"Nath, kau mau membawaku kemana? Ini sudah hampir setengah sepuluh!" teriak Devan dengan memajukan tubuh. Kedua lengannya mengepal erat di dalam kantong hoodie milik Nathan yang dikenakan. Kepalanya kembali berdenyut dan tubuhnya seperti menggigil kedinginan. Rasa sakit itu kembali lagi setelah ia bangun dari tidur tak sengajanya di rumah Nathan.
"Kau diam saja! Duduk dengan tenang, atau ku jatuhkan!" balas Nathan lantas usil membelok-belokkan setirnya. Devan yang merasa begitu ketakutan pun langsung memukul-mukul punggung Nathan. Ini sudah dua kali Devan diancam hal yang sama, namun mengapa Devan seperti tak belajar dan malah reflek melakukan hal menggelikan seperti itu?!
"Akhh... tidak-tidak! Baiklah aku akan tenang, tapi jangan ngebut dan mengantarku pulang lebih dari jam sepuluh, ya!" pinta Devan dengan mengembalikan posisi lengannya ke dalam kantung. Sedari dari posisi tubuhnya sedikit menunduk dengan punggung melengkung seolah meringkuk, ia takut.
"Kau ini aneh sekali! Kalau nggak ngebut, bagaimana caranya bisa cepat sampai?" lanjut Nathan dengan kecepatan yang tak berkurang sedikit pun. Kepala Nathan yang sesekali menoleh saat bicara semakin menambah ketakutan Devan. Bagaimana kalau Nathan yang tak fokus membuat mereka kecelakaan?
"Aku takut kalau kau menyetir ugal-ugalan seperti ini," jawab Devan.
"Kan aku sudah mengatakannya sejak tadi, pegangan!" titah Nathan. Devan yang menundukkan pandangan itu sontak ingin menjerit saat Nathan melepas satu pegangan setirnya dan menarik lengan Devan memaksa menurut. Mendapati hal itu, Devan pun langsung mendekap tubuh Nathan dari belakang, "Ini terpaksa. Aku memang takut dengan kendaraan yang dikemudikan terlalu cepat, lagipula tubuhku yang kembali melemah juga butuh sedikit sandaran. Ini terpaksa!" batin Devan.
"Kau mau sate?"
Dan disinilah mereka berhenti sekarang. Dengan banyak kendaraan roda dua lainnya yang terparkir. Spanduk bertuliskan Sate Ayam sedikit membuat Devan heran, bukankah jam delapan tadi mereka sudah makan?
"Aku masih kenyang," balas Devan singkat. Mereka yang saat ini duduk di meja terdekat dengan pintu masuk itu pun disuguhkan teh hangat dua gelas besar yang memang dipesan Nathan. Setelah sempat menyeruputnya sedikit, Devan lantas menaruh kepalanya di meja.
"Kalau gitu, satenya satu porsi bungkus, pak!" pesan Nathan pada pria paruh baya pemilik kedai.
"Oke mas, ditunggu ya!" balas bapak penjual.
"Kenapa tadi minta dimasakin? Kalau seperti ini kan, kau lebih baik makan disini saja dan tidak usah merepotkan ku!" ucap Devan pelan. Ia yang menempelkan dahinya di meja sontak menoleh ke arah Nathan yang duduk di sampingnya.
"Jangan lupa perjanjiannya ya, Dev! Lagipula ini bukan untuk ku, kok!" balas Nathan dengan menundukkan mengikuti pandangan Devan.
"Huh?"
"Itu untuk Bian," jelas Nathan.
"Ohh..."
"Kenapa oh mu panjang sekali?" tanya Nathan dengan senyum miring. Sedangkan Devan yang ditatap secara menyebalkan itu pun sontak mengerutkan dahi dan bangun dari baringan kepalanya.
"Tidak, memang kenapa? Lagipula, kenapa harus mempertanyakan hal sepele seperti itu, sih!" balas Devan dan langsung bangkit dari tempatnya setelah pesanan Nathan selesai.
"Terimakasih sudah mengantar, sudah dulu ya!" ucap Devan dengan turun cepat-cepat, ia ingin segera membaringkan tubuhnya dan... bertemu Mike?
"Aku ingin mampir!" timpal Nathan dan seketika menghentikan pergerakan Devan yang melepas kaitan di helmnya.
"Eh? Tidak-tidak, ini sudah malam. Kau tidak tau adab bertamu, ya?" sewot Devan dengan spontan menghentakkan ke dua kakinya bergantian. Devan kesal dengan tindakan Nathan yang tak berubah sedikitpun, semena-mena.
"Kurasa kau yang tidak punya adab dalam memperlakukan orang yang sudah berbaik hati mengantarmu malam-malam begini," ucapan Nathan membuat Devan menatap berang, ia selalu bisa mematikan lawan debat hanya dengan kata-kata dari mulut tajamnya.
Devan bukan orang yang tak tau terimakasih dengan tak mempersilahkan Nathan untuk singgah sebentar. Tapi jelas ini adalah kondisi yang berbeda. Devan tinggal dengan belas kasihan Mike yang sedia menampungnya, ia tak mungkin membuat pria bertatto itu tak nyaman dengan kehadiran tiba-tiba dari orang lain. Di sisi lain, tatapan Nathan yang semakin menuntut itu membuat Devan ingin sekali berteriak di wajah Nathan, "Kau lamban berpikir atau bagaimana? Jelas-jelas kau yang menyeret ku untuk kau perintah. Dengan kondisiku yang sedang tak enak ini, harusnya kau cukup peka untuk segera pergi dan membiarkan ku tenang untuk segera tidur dengan nyaman. Nathan sialan!" batin Devan.
"Itu kan memang... Ah sudahlah, ayo!"
