Disepanjang jalan pulang, Nathan masih mengingat kejadian beberapa saat lalu. Berada dalam satu ruangan yang jelas tak menghendakinya ada di situ. Pria dewasa yang mengintrupsi keisengannya pada Devan, yang bahkan sama sekali tak melirik atau pun penasaran dengan kehadirannya. Mereka duduk dengan posisi Devan dan Nathan berdampingan di sofa panjang, sedangkan pria dewasa itu ada di kursi lain yang hanya muat satu orang. Pandangannya pun sama sekali tak teralih ke Devan yang membalas dengan gugup. Nathan jelas terheran-heran, pria yang datang dengan jaket jeans yang ditenteng di lengan kiri penuh tatto itu terlihat begitu mengintimidasi Devan dengan pandangannya. Mereka saudara kan? Tapi kenapa Nathan begitu merasa janggal dengan keduanya? Mereka bahkan sama sekali tak terlihat mirip! Apa Devan sebenarnya adalah seorang sandraan dari preman itu?
Setelah keterdiaman yang cukup lama, Devan langsung mengambil alih topik dengan memperkenalkan Nathan kepada pria dewasa itu.
"Nathan."
"Mike."
Ya... hanya perkenalan sambil menyebutkan nama tanpa tedeng basa-basi. Pria bernama Mike itu bahkan menyebutkan nama tanpa membalas uluran tangan Nathan, hanya menoleh sekilas dan tanpa ekspresi. Sial! Nathan benar-benar kesal tadi. Selama ini tak ada yang bersikap seperti itu padanya, kecuali Bian. Ya, pria mungil itu kan memang sahabat lamanya.
Lantas karena itu pula, ia berpamitan pulang dengan berbisik pelan ke arah Devan. Namun seperti yang ia duga, pria bertatto itu langsung membuat gerakan tubuh seolah jelas mengusirnya. Ia berdiri dengan cepat dan berjalan melewati Devan, ia lantas berhenti tepat di depan Nathan yang masih duduk dan mengulurkan tangan ke arahnya. Menyalaminya setelah penolakan dan keterdiaman cukup lama, ia diusir secara jelas. Sial sekali memang! Kalau bukan karena tampang tua dan tampilan layaknya preman pasar, Nathan pasti akan memberi wajah datar itu pelajaran. Tidak! Bukan karena Nathan takut dengan pria itu, hanya saja ia orang yang masih beradab untuk tak mencari gara-gara dengan yang lebih tua, percayalah!
Memacu motornya makin kencang, Nathan masih tak melupakan niatnya untuk memberikan Bian sebungkus sate ayam favoritnya. Ya... ia sempat merasa tak enak hati karena pernah memarahi sahabatnya itu karena mengganggu mainan barunya. Jarak yang lumayan jauh jika ditempuh Nathan dari gedung apartement yang ditinggali Devan. Pikiran kesalnya tadi, seketika dihempas Nathan kala motornya memasuki sebuah rumah sederhana dengan halaman masih berupa tanah dan dihiasi banyak bunga warna-warni. Satu pohon mangga besar juga ada di sisi kanan rumah, Nathan biasa memanjat dan memetik buah itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, pohon itu jadi nampak menakutkan kala pandangan Nathan yang meliar.
"Hai!" sapa Nathan setelah pintu yang diketuknya itu terbuka. Bian dengan kaos kebesarannya itu lantas mengangkat satu alis karena kehadirannya. Ya, mungkin saja ia masih marah dengan sikapnya beberapa hari terakhir ini.
"Hai," balas Bian kemudian membuka pintu lebar mengizinkan Nathan masuk. Mereka pun beriringan memasuki rumah sederhana yang sebenarnya adalah basecamp untuk Nathan dan kawan-kawannya. Pintu pun kembali ditutup.
"Woi, Nath! Kemana aja?" tanya Sandy sembari membalas uluran tangan Nathan dengan gaya anak muda. Nathan pun juga melakukan hal yang sama kepada Marco dan Randy.
"Ada urusan."
Rumah sederhana yang hanya menampakkan satu ruangan besar dengan kamar mandi dan dapur yang di sekat sebuah pintu. Dua kasur empuk yang dijejer juga membuat mereka betah disini di banding rumah besar mereka. Ya, pada dasarnya mereka mempunyai kesamaan yang sama, tak menyukai keluarga yang hanya menampilkan keributan dan tanpa kepedulian. Dan seperti tak belajar dengan memilah yang baik dan buruk, mereka lantas meniru perilaku itu dan seperti melampiaskannya pada orang lain.
"Urusan apa? Sekolah sebelah ngajak ribut, lagi?" tanya Marco yang ikut menimpali. Pria yang tengah berbaring diantara Randy dan Sandy dengan ponsel masing-masing digenggaman itu lantas mengerutkan dahi.
"Nggak... nyariin Bian sate ayam di kedai favoritnya," balas Nathan sembari mengangkat bungkusan plastik putih digenggamannya. Pandangannya pun menatap Bian yang duduk dengan bersandar di tembok, lantas Nathan berjalan mendekat ke arah kawannya itu dan mengansurkan bungkusan sate. " Nih!"
"Makasih," ucap Bian dengan cepat menyabet bungkusan itu dan tersenyum girang. Pria itu lantas berdiri dan berjalan cepat untuk mengambil piring serta nasi hangat. Moodnya yang buruk karena beberapa hari Nathan memarahinya pun seketika termaafkan karena kerepotan kawannya itu untuk berusaha meminta maaf.
"Eh, kau cuma bawa satu bungkus, Nath!" tanya Randy yang langsung bangkit dari keterbaringannya.
"Astaga, Nath! Kau tak memikirkan kami, apa?" timpal Sandy dan Marco secara bersamaan. Nathan yang baru mendudukkan diri di tempat Bian tadi, tak mempedulikan pandangan kawan-kawannya yang terlihat merajuk, ia malah mengeluarkan ponsel dan sibuk dengan benda itu.
"Sate dan nasi panas, huhhhh... pasti sangat enak, terimakasih Nath! Oh ya, aku bahkan langsung memaafkan mu," ucap Bian yang menempati duduk di sebelah Nathan. Dengan senyum girang, Bian lantas menyendokkan nasi panas yang sudah diaduk bumbu khas sate.
"Hemm. Makan pelan-pelan, tak ada yang berani meminta makanan mu!" balas Nathan sembari mencubit pipi Bian yang menggembung. Ya, membujuk Bian memang semudah itu.
"Ya, pasti kau sengaja melakukan itu untuk membuat kita tergiur kan, Bi?" ucap Sandy yang sudah sangat menghayati aksi makan Bian yang terlihat begitu lahap. Ia seperti ingin meneteskan air liur karena itu.
"Bukan salahku, ku pikir kalian sudah pulang jadi aku hanya beli satu bungkus," alasan Nathan.
"Sungguh terlalu, tapi kenapa untuk Bian selalu tak kau pikir-pikir dulu. Membelikan ini, itu... kau bahkan juga tak berpikir, bagaimana kalau tadi Bian sudah pulang?" protes Marco yang seketika merasakan kelaparan bahkan di satu jam sebelumnya ia sudah melahap sepiring nasi goreng, sedikit berlebihan memang.
"Tak masalah, kan bisa ku bawa pulang dan ku makan sendiri."
"Ah sial! Kenapa kita mendebat Nathan?" kesal Marco yang kalah berargumen.
"Ya, lagipula cara Bian makan membuatku tergiur, kau jadi food vloger sana!" usulan Sandy yang membuat Bian melayangkan tatapan tajam. Siapa Sandy, berani suruh-suruh seorang Bian?
"Minta beliin si cupu aja!" usulan Nathan yang seketika disambut girang oleh Sandy dan Marco, sedangkan Randy sudah terlihat tak antusias dan kembali asik dengan ponselnya.
"Boleh juga tuh, akhir-akhir ini kita nggak ngerjain tuh anak!" timpal Marco dengan menjentikkan jari.
"Aku telpon, ya!"
"Cepet, bro! Udah laper nih!" ucap Marco lantas menggoyang-goyangkan tubuh Sandy.
"Bentar-bentar masih dering nih!" balas Sandy dan menyingkirkan tangan Marco yang mengganggunya.
"Ye... awas aja kalau nggak di angkat,"
"Woi cupu, butuh tenaga pengirim nih!" ucap Sandy setelah sebuah suara yang ditelponnya menyahut.
"..."
"Nggak usah banyak alasan, ya! Pokoknya dalam waktu setengah jam, kau harus sampai di basecamp!" ucapan ancaman itu seketika mendapat dukungan tawa dari kawan-kawannya.
"..."
"Sate yang ada di depan gang rumahmu!"
"....."
"Kalau kau terlambat sedetik saja, siap-siap besok!" ancam Sandy lantas mematikan ponselnya sebelum mendapat balasan.
"Apa kau tidak keterlaluan, jarak dari sana ke sini cukup jauh, tau!" timpal Randy yang sesaat tadi diam.
"Benarkah? Tapi biarkan saja, aku selalu suka melihatnya ketakutan!" balasan Sandy yang seketika mendapat tatapan mencurigakan dari kawan-kawannya.
"Kau bukan psikopat, kan?" tanya Bian dengan mulut penuhnya. Itu cukup mewakili pertanyaan yang muncul di benak yang lain.
Malam itu pun dilewati kelima sahabat itu dengan memakan puas makan mereka. Saling bercanda dan sedikit cerita yang membuat tawa menyembur. Malam yang sungguh mengasikkan, terkecuali untuk pria berkacamata yang duduk jauh dari perkumpulan. Ya, pria berkacamata yang menjadi bullyan dan pesuruh dari geng itu. Dengan menatap hujan yang mulai deras, ia pun menundukkan kepala dengan raut lesu.
"Hujan... kenapa kau hadir begitu tepat setelah aku memberikan pesanan mereka. Kau ingin menahan ku dan membuat ku tersiksa diantara mereka, atau bagaimana?" jerit hati pria berkacamata itu yang hanya bisa pasrah.