"Shit! Aku tak akan melakukan ini!" marah Mike sembari melempar kostum yang begitu sensual. Rautnya mendingin dengan gertakan gigi yang terdengar jelas, sontak membuat dua orang yang ada dalam satu ruangan dengannya itu berjengkit kaget.
Kemeja putih dengan celana ketat dan begitu pendek, ia sudah bisa menebak maksud Benny. Ia memang tak mempedulikan kerja kantor yang akan diwariskan kepadanya, namun sekedar melihat banyaknya keramaian di media sosial karena pose majalah yang mengusung tema dewasa itu, Mike sekalipun tak terbesit untuk ikut campur. Apalagi Untuk ikut bergabung dengan tubuh terbuka yang difoto sana-sini, Mike bukan tipe pria yang suka mempertontonkan tubuh dengan arahan. Ia suka bertindak sesuka hati.
"Ayo kita pergi saja dari sini," bisik orang yang mengenakan kostum corak warna-warni itu.
"Tidak bisa, ini tugas kita," balasan dari pria satunya. Kedua orang itu saling menempelkan tubuh seolah mengumpulkan kekuatan untuk sedikit memunculkan keberanian. Namun nampaknya itu adalah tindakan sia-sia, bahkan untuk sekedar menolehkan pandangan ke sosok pria tampan dengan perawakan sempurna masih kalah dengan selimut ketakutan yang dilemparkan dari tatapan tajam Mike.
"Panggil boss sialan mu itu!" teriak Mike yang sudah begitu kesal dengan dua orang pria jadi-jadian yang menghindari tatapan marahnya.
"Baiklah-baiklah," balas keduanya dan langsung berlari menuju pintu keluar.
"Dasar tak berguna!" umpat Mike. Lengannya dengan kasar menarik kursi kayu disampingnya dan langsung di duduki. Kaki kanan yang menumpu kaki kiri dengan lengan yang bersendekap siap menyidang sepupu kurang ajarnya itu.
Clek
Bunyi pintu terbuka setelah sebelumnya tertutup oleh kedua orang tadi. Sosok wajah yang sudah ditunggunya itu pun berjalan semakin dekat ke arahnya. Mike masih dengan gaya penguasanya di depan Benny yang berdiri dengan kedua lengan bersembunyi di saku celana.
"Ayolah Mike! Setidaknya aku harus mempergunakan tubuh serta tampangmu ini, sebelum pak tua itu bertingkah konyol."
"Apa maksudmu? Jangan buat wajah seringai yang akan membuatku murka dan menghabisimu, Ben!"
Tak sesuai perkiraan. Benny yang datang dengan santai tanpa rasa bersalah itu seolah merendahkan keberadaannya. Ia yang masih dengan wajah marahnya malah ditanggapi Benny dengan senyum seringai.
"Santai, kawan... Kau harusnya masih mengingat aku sebagai sepupumu yang peduli akan dirimu," ucap Benny. Wajahnya yang begitu cerah berbanding terbalik dengan Mike. Gerakan tangan yang menunjuk Mike dari atas sampai bawah itu seperti meremehkan posisinya saat ini.
"Omong kosong, jangan bicara seolah kau mementingkan ku ya, Ben! Lagipula, kenapa kau harus mencantumkan nama pak tua itu? Kau ingin membuatku tunduk dan mematuhimu, begitu?"
"Bukan seluruhnya, setidaknya bukan seratus persen keinginanku untuk membuatmu sedikit berguna," bela Benny sekali lagi.
"Kau bilang sedikit? Aku belum pernah mendengar kata itu sebelumnya."
"Itu sudah pasti, komplotan para berandalmu itu tak mungkin berani, bahkan walau hanya menyinggung. Kau pikir mereka tak punya naluri untuk tunduk pada mesin uang mereka, begitu?"
Sudut terkecil hatinya pun berteriak membenarkan. Disadari memang orang-orang diperkumpulannya itu memanfaatkan uangnya. Mereka pasti berpikir untuk menjunjungnya terlalu tinggi karena keloyalannya.
"Pembicaraanmu semakin merambah kemana-mana. Tapi aku hanya akan memberitahumu satu hal penting dan harus kau ingat, seorang Mike tidak suka diatur ataupun diancam!" ucap Mike final. Ia langsung berdiri dari duduknya dan berniat melenggang pergi setelah memberikan tepukan bahu pada Benny.
"Kebiasaan