"Mike, kau kemana? Aku cemas," lirih Devan dengan wajah lesu. Sungguh, ia sangat khawatir dengan pria bertatto itu.
Langkah telanjang yang berbalut celana sebatas lutut dan kebesaran itu pun membawanya kearah balkon kecil. Tangannya menggeser pintu yang sontak mendapat sambutan angin kencang. Dingin, udara yang mampu menembus kulit terlindungnya itu seperti tercampur air. Malam yang begitu terasa senyap dilingkupi langit yang berselimut awan hitam. Suara jatuhan air yang memasuki telinga semakin memperjelas kesendiriannya. Kilap di langit sesekali tertangkap netra hitam milik Devan.
"Ah, Dev... Kau terlalu berlebihan tentang Mike. Dia mungkin saja sedang berkumpul bersama kawan-kawannya," batin Devan berusaha berpikir positif, ia lantas menutup kembali pintu kaca itu. Tubuhnya berbalik dengan lengan yang bergerak cepat mencekal celana milik Nathan yang hendak meluncur bebas. Untung saja kejadian ini tak terjadi saat ia sedang berlari kencang, kalau tidak... sudah dipastikan Devan akan menanggung aib sepanjang masa. Ia sampai bisa berpikir berlebihan, bagaimana kalau kejadian itu benar terjadi? Mungkin saja itu akan langsung diberitakan dengan judul mentereng jelas, "Remaja pria melakukan tindakan memalukan, celana kedodorannya jatuh menampilkan celana dalam yang juga kedodoran."
Ya... Devan terlalu jauh berpikir, lagipula siapa yang akan memberitakan orang tak penting sepertinya?
"Celana ini begitu kedodoran jika ku kenakan, apa aku sekecil itu?" pikir Devan. Remaja itu pun melanjutkan langkahnya setelah menyerut tali ke ukuran pinggang. Mengambil bungkus plastik merah besar yang berisi tas serta pakaiannya yang basah kemudian menyempatkan untuk mencuci.
Ruangan yang sudah cukup terang dengan pencahayaan masih terasa sangat tak mengenakkan untuk Devan. Matanya yang sudah sangat berair karena mengantuk tak juga bisa membujuk pikiran yang kadung berkelana terlalu jauh. Selimut tebal yang harusnya melindungi dari dingin mendadak tak manjur, pelukan Mike yang sudah terbiasa di dapatkan sudah menaikkan semua taraf kenyamanannya.
Waktu terus bergerak mengikuti detik yang berjalan cepat. Bunyi gesekan antar kain begitu terdengar jelas kala Devan terus memindah posisi mencari yang tepat. Mulut yang sudah beberapa kali menguap tak kunjung mendapat obat.
Tidur, harusnya Devan tidur...! Karena kecemasan tak akan bisa membuat Mike mendengarnya. Tak ada yang bisa dilakukan, adanya telepon rumah juga percuma, Devan tak tau nomor ponsel Mike.
Sudah, tidur itu merupakan suatu kegiatan mudah, cukup atur posisi baring yang nyaman dan pejamkan mata. Bayangkan sesuatu yang indah agar mimpi pun juga mengikutinya.
Helaan nafas mulai teratur. Dada kembang kempis serta mata yang sudah tertutup rapat. Pikiran tegasnya sudah mulai dituruti. Selangkah lagi ia sudah menginjak alam mimpi, latar yang mulai terlihat jelas serta hadirnya tokoh cameo yang mulai berjalan pelan dibalik kabut asap. Devan sudah akan menemui sosok pengunjung mimpinya kali ini, sosok tinggi itu sudah mulai menampilkan bias dan Devan sangat menantikan. Tinggal selangkah lagi sosok itu akan jelas, Devan pun berusaha ikut menggerakkan tubuh untuk mempersingkat waktu, tapi secara tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu yang licin, Devan terjerembab dan tubuhnya seperti terayun terjun dari atas ketinggian. Devan tau kalau kesadaran akan mengambil alih, tubuhnya pun tersentak dengan mata yang otomatis terbuka. Nafasnya memburu dan langsung meliarkan pandang. Sebuah suara gemericik air terdengar begitu jelas, bukan air hujan melainkan suara air yang timbul dari kamar mandi.
"Eunggh... Mike? Dia sudah pulang?" ucap Devan sembari mengucek-ucek mata. Tubuhnya bangun dengan pelan dan melihat jam di nakas, 01.45, rupanya ia sempat tidur beberapa jam. Kenapa Mike mandi di cuaca sedingin ini?
Drttt drttt
Sebuah getaran dengan kerlipan cahaya mengalihkan fokusnya. "Heh! Ponsel milik Nathan!" pekik Devan lantas bergerak cepat mengambil dan menyembunyikannya dibawah bantal. Suara tarikan handel pintu membuat Devan buru-buru memperbaiki posisi pembaringan dan mencoba mengatur nafas senormal mungkin. Beberapa kali matanya mengerjap hingga berakhir dengan menutup paksa. Kedua lengannya bersembunyi di bawah bantal, mencengkram ponsel dengan kuat, langkah Mike kian mendekat. Mike tak boleh tau jika ia menerima ponsel dari orang lain alih-alih menerima tawarannya.