Kalimat bantahan yang sudah disusun rapi nyatanya harus kalah telak dengan gerakan Nathan yang langsung turun dari motornya dan berjalan dengan gaya sok keren mendahuluinya. Mereka pun akhirnya berjalan beriringan menyusuri lantai demi lantai hingga sampai di sebuah pintu yang secara sekelibat mengingatkan Devan tentang kejadian kemarin.
Dengan memejamkan mata dan hembusan nafas pelan, Devan pun menekan bel apartement Mike beberapa kali. Setelah tak mendapatkan sahutan, Devan pun menekan beberapa tombol kunci dan mendorong pintu untuk masuk. "Kau seperti penyusup Dev! Mike tak ada di rumah dan kau malah mengundang orang lain ketempat yang jelas bukan milikmu!" pekik hati Nathan yang sejak tadi tak berhenti mengomentari tindakan yang dilakukan Devan.
"Masuklah!"
"Apartemen di sini katanya paling mewah di kota. Aku jadi ingin membelinya juga!" ucap Nathan dengan kaki yang melangkah masuk mengikuti Devan. Pandangannya pun meliar ke sekeliling, "Rumah ini terkesan manly," pikir Nathan.
"Buat apa? Lagipula, rumahmu sudah sangat bagus dan nyaman."
"Jadi, kau baru saja mengatakan jika rumahku nyaman?" balas Nathan lantas menatap Devan yang nampak bergerak dengan terburu-buru dan berakhir dengan membawa segelas air putih di tangan kanannya.
"Ini minumlah, setelah itu langsung pulang!" titah Devan sembari menyodorkan gelas dan langsung disambut oleh Nathan. Pria itu memang belum sempat meminum teh yang di pesannya tadi karena sibuk berdebat.
"Jahat sekali, aku masih ingin lihat-lihat!"
"Kau jangan seperti itu, ini bukan tempatku," ucap Devan frustasi, terlebih di sini tak ada pemilik aslinya.
"Heh? Maksudnya bagaimana?"
"Ehm... Ini jelas bukan tempatku, ini milik kakakku. Aku merasa dengan mendatangkan tamu ku tanpa adanya izin dari kakak, itu tidak sopan," jelas Devan yang seketika gugup, ia ingin mengatakan alasan selogis mungkin.
"Sebentar-sebentar, kalian kan adik kakak, tapi ku rasa kau bersikap terlalu kaku. Aku jadi teringat kejadian kemarin, waktu kau pergi masuk kedalam rumah dan dalam secepat kilat kau kembali dengan raut menyedihkan. Kau bahkan menampilkan raut memohon dengan memegang ujung baju ku. Percayalah, disaat itu aku berpikir dengan penuh keyakinan jika aku sedang melihat seorang kekasih yang memergoki pasangannya selingkuh," prasangka Nathan yang membuat Devan membelalakkan mata dengan mulut yang terbuka tanpa mengatakan apa pun selama beberapa saat. Devan begitu takut meski kata-kata Nathan tak lebih hanya sekedar gurauan, tapi Devan terlalu menanggapi dengan serius, "Bagaimana kalau Nathan curiga, walau itu sekecil apa pun ia tetap begitu takut!" batin Devan.
"K-kau bicara apa, sih! Lebih baik kau pulang sana!" sangkal Devan setelah memaksa tubuhnya untuk merespon.
"Serius? Tak ada seorang pun yang pernah mengucapkan kalimat itu padaku, ya!"
"Aku yang pertama, jadi aku mohon, pulanglah!" pinta Devan dengan sangat. Ia bahkan sampai menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada, berharap Nathan menurut karena permintaannya yang ingin segera dipenuhi itu.
"Kau bahkan memberiku minum air putih tanpa mempersilahkan ku untuk duduk," timpal Nathan lagi, pria itu seolah mempermainkan dirinya.
"Hufh... Ya sudah, minum sambil duduk, lalu pergi dari sini!"
Dengan memijat kedua pelipisnya, Devan mengikuti arah gerak Nathan yang tak menuju sofa dan malah menuju ke arah meja panjang di sisi pojok dengan beberapa barang. "Jangan sentuh apa pun!"
"Kenapa? Kau pelit sekali."
"Bukan begitu..."
"Apartement ini begitu mewah, tapi rupanya kakakmu itu sedikit kurang rapi, ya!" ucap Nathan setelah melihat beberapa botol berserakan di kamar Mike yang terbuka.
Mendengar kata-kata Nathan, Devan lantas berjalan cepat dan mendekat kearah pintu kamar Mike. Benar, itu sangat berantakan. Pikiran negatif pun merancang bayangan, Mike yang mabuk dan bersenang-senang dengan wanita kemarin. Mike yang bergerak bebas dengan jamahan yang terburu-buru dan membuat ranjangnya berantakan. Suara erangan dan jerit kepuasan mengalun memenuhi seluruh ruangan. "Tidak, tidak, tidak! Jangan sakit hati Dev! Jangan menangis! Kembalilah ke ekspresi normal mu sebelum Nathan menyadari kesedihan mu untuk ke dua kalinya!" jerit logika Devan yang masih bisa tersadar.
Logika dan hati di dalamnya seketika bertarung, sedangkan Devan sudah sedikit linglung untuk menangkap setiap anggapan. Seluruhnya di abaikan, logika yang masih berusaha menjaga privasi dan teriakan hati yang ingin segera dilampiaskan dalam tumpahan tangis, ia hanya terdiam, masih begitu bingung dengan perasaannya.
"Mungkinkah ia sudah menambatkan hatinya untuk Mike sedalam itu?" pikir Devan dengan ketidakpercayaannya.
"Dev!"
Memejamkan mata dengan erat, ia harus sadar, itu suara Mike. Bersikaplah seperti biasanya, Dev!