"Bel akan berbunyi, tapi kenapa Devan belum juga hadir?" tanya Reno pada Rifky yang sibuk dengan ponsel digenggamannya, sedangkan Fandy masih sibuk berlarian dengan seorang kawan lain. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh menit, namun Devan belum juga menampakkan batang hidungnya.
"Hufh... Iya, ya! hufh... Kita nggak punya kontaknya lagi!" sahut Fandy dengan nafas menderu. Pria itu memang sempat mendengar ucapan Reno saat ia berlari melintas dibelakang bangku mereka. Tubuhnya yang sempat membungkuk dengan kedua lengan menumpu di meja Reno itu lantas beralih ke bangku miliknya sendiri. Dengan posisi miring dan tangannya yang sibuk mengipasi tubuh panasnya dengan buku. Sial sekali, pagi-pagi ia harus meladeni teman sekelas sekaligus tetangga dan kawan yang kebetulan sama-sama mengikuti klub renangnya itu untuk bermain layaknya anak sd yang sibuk kejar-kejaran karena saling ejek, pendingin ruangan yang mati juga membuatnya semakin kesal.
"Kita bukan nggak punya kontaknya, tapi kalian sadar nggak sih, kalau Devan nggak pernah bawa ponsel?" jawab Rifky yang kini mengalihkan perhatian ke arah dua sahabatnya.
"Iya juga ya? Apa mungkin dia nggak punya uang buat beli ponsel?" ucap Reno berusaha mencari alasan yang tepat.
"Ya nggak mungkinlah Ren, kakaknya aja selalu jemput pake mobil, masa beli ponsel nggak mampu!" balas Rifky pada Reno.
"Ya juga sih!" timpal Reno dengan mengangguk-anggukkan kepala. Ia pun bertingkah konyol dengan tanpa sadar menaruh bolpoin di antara hidung dan bibirnya yang mengerucut untuk mengganjal. Rifky yang melihatnya lantas bertindak cepat dengan menyambar bolpoin itu dan menyimpannya di saku seragam. Kalau sudah begitu Reno tak bisa merebut lagi mainannya, ia hanya bisa menipiskan bibir tanda protes tak tersampaikan.
"Eh, bagi pr dari Pak Yono, dong!" sergah Fandy yang seketika keluar dari topik perbincangan.
"Udah bisa nebak sih!" timpal Rifky yang seketika beralih ke ponsel miliknya lagi.
"Ayolah Rif... aku kan kawanmu, kalau aku tak mengerjakan tugas, pasti guru botak itu akan menargetku dengan hukuman lagi," bujuk Fandy dengan pandangan memelas. Tangannya pun menggoyangkan milik lengan kanan Rifky yang tergeletak nyaman di meja.
"Itu salahmu sendiri," ucap Reno ikut menimpali.
"Kenapa kau ikut menyerang ku, Ren? Bahkan aku yakin kalau tugas mu selalu selesai karena bantuan Rifky," sindir Fandy untuk Reno.
"Terserah ku lah... lagipula dia yang selalu menawarkan bantuan," ucap Reno dengan santai, lagipula yang dikatakannya itu memang benar, Rifky selalu saja mengontrol semua tugasnya.
"Kalian sungguh terlalu! Aku juga kawan kalian, tau!" bujuk Fandy seakan tak mau menyerah, ini demi tugas dari guru botak yang selalu menargetnya dengan hukuman. Matanya berkedip-kedip dengan cepat dan membuat Rifky seketika menyerahkan dan melemparkan buku tugas miliknya, ia sudah terlalu jijik menatap Fandy yang seperti menawarkan diri ingin ditonjok.
"Kau selalu saja membuat drama dengan mengatakan hal itu. Ini, cepat tulis sebelum dia memergoki mu lagi!" ucap Rifky dengan suara beratnya.
"Hah! Jadi dia mapel pertama? Sial, Kev... Kau membohongiku!" kaget Fandy saat mendengar ucapan Rifky. Ia seketika mengedarkan pandangan dan menemukan pantat yang bergoyang-goyang untuk mengejeknya.
"Hahahah... Rasakan! Ini pembalasanku karena tingkah jail mu kemarin," ucap pria yang menjahilinya pagi-pagi itu. Pria bernama Kevin itu pun lantas menjulurkan lidah dan menarik kulit mata bagian bawahnya.
"Awas kau, ya! Beruntung aku sedang tak ada waktu untuk bermain kejar-kejaran denganmu," kesal Fandy dengan Kevin yang berada cukup jauh darinya. Fandy sempat merasa bodoh karena perkataan Kevin yang jelas menjebaknya untuk dihukum. Kevin sempat mengatakan jika pelajaran Pak Yono ada di mapel setelah istirahat karena pergantian jadwal mendadak, Kevin jelas menipunya.
Sedang kelas yang menjadi penuh tawa karena pertengkaran konyol Kevin dan Fandy, Rifky malah teralihkan fokus ke seseorang yang berdiri di depan pintu masuk dan berbicara dengan ketua kelas mereka, itu Nathan. Kenapa pria yang menempati lantai satu itu bisa mengeluarkan energi tidak berguna untuk sekedar berkunjung ke kelas mereka?
"Hei! Kalian sadar nggak sih, kalau Nathan terlihat berbeda akhir-akhir ini?" ucap Rifky memulai kecurigaannya.
"Nggak ah, dia masih suka bully, kok!" balas Reno dengan cepat, pria itu rupanya sudah mengambil bolpoin miliknya untuk dimainkan seperti sesaat lalu. Dan Rifky yang menatapnya pun hanya bisa menghela nafas, kenapa harus teralihkan fokus hanya karena hal sepele dari Reno, sih!
"Jangan mengatakan nama itu di saat aku sedang cemas memikirkan nasib ku setelah ini," potong Fandy yang masih mendengar jelas perbincangan di belakangnya.
Beralih ke situasi berbeda, letak dimana sosok yang diperbincangkan tiga orang sekawan tadi, apartemen Mike. Ya, pria bertatto itu memang tak membangunkan Devan yang dari semalam terlihat kurang enak badan. Ia yang biasa terbangun cepat karena aroma masakan Devan pun kini berganti alasan, ia merasa sedikit cemas tentang keadaan Devan yang tak kunjung bangun dari perbaringannya hingga waktu kini susah menunjukkan pukul sembilan empat lima.
Sebuah dering bel apartemen menyela kegiatan olahraga rutin paginya. Mike segera berjalan menuju kearah pintu masuk dan mendapati ketiga orang yang menatapnya dengan cengiran khas masing-masing.
"Kenapa kalian bertiga datang ke sini lagi?" todong Mike langsung dengan pertanyaan.
"Karena suasana di sini begitu menyenangkan di banding basecamp kita," ucap Handis yang langsung diangguki oleh Toni dan Ibnu. Ingat ketiga orang yang pernah memasuki rumahnya tanpa izin dan mengganggu keisengannya dengan Devan yang tak sengaja melukai kakinya sendiri, itu?
"Ya, di sana bertambah ramai juga semakin banyak kericuhan. Sampai sekarang pun aku masih berpikir, kenapa kau mau repot-repot menampung orang seperti kami?" sambung Ibnu setelah mereka diizinkan masuk oleh sang tuan rumah. Mendudukkan diri di sofa, dan memulai perbincangan.
"Tak ada alasan khusus, aku hanya merasa jika keadaan kita serupa," balas Mike singkat. Ketiga orang itu pun hanya bisa menatap kagum ke arah sosok Mike yang begitu baik. Mereka bertiga memang orang jalanan yang menghabiskan hidup dengan tujuan tak jelas. Namun semenjak bertemu dengan Mike, pria itu langsung merangkul dan menfasilitasi hidup mereka. Harapan yang sempat memudar itu pun perlahan sedikit menemukan warna dengan banyaknya pengajaran yang di dapat. Mike bahkan menghadirkan pelatih boxing atau olahraga ekstrim lainnya untuk menunjang hobi kebanyakan dari mereka yang memang liar. Namun meski begitu, tak lantas dari mereka akan merasa bersyukur dengan bantuan Mike, bahkan masih ada golongan yang tak tau malu dan terus memeras pria baik itu.
"Aku tau kau orang yang sangat baik, tapi karena itu juga, banyak dari kami yang memanfaatkan mu," jelas Toni berusaha mengingatkan Mike. Perkumpulan mereka memang tak lantas berubah menjadi baik hanya karena bantuan yang hadir melalui Mike. Mereka masih sering bertingkah berandal dengan mabuk-mabukkan dipinggir jalan atau bermain judi dan wanita. Dan Mike seperti tak peduli akan hal itu, pria itu juga bersikap sama. Namun buat apa kebaikan itu dilakukan Mike pada orang-orang berandal seperti mereka jika disisi lain banyak golongan yang juga membutuhkan?
"Benarkah?" ucap Mike berusaha meyakinkan.
"Huekk!"
"Suara apa itu?" pekik Ibnu setelah mendengar suara muntahan dari jauh. ketiga orang lain pun berusaha memfokuskan pendengaran.
"Huekk!"
"Devan!" panik Mike seketika berlari menuju kamar milik Devan. Mendapati ranjangnya yang kosong dengan selimut yang sebagian tertarik ke lantai, Mike pun langsung mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan berakhir dengan pintu kamar mandi yang terjerembab.
"Hei, ada apa denganmu?" tanya Mike panik setelah sebelumnya berjalan cepat memasuki kamar mandi milik Devan. Ia langsung membungkukkan tubuh dengan tangan yang terulur untuk memijat belakang leher Devan yang sibuk memuntahkan sisa makanan miliknya ke arah toilet.
"Huekk-hueekk!"
"Rasanya mual sekali," adu Devan dengan kepala yang mendongak dan menatap sayu.
"Oke-oke!" balas Mike dan langsung membantu Devan berdiri dan menyuruhnya untuk berkumur di wastafel. Setelah melakukan itu, Mike lantas mengeringkan wajah Devan yang basah dengan tisue kemudian menggendongnya kearah ranjang.
"Masukkan kedua lengan mu ke dalam selimut. Shit! tubuhmu sangat panas Dev."
Kepanikan Mike itu pun hanya disaksikan mereka bertiga dengan keterdiaman. Kedua lengan yang kompak bersendekap di depan dada, dan mata yang fokus pada pergerakan cepat Mike untuk mengompres Devan.
"Sampai sekarang aku tak tau, jenis orang baik seperti apa Mike, ini!"