"Huh, dasar bocah! Tak biasanya ia tidur tengkurap," ucap Mike yang terdengar pelan memasuki pendengaran. Sedangkan Devan masih berusaha menampilkan ekspresi normal orang tidur.
Di sisi kanan tempat pembaringan Devan begitu terasa pergerakan seseorang, Mike sudah naik keatas ranjang. Jantung remaja itu sudah seperti loncat dari dari tempat aslinya saat Mike menyentuh tak langsung tubuhnya.
"Orang tidur tidak sekaku ini. Hei, bocah!" panggil Mike lantas mencubit pipi Devan yang menghadapnya.
"Auchh! Kau jahat sekali, aku kan sedang tidur..." protes Devan dengan mata yang otomatis terbuka lebar. Bibirnya mengerucut dengan tampang kesal kearah Mike yang menatap dirinya dengan posisi berbaring miring dan lengan kiri sebagai sangga. Devan mengalih posisi, cengkraman tangan pada ponsel pun dilepas, ia berbaring miring menghadap Mike. Pandangan mereka bertemu pada satu titik.
"Mana mungkin, kau terlihat sama sekali tak mengantuk. Matamu bahkan langsung terbuka lebar saat melihatku."
"Siapa bilang! Aku mengantuk kok, hoaamm..." balas Devan diakhiri mulut yang menganga lebar dengan telapak tangan kiri yang menepuk-nepuknya pelan.
"Hahahah... Sepertinya aku akan lebih awet muda jika terus mendengar leluconmu," ucap Mike lantas mengulurkan lengan untuk mengacak rambut Devan.
"Jadi kau mengakui jika sudah tua?" ejek Devan dengan tersenyum lebar. Lidahnya pun tak kuasa menjulur untuk mengejek.
"Usia memang tak bisa dibohongi, tapi kalau kau melihat dari sisi kesenangan wanita... Itu pasti ada padaku," balas Mike, tersenyum miring, alis kanannya pun dijungkit-jungkit dengan tampang sok keren.
"...."
"Kenapa kau diam?" tanya Mike saat leluconnnya sama sekali tak mendapat tanggapan. Lengan kanannya pun kembali terangkat untuk menggoyang lengan Devan yang tiba-tiba terdiam.
"Ah, tidak apa," sahut Devan dengan cepat. Bibirnya dipaksa tersenyum dibalik bayang-bayang Mike dengan wanita yang memang rata-rata mengaguminya.
"Oh ya, maaf tadi aku tak bisa menjemputmu karena ada urusan," ucap Mike secara tiba-tiba beralih topik. Pria yang mengenakan kaos putih berlengan pendek itu pun mengubah posisi tidur menghadap langit-langit kamar, ia mulai mengantuk.
"Tak apa." sahut Devan yang menatap lekat sosok Mike dari samping. Sungguh, ia tak bisa memungkiri tampilan sempurna Mike.
"Ibnu mengantarmu dengan selamat, kan?" timpal Mike lantas menolehkan pandang pada Devan yang menatapnya. "Ah, maksudku... Apa dia menyetir mobil dengan hati-hati?"
"Heh? Tak ada seorang pun yang menjemputku," jawab Devan penuh dahi mengernyit bingung.
"Sial! Berarti dia berbohong," umpat Devan dengan mendengus lirih.
"Lalu siapa yang mengantarmu pulang?"
"Ehmm... Salah seorang teman mengantarku dengan selamat," jawab Devan sedikit ragu. Nathan memang orang yang dikenal, tapi mereka tak berteman. Mereka memang saling kenal, tapi tidak dengan lingkup baik. Ah sudahlah... itu tak penting!
"Ah, syukurlah! Maafkan aku ya..."
"Hei, tak masalah!"
"Karena kita banyak mengobrol aku malah tak bisa tidur," keluh Mike diikuti gerakan tangan yang menarik selimut keatas.
"Sama."
"Kalau begitu kita begadang, besok akhir pekan, kan?" ide Mike pun disambut anggukan oleh Devan. Pria bertubuh besar itu kemudian mengangkat leher Devan dan menyelipkan lengan miliknya sebagai bantalan.
"Hei, kulitmu dingin... Jangan memelukku!"
"Itulah sebabnya, bantu aku untuk hangat...!"
"Tidak. Itu salahmu sendiri, kenapa kau mandi dini hari seperti ini?" tolak Devan dengan berusaha menjauhkan tubuh besar yang sudah menghilangkan badan kecilnya di dekapan.
"Karena harus," jawaban singkat itu rupanya mengusik Devan. Harus, memang sekotor apa tubuh orang yang habis keluar rumah? Sungguh... Haruskah Devan terjebak dengan perasaan sama berulang tanpa ketahuan? Sampai berapa lama Devan sanggup bertahan atau setidaknya menemukan peralihan?