Waktu berselang sangat lama. Rasa bosan pun sudah datang membawa paksa untuk tubuh cepat melarikan diri. Peningnya kepala mendengar bisik suara bersautan seolah berebut mengganggu pendengaran. Banyaknya objek yang menjadi sasaran tak juga membuat rasa tertarik muncul untuk setidaknya menghibur mata yang sudah mulai berkurang kadar kesadaran.
"Sebelas dua lima," ucap Devan setelah usahanya berhasil mencuri pandang pada pergelangan lengan kiri Nathan yang kebetulan terangkat untuk membenahi kerah kemeja. Menelengkan kepala untuk lebih menyakinkan lagi letak jarum jam.
"Ekhem!" dehem keras pria tinggi itu pun menyentak si pelaku. Wajah Devan yang tanpa disadari sudah begitu dekat dengan posisinya yang melongok di depan Nathan pun langsung meringis bodoh dan kembali pada tempatnya semula. "Ini sudah sangat larut, bagaimana kalau Mike pulang lebih dulu?" pikir Devan dengan cemas.
Lebih dari satu jam mereka tetap berdiri di tempat asal. Berderet kursi menganggur tak juga membuat Nathan tergerak untuk berpindah posisi yang lebih baik. Mereka memang sempat duduk di barisan terbelakang dari kursi tengah yang disediakan, namun pria itu seketika menariknya untuk berdiri dan melihat jalannya pertunjukan dengan jarak yang begitu jauh. Kaki Devan sudah kesemutan bahkan sampai terasa seperti jelly, sekali menggerakkannya mungkin ia akan terjatuh, untung saja ada pilar dibelakangnya yang bisa dijadikan sandaran.
Tau apa yang dikatakan Nathan setelah Devan mengusulkan mereka untuk duduk kembali? Pria itu malah menatapnya datar dengan wajah yang mulai bergerak mendekat, mulutnya pun terbuka dengan sangat malas dan berucap, "Aku tidak mau duduk di sekeliling orang yang tak ku kenal. Kalau kau ingin duduk, silahkan! Tapi jangan harap aku membiarkan pintu mobil ku terbuka untuk mu!"
"Sial! Nathan memang selalu bisa memberi siksaan di setiap kesempatan," umpat Devan di dalam hati, entah untuk ke berapa kalinya.
"Ambilkan aku minum!" perintah Nathan dengan lengan yang beralih menyendekap di depan dada.
"Serius Nath! Seorang pelayan baru saja lewat dan menenteng banyak gelas minum!" kesal Devan lantas ikut menyendekapkan lengan di depan dada. Ia berusaha tak acuh dan mencoba mengalihkan fokusnya selain pada kekesalannya terhadap Nathan. Titik yang dengan pasti akan menjadi tujuan awalnya, panggung megah dengan beberapa sorot lampu. Namun itu pun tak membuat Devan mereda, netranya hanya sanggup melihat dengan kedipan cepat dan ia malah langsung mengganti objek dengan karpet merah yang diinjaknya.
"Sangat seksi!" pekik sebuah suara yang tertangkap pendengaran pria yang sedang menekuk wajah itu. Kepala Devan otomatis terangkat dan mendapati dua orang pria berjalan di depannya. "Seorang pria harusnya mengagumi pertunjukan semacam ini. Tapi apa mau dikata, aku gay!" batin Devan tanpa bermaksud membuat pengakuan nyata.
Pria mungil itu sedari tadi sudah dibuat merinding dengan wanita yang hilir mudik menjadi pusat perhatian, ia hanya bisa terdiam tak berani memprotes Nathan karena telah mengajaknya ke tempat seperti ini. Apa jadinya kalau seorang remaja pria sepertinya berucap terang-terangan bahwa wanita-wanita disana begitu membuatnya merinding jijik? Ya, yang pasti Nathan akan menatap curiga padanya.
"Benarkah, aku tidak tau. Lagipula kau kan pelayan ku, kenapa aku harus menyuruh yang lain?"
"Kau tetap saja seperti itu denganku!" protes Devan tanpa sadar sudah melepaskan belitan lengan di dada kemudian mencengkram dengan erat buku jarinya. Kedua kakinya bahkan sudah berjingkrak-jingkrak dengan penuh kekesalan sudah seperti mendapat energi untuk menendang mulut kasar milik Nathan.
"Jangan mengomel, kau sama sekali tidak lucu dengan bibir mencerung seperti itu!"
"Aku memang tidak lucu, sama sekali tidak lucu!" kesal Devan pada Nathan yang menoleh singkat padanya.
Remaja dengan poni yang menutupi keseluruhan dahinya itu pun mengabaikan perintah, ia tak ingin berkeliling sendiri, firasat mengatakan jika pesta yang penuh dengan lautan manusia itu tak sebaik penampilan dari mereka.
Pandangan Nathan bahkan sama sekali tak teralih pada lampu sorot yang ada di panggung. Sesosok wanita yang kini menari dengan sangat atraktif dan memperlihatkan tubuh berlakangnya yang terjiplak dengan sangat jelas. Lipatan di pantatnya pun terpampang nyata meski jarak pandang kedua remaja itu terbilang jauh. Dan jangan tanyakan respon Nathan sekarang, jelas sekali pria itu sudah terbiasa melihat hal-hal seperti itu.
Lihatlah tingkahnya yang begitu sangat santai dengan seulas senyum tipis mengukir. "Dia pasti sedang terangsang," pikir Devan dengan gedekan kepala.
Waktu semakin bergerak melarutkan malam. Musik yang mengiringi terus beralih menyambut liukan. Seorang pria remaja dengan pakaian tanpa lengan berwarna hitam mulai melenggok percaya diri di dukung gemuruh tepuk tangan. Pakaian yang sungguh sangat membuat Devan terkejut, celana super pendek dengan beberapa belitan kain di sepanjang lekuk kaki kecilnya. Sorot lampu memberi terang pada sosok pengambil alih. Wajahnya yang dipoles dengan sangat mengagumkan dengan bandana kelinci dan sebuah kalung lebar hitam yang membelit leher kecilnya. Berjalan disusul dengan pria tinggi besar berotot yang membawa sebuah tali rantai yang ternyata terhubung dengan kalung di leher remaja itu.
Gila. Ini sangat gila! Dengan jujur Devan katakan, ia masih berpikir keras tentang inti dari terselenggaranya pesta ini. Secara garis besar ia memang tau kalau itu semacam peragaan busana, tapi kalau dengan pakaian yang sungguh sangat minim dengan sentuhan kulit antar rekan? Jelas ini bukan sekedar pertunjukan pakaian dalam!
Devan bahkan sampai tak bisa menutup mulutnya yang ternganga lebar karena adegan yang dipertontonkan di atas panggung. Tubuh yang saling mendekap begitu erat, pinggul kecil milik remaja yang menggoyang dengan menggoda dibarengi senyum sensual. Ini jelas pertunjukan dewasa, sedangkan ia, Nathan, dan Bian yang merupakan pemeran? Mereka masih dibawah umur!
Awalnya Devan tak mengira kalau Nathan akan dengan tega mengajak dirinya yang suci penglihatan ke acara semacam ini. Ternyata Nathan yang brengsek tak berubah sama sekali, pria itu memang semacam iblis yang ingin menyesatkan dirinya perlahan.
"Nath! Dari tadi aku sudah diam karena memang ini keinginan ku sendiri untuk mengikuti tawaran mu. Tapi sungguh, kau sudah sangat keterlaluan... Teman mu! Temanmu disana sedang dalam bahaya dan kau malah menonton dengan santai disini?" marah Devan dengan mengarahkan tubuh ke Nathan. Devan tak kuasa menahan lengannya yang sudah mendorong dada bidang Nathan. Pria tinggi itu sampai menabrakkan punggung kearah pilar dibelakangnya.
"Hei! Aku hanya temannya, aku cukup punya batas untuk tak mengatur hidup yang sudah dipilih oleh Bian," balas Nathan lantas menatap Devan dengan tajamnya.
"Kau... Huh...!" dengus Devan lantas mengalihkan pandang dari Nathan. Kepalanya memilih menunduk dengan mata yang tertutup rapat. Ia masih tak bisa menyangka jika pria cantik yang telah mengurungnya di gudang itu mampu melakukan hal memalukan dengan bersentuhan sensual di depan banyak orang. Meski Bian pernah menjahilinya dengan keterlaluan, tapi Devan sungguh merasa khawatir jika lingkungan Bian terlalu liar seperti ini.
"Sudah, ayo pulang!" ajak Nathan kemudian merangkul bahu Devan yang menurun lesu. Menepuk-nepuk singkat dan melepasnya cepat, Nathan bergerak untuk membalikkan badan bersiap pergi dan akan segera diikuti Devan yang menunduk dengan patuh.
Gemuruh tepuk tangan yang lebih dari sebelumnya. Teriakan sorak-sorai serta musik yang lebih gila lagi, penuh desahan. Devan yang mulai dari awal sama sekali tak tertarik itu secara tiba-tiba mengangkat pandang dan menyaksikan titik objek di tengah lampu yang menyorot itu, sudah berganti peran.
Kemeja putih yang tersampir di tubuh besar sang pria seketika dirobek paksa oleh wanita yang memakai lingerie. Mereka saling berhadapan dengan tubuh yang lebih maju untuk mendekap. Menari dengan sentuhan-sentuhan intim hingga berakhir dengan ciuman panas yang semakin menggemparkan penonton. Tatto di lengan kiri yang terpampang jelas di pandangan sendu Devan. Tatto yang begitu tersorot hingga membuat dadanya berdebar tak karuan.
Deg
"Shit!"