Sean Nathaniel Rezgaf. Ya, itu nama panjang seorang Nathan. Pria dengan ciri khas banyak gelang di pergelangan tangan yang menjadi detail kecil menambah pesona. Jangan bertanya soal tampilan fisik secara keseluruhan, jelas itu akan membuat siapa pun tak percaya diri untuk sekedar menampilkan bayang-bayang.
Seperti kebanyakan tokoh fiksi dengan pembawaan dan ekspresi layaknya pria berandal masa kini, itulah deskripsi yang mewakili. Tubuhnya tegap dengan beberapa otot yang terbentuk hasil usaha lama. Rambut lurus yang selalu tersunggar jari membuatnya mencuat kesana-kemari.
Jangan ditanya soal sepak terjang selama tujuh belas tahun ia mengembang kempiskan rongga dada. Percayalah, setiap cerita miliknya sama sekali tak menimbulkan getaran hati yang membuat orang lain patut mengeluarkan energi untuk sekedar mengimitasi.
Sudah jelas wajahnya sangat tampan, tapi semua itu seolah tertutup dengan semua kelakuan. Bersikap seenak hati tanpa mengenal rasa perih dari beberapa orang yang disakiti.
Berjalan bersama empat kawan lain, Nathan seperti mendapat pembenaran untuk terus berlanjut kenakalan. Tawuran, mabuk-mabukkan, atau tindakan bully, itu memang rutinan.
Lahir dari keluarga kaya raya tak luput membuat hatinya lega dari permasalahan duniawi. Rasa sepi yang kadung menumpuk membuatnya mendesak jiwa untuk bisa melampiaskan benang kusut di diri.
Nathan pada dasarnya bukan sosok yang ingin repot-repot memusingkan kerja otak dengan hal-hal tak penting. Ia hanya selalu menanggapi dengan kejam dan langsung membuang. Hatinya tak ingin mendendam untuk jiwa lain, pikirannya juga di dorong untuk bersikap praktis dengan langsung mensortir, semua itu terkhusus untuk satu orang yang dibenci.
Tapi sungguh, apa yang dirasakannya akhir-akhir ini berbeda. Debaran rasa tak suka memang masih begitu mendengung keras untuk si wanita tua, pikirannya juga masih terisi dengan memori kelam tentang beberapa peristiwa. Tapi kenapa bisa sebutan nama lain juga turut menjeblos tamengnya? Kenapa fokus bencinya sedikit teralih karena itu? Dan kenapa sosok itu seperti terus mengisi tinta guna menulis sebanyak mungkin di pikirannya?
Dering bel istirahat menyentak keterdiaman pria yang asik menumpu wajah. Kelas 11 Ips 3, dengan kebanyakan siswa urakan didalamnya. Ya, waktu istirahat ataupun jam pelajaran sama sekali tak berpengaruh untuk mereka membuat keributan. Saling kejar seperti anak sekolah dasar, bergosip tanpa mengurangi volume suara, ataupun melakukan kegiatan tak sopan lainnya didepan guru. Mereka berani, tak takut dihukum? Jelas, perkenalkan dulu kepala sukunya!
"Milo! Belikan mie ayam lima dan minum seperti biasa, cepat!"
"Baiklah..."
Percakapan singkat dengan ide pokok sebuah perintah itu pun membuat fokus Nathan aktif ke sosok cupu yang berlari tergopoh-gopoh keluar kelas. Siapa kuat pasti akan berkuasa, itu memang kenyataan. Seringai senyum pun tersungging tipis di bibir Nathan, ia bangga dengan perbuatan buruknya.
"Nathan...!"
Sebuah panggilan cukup kencang membuat atensi seluruh pasang mata terarah padanya. Sosok wanita yang bisa dibilang salah satu yang tercantik di sekolah itu pun melambaikan tangan penuh semangat kearah sang pujaan hati, Nathan.
"Tak tau malu, ya? Atau merasa percaya diri dengan wajah hingga membuat kegaduhan di kelas lain?!" omel Bian lantas bangkit dari bangku sebelah Nathan dan memberikan delikan tajam pada wanita itu sebelum membalik badan.
"Nath... Bian itu memang bermulut pedas, ya! Apa kau tak memarahinya, kekasihmu baru saja diolok!" adu wanita yang sampai sekarang masih tak diingat identitasnya oleh Nathan.
"Biar saja," jawaban singkat Nathan membuat sang wanita memberengut kesal. Dengan kata-kata datar serta raut yang jelas menolak kehadiran, wanita itu sanggup memprotes apa? Perkiraannya terlalu jauh untuk bisa mendapat belaan.
"Kau tak ingin makan siang Nath? Ayo ke kantin," ucap wanita itu berusaha menghapus perbincangan canggung sebelumnya. Tangan halusnya pun sudah dengan berani menggapai genggaman Nathan. Kursi yang sedikit demi sedikit berderit dan berakhir menempel. Bian yang menatap dari belakang pun hanya bisa menipiskan bibir.
"Nathannya ada?" tanya seorang siswa pada salah seorang penghuni kelas.
"Ada, dia didalam, Nath!" balas pria itu lantas meneriaki Nathan yang terlihat sedang berpacaran. Devan mengulas senyum tipis pada pria yang sudah membantu.
Sedangkan Nathan yang memang sejak awal menatap arah pintu langsung bergerak cepat menemui Devan. Memberi kode padanya untuk berbicara diluar kelas, mereka pun berakhir dengan posisi berhadapan dengan Nathan yang menyandarkan tubuh di tembok kelas. "Kau datang padaku tanpa perintah, ada apa, maid?" tanya Nathan langsung pada inti.
"Maid?!" tanya Devan meyakinkan pendengaran.
"Memang kenapa?" balas balik itu membuat Devan mengelus dada. Ia berusaha tak terpancing emosi yang akan mengakibatkan debat panjang, Devan masih punya misi yang lebih penting.
"Aku kembalikan, ini juga!" balas Devan lantas memberikan hoodie yang sudah terlipat wangi di dada Nathan. Pria itu pun kemudian merogoh saku celana dan menyisipkan sebuah ponsel di kantung celana milik Nathan.
"Sebentar, kau jangan berpikiran macam-macam! Aku memberimu ponsel ini untuk mempermudahku memerintahmu. Cepat ambil!" titah Nathan lantas menyodorkan kembali ponsel itu ke tangan Devan yang seolah menolak keras. Pria mungil itu menyembunyikan kedua lengannya dibelakang tubuh.
"Aku tidak butuh, ini terlalu mahal! Lagipula kau bisa menghubungi ku lewat telpon rumah."
"Terlalu merepotkan, cepat ambil!" perintah Nathan sekali lagi. Sebuah gelengan berulang membuatnya sebal hingga membuat Nathan mengambil jalur paksaan dengan cara menarik kantung seragam Devan dan meletakkan ponsel disana.
"Nath..."
"Ini juga ambil! Tas ku terlalu penuh untuk menampung," tambah Nathan tak mempedulikan rengekan Devan. Pria jangkun itu mendorong kasar hoodie miliknya kearah dekapan Devan.
"Kan bisa kau taruh di loker terlebih dahulu, kalau sudah waktunya pulang, kau bisa pakai," balas Devan berusaha mengeluarkan saran.
"Aku sudah bawa jaket. Memangnya kau yakin itu sudah sangat bersih sampai kau kembalikan lagi padaku?" tanya Nathan dengan seringai mengejek khas miliknya. Pria itu mulai menampakkan dominannya dengan bersendekap didepan dada.
"Ini sudah sangat bersih dan harum. Aku sudah mencucinya beberapa hari lalu, hanya saja karena aku lupa mengembalikan, jadi masih tersimpan didalam tas," ungkap Devan dengan wajah mendongak. Ia secara spontan membaui hoodie milik Nathan yang dipegangnya dengan pandangan masih terfokus ke pria dihadapannya.
"Kalau begitu cuci lagi! Lama didalam tas pasti membuatnya bau apek," ucap Nathan membuat Devan jengkel setengah mati. Demi apa pun, itu masih begitu wangi dan bersih! Nathan memang seperti mencari alasan untuk mengerjainya.
"Nath...! Baiklah, kalau begitu mana hoodie ku!" ucap Devan berusaha bersabar. Hembusan nafas yang selalu dikeluarkan dengan kasar setiap kali berhadapan dengan pria menjengkelkan seperti Nathan.
"Dirumah," jawab Nathan cuek seakan tak peduli. Pandangannya pun mulai tak sopan karena terus menghindar dari lawan bicara.
"Besok kembalikan, itu bukan punyaku!" tagih Devan berusaha menuntut, ia tak ingin kalah dan terintimidasi seorang diri.
"Ambil saja dirumah ku!" balas Nathan dengan sangat enteng. Pria itu bahkan sudah berpaling pergi dengan lambaiannya.
"Nath-Nathan...!" panggil Devan tetap ditanggapi tuli oleh Nathan.
Suara itu? Suara yang memanggil dengan begitu mesra kepada pria lain! Ya, Nathan mendengar percakapan dua orang bahkan sebelum Nathan sempat mengakhiri panggilan. Itu jelas suara pria bertatto yang satu apartement dengan Devan. Tapi mengapa terdengar begitu intim ditelinga Nathan? Memangnya itu sesuatu yang normal untuk bisa dilakukan sesama pria? Mereka jelas bukan saudara, namun keakraban itu?
Sungguh, sejak semalam pikiran Nathan terusik. Ia sejenak melupakan pikiran tentang ketidaksukaannya pada sang ibu. Ya, Devan adalah sosok pertama yang menjebol pikiran penuhnya.