"Ini tempat apa?" tanya Devan menatap sekeliling dengan raut kebingungan. Pria dengan wajah yang masih terlihat sedikit pucat dan bawah matanya yang sedikit menggelap pasca kesakitannya kemarin itu lantas menatap Nathan menuntut untuk dijawab. Wajah orang pasca sakit memang tak lantas berubah segar bahkan setelah istirahat total dua hari, kan?
"Ini basecamp," jawab Nathan singkat. Ruangan yang ada di lantai teratas dengan letaknya yang sedikit tersembunyi itu memang di buat Nathan dengan terkhusus. Sofa, televisi, kulkas, maupun ranjang juga ada di tempat itu. Terkesan berlebihan namun biasa untuk seorang sepertinya. Ia memang suka membuat ruang yang di desain untuknya tinggal karena ia mudah bosan, apalagi kalau harus dirumah kosong yang sayangnya begitu mewah itu.
"Ya, tapi ini besar dan sangat bagus, aku tak menyangka kalau ada ruangan seperti ini," timpal Devan yang masih mengagumi tempat pribadi di gedung sekolah seperti ini.
"Kenapa kau sampai tak menyangka? Buktinya ini mungkin, karena itu memang aku dan semuanya milikku. Itu gampang untuk diwujudkan," sombong Nathan dengan tubuh yang dihempaskan ke ranjang empuk dengan posisi kedua kaki bergelantung disisi bawah ranjang.
"Cckk! Dia mulai lagi dengan sikap sombongnya, jauh berbeda dibanding Mike," ucapan pelan Devan tanpa bermaksud membuat Nathan mendengar.
"Kau bicara apa? Sedang mengumpatku, ya!" desak Nathan yang seketika langsung bangun dari baringannya, matanya menyipit tajam kearah Devan yang berdiri tepat di tengah ruangan.
"Tidak... Aku hanya berpikir, kenapa kau membawa ku kemari?" tanya Devan sedikit membelokkan topik. Bisa kena masalah baru kalau ia ketahuan mencibir pria itu.
"Masakkan aku sesuatu, aku lapar!" perintah Nathan dengan gerakan menunjuk Devan yang berjarak cukup jauh darinya.
"Hah! Begini, kau sangat... Bukan maksudku menolak, tapi sekarang sudah jam masuk dan aku harus segera kembali ke kelas," terang Devan berusaha menolak permintaan Nathan. Ia datang ke sekolah sudah dipastikan ingin menempuh materi pembelajaran untuk bekal ujian dan segera lulus dari jenjang sekolah atas ini. Tapi apa yang kini di dapat, ia malah terlihat sebagai babu yang hanya bisa menuruti perintah sang tuan. Mike membawanya ke sekolah mahal ini sungguh merugikan.
"Tapi kau sudah jelas menolak perintahku, kan?" ucap Nathan yang akhirnya bangkit dan berjalan mendekat ke posisi berdiri Devan. Mereka saling bertatap selama beberapa detik hingga fokus Nathan teralihkan pada satu titik yang terlihat tak jelas dikejauhan. Nathan mendekat pada Devan karena warna abstrak merah mengganggu pandangannya, dan ternyata tebakannya benar, bekas kecupan?
"Lepas Nath, ini sakit!" pekik Devan saat jari Nathan bergerak spontan meraba tempat yang membuatnya penasaran. Jempol tangannya bergerak mengusap kasar pada leher Devan yang kemerahan. Sesaat pikiran buruk Nathan mengganggu, "Siapa yang melakukan ini di leher Devan, atau mungkin..?" batin Nathan menebak-nebak. Bekas merah dileher Devan pun malah kian bertambah akibat perbuatan Nathan.
"Oh... Kau baru saja sembuh dari sakit mu, aku lupa. Tapi sayangnya, aku sama sekali tak peduli dan sedikit pun merasa kasihan. Kau bahkan menikmati hari libur mu kemarin, kan?!" ucap Nathan dengan suara yang terdengar lebih menyeramkan. Pria itu bahkan sudah menangkap pandangan Devan dengan satu lengan lain ikut tersampir di bahu sempit Devan. Tubuh jangkun pria itu bahkan sudah sedikit menunduk untuk mengintimidasi Devan dari jarak dekat.
"Kau sedang membicarakan tentang apa, aku sungguh tak memahami mu!" tanya Devan sembari berusaha untuk menarik lengan Nathan yang masih menempel di kulit lehernya. Itu sudah terasa sedikit perih karena kuku panjang Nathan yang ikut menggores kulitnya.
"Wajah polos dengan pandangan sendu, memangnya ada yang bisa menolak?" sindir Nathan yang dibalas Devan dengan kernyitan dahi. Ia sungguh tak mengerti dengan motivasi Nathan yang bicara seakan mengejeknya. Devan bahkan tak sedikit pun merasa murahan seperti yang dikatakan pria itu. Ia yang harusnya menampilkan wajah marah alih-alih Nathan, pria itu yang mencari topik permasalahan tapi kenapa Devan yang seakan diadili?
"Lepas, lepaskan aku!"
"Kau memang cukup menarik, tapi tak ku sangka barang menarik ini akan berharga sangat murah!" bisik Nathan dengan mengakhiri kedekatan tubuh mereka dengan cubitan di area leher kemerahan milih Devan.
"Akkhh! Kenapa kau jadi seperti ini, Nath!" pekik Devan dan langsung meringis kesakitan. Ia mengusap lehernya yang terasa panas akibat kejahatan Nathan. Devan sedikit merasa terkejut dengan sikap Nathan yang baru diketahuinya. Ia salah jika sempat berpikir Nathan tak akan menyakitinya secara fisik. Sesaat tadi memang bukan hal yang terlalu kejam untuk dilakukan, tapi tak menutup kemungkinan itu akan bertambah parah setiap harinya, kan?
"Cepat masakkan aku sesuatu!" perintah Nathan dan langsung berbalik badan menuju ranjang besarnya. Devan yang merasakan ketidakjelasan Nathan pun hanya bisa menghela nafas, "Sabar... Ini demi pendidikan, ini demi kerepotan Mike yang mencarikan sekolah mahal, ini demi uang yang dijanjikan Nathan supaya ia tak mengambil kebaikan Mike terlalu banyak. Sabar...." batin Devan mensugesti pikiran.
"Pastikan kau dapat membayar jasaku!"
Sedangkan Nathan yang mendengar ucapan terakhir Devan menjadi teringat kejadian tempo hari ketika ia berkunjung ke apartement milik Devan.
"Kau siapa? Oh, pasti teman remaja itu, kan? Silahkan masuk!" sebuah suara menyapanya lewat keterbukanya pintu waktu itu. Pada awalnya ia bingung, siapa lagi ketiga pria bertatto itu? Pergaulan Devan memang pria tampilan seperti inikah?
"Nama mu siapa?" tanya salah seorang pria yang membukakan pintu. Mereka duduk di karpet beludru bawah alih-alih kursi empuk nan nyaman yang hanya dijadikan tempat sandar.
"Saya Nathan, dimana Devan?" balas Nathan dengan cepat, ia memang tak suka basa-basi. Niat awalnya memang ingin menjahili Devan, tapi karena pria itu tak masuk sekolah, Nathan sampai bertekad menemui pria itu.
"Ehemm... Kau berarti teman baru remaja itu, ya?" tanya pria lain ikut menimpali.
"Ya, memang kenapa?" balas Nathan yang mulai tak sabar dengan kelambatan mereka melayani tamu, harusnya mereka bertindak cepat memanggil Devan di kamarnya, kan?
"Hahah... Tidak, aku hanya merasa heran dengan pria mungil sepertinya. Dengan tampilan menggemaskan dan keterampilan memasaknya yang begitu handal, pantas saja Mike begitu melindunginya habis-habisan. Maaf kalau aku sempat berpikir kau adalah kekasihnya," tambah pria itu lagi.
"Ya, bahkan aku saja sedikit merasa tertarik dengannya. Oh sebentar, kalian jangan mencap ku sebagai pria gay, ya! Aku hanya menyayangkan saja, sosok sesempurna itu untuk dijadikan istri malah terperangkap di tubuh pria," sahut suara lain yang menambahkan.
"Kenapa kau diam saja?" tanya salah satu dari ketiga orang itu. Nathan tak berniat berkenalan, jadi ia tak tau.
"Ah tidak."
"Oh ya, kita belum sempat berkenalan. Aku Handis, ini Toni dan ini Ibnu. Dan satu orang kawan kami bernama Mike, kau sudah bertemu dengannya?"
"Ya sudah, Kalau aku boleh tau, Devan benar-benar adik pria bernama Mike itu, kan?"
"Tidak, kami sendiri juga tidak tau sejak kapan mereka sampai sedekat sekarang. Tapi yang pasti, Mike anak tunggal."
Ingatan percakapan tempo hati sedikit membuat pikiran Nathan berspekulasi. Itu membuatnya menggiring kearah yang tak terbayangkan sebelumnya. Pria bertatto yang pada kenyataannya bukan saudara Devan, pandangan yang saling tatap dengan warna berbeda dari kebanyakan orang, dan Nathan sudah bisa menangkap sinyal itu. Bukti membekas yang saat ini dilihat Nathan, mungkinkah Devan dan pria bernama Mike itu sedang menjalin kasih?
Nathan pun membangunkan tubuhnya dan mengawasi Devan yang tengah sibuk dengan kegiatannya saat ini, mungkinkah?