbang itu bergeser terbuka oleh pria menyeramkan dengan kumis tebal di atas bibirnya.
"Halah! Belagak mau sekolah dengan jam datang yang tak kira-kira. Kau pikir guru akan menunggu waktu bangun mu, apa! Letakkan tas mu disini dan kau segera pergi ke lapangan, berlari tujuh putaran, cepat!"
Seragam Devan sudah tak berbentuk lagi. Banyaknya lipatan asimetris ditambah beberapa titik kusam bahkan membuatnya naik tingkat menjadi tak layak pakai. Memang Devan memakai seragam itu untuk tidurnya kemarin, ia tak enak hati jika harus meminjam kaos dari Nathan. Dan sekarang, seragam itu terkena peluh yang secara tidak sadar dibuatnya untuk mengusap dahi.
Sebelum berangkat sekolah dengan persiapan singkatnya di kamar Nathan, ia memang sempat ditawari pria itu untuk memakai seragamnya sebagai pengganti. Devan yang hanya menempelkan seragam Nathan ditubuhnya itu langsung menggeleng-gelengkan kepala, kain putih itu sangat besar untuk tubuhnya. Lagipula dengan nama yang sudah terjahit rapi di dada kiri itu cukup membuatnya berpikir untuk langsung menolak. Ia tak ingin jika semua orang menyadari seragam yang dikenakannya dan malah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tak penting.
"Bodoh!"
"Heh?" sahut Devan bingung. Nathan yang berlari mundur dengan posisi tubuh menghadapnya itu seketika mengejutkannya dengan kata umpatan.
"Kau bodoh sekali! Disaat aku ingin menyelamatkan mu dari hukuman, kau malah memukul-mukul punggungku dan bergegas turun. Berteriak didepan gerbang dan bersikap seolah meminta hukuman."
"Hufh-hufh... tap-tapi kau tak mengatakan terlebih dahulu, ji-jika kau dalam mode baik dan akan menolongku," sahut Devan dengan masih mengatur nafasnya. Ia yang berlari lurus dengan kecepatan kaki sedang saja, masih kalah jauh dengan Nathan yang berlari mundur dengan nafas stabil. Devan yang terlalu lemah atau Nathan yang memang tak punya lelah?
"Dan kau masih meraba-raba tindakanku? Baiklah, lanjutkan putaran terakhirmu, aku sudah selesai!"
Nathan pun berbalik pergi dan beralih ke berjalan santai. Devan dengan nafas seadanya itu pun langsung berhenti dan membungkukkan badan, kedua lengannya tertumpu di lutut. Matahari yang semakin menantang membuat peluhnya benar-benar menetes jatuh. Mulut yang terbuka berusaha membantu pernapasan untuk kelangsungan hidupnya. Ditengah situasinya saat ini, Nathan malah membebaninya dengan sikap konyol, "Ada apa dengannya?"
"Sudah dipastikan, dia pasti menargetmu untuk dijadikan pengganti dari pria culun berkacamata yang suka dibully oleh Nathan dan kawan-kawannya!" pekik Reno dengan nada khawatir.
Saat ini mereka sedang di kantin. Devan disamping Fandy, dengan Reno dan Rifky dihadapan mereka. Tak lama setelah Devan menyelesaikan hukumannya, bel istirahat pun berbunyi. Ia tak pernah menyangka akan datang ke sekolah dengan melewatkan banyak jam pelajaran pagi.
"Memang saat aku izin pergi ke toilet, aku melihat Nathan sedang berbicara sesuatu ke Devan. Dia pasti mengancam atau berbicara kasar padamu ya, Dev?" Fandy yang awalnya memberi penjelasan pada Reno dan Rifky itu tiba-tiba menyambar pertanyaan kepada Devan. Sedangkan Devan, yang tak ingin bercerita macam-macam itu pun tak menanggapi, menggapai gelas dengan jus stoberi di dalamnya dan meneguknya rakus sampai tersisa separuh gelas.
"Bagaimana ini, kita tak bisa berbuat sesuatu untuk menyelamatkan Devan, apa!" ucap Reno.
"Kita tak punya secuil pun kekuatan untuk melawan Nathan. Lagipula kita tak bisa menyelamatkan Devan, karena memang ia sedang tak dikurung. Nathan hanya seperti anak-anak yang begitu menggilai mainan baru, kita tak pernah tau batas kebosanannya untuk mainan itu," ucap Rifky.
Sedangkan Devan yang ada dalam topik pembicaraan hanya diam. Tubuhnya membungkuk dengan rasa lemas yang semakin menjadi. Kepalanya yang sudah tak kuat menahan denyutan sakit, membuatnya harus menumpu di meja dengan menghadap kanan sembari mata tertutup rapat. Perutnya juga terasa melilit dengan asam lambung yang seketika naik membuat mulutnya begitu pahit. Ini pasti dampak dari terkuncinya di gudang dan berboncengan motor melawan ganasnya angin malam.
"Kasihan sekali, Devan. Tapi kau tenang saja, kami akan selalu ada di belakangmu untuk mendukung. Maaf jika kawan-kawanmu ini tak bisa bergerak lebih maju lagi, disampingmu membutuhkan tenaga yang lebih, sedangkan kami tak punya itu," sahut Reno berusaha menenangkan. Elusannya di rambut Devan masih begitu terasa di tubuh lemah itu.
"Kalau begitu kau habiskan makan mu dulu Dev, biar tak lemas seperti ini," timpal Fandy dengan menggoyang-goyangkan lengan Devan.
"Dev?"
"Dev-Dev-Devan! Devan pinsan!"
Suara panggilan itu adalah kata terakhir yang diingat Devan. Pandangan gelap melingkup dirinya, tubuh yang sakit itu bahkan seketika mati rasa. Namun pikirannya masih saja bekerja. Banyak kejadian dalam dua hari terakhir yang membuatnya merasakan banyaknya rasa sedih, cemburu, marah, dan bingung.
Siswa yang tak dikenal yang secara tiba-tiba menjebaknya di gudang yang begitu mengerikan. Mike yang di dalam ruang tertutup dengan seorang wanita yang bahkan Devan bisa menebak kejadian lebih lanjutnya. Serta perasaan bingung yang selalu saja dibawa Nathan untuknya. Pria itu terlihat baik dengan kata-kata yang seringkali terlontar kasar. Devan tak tau Nathan dalam mode baik atau buruknya, pria itu begitu bias dalam bertindak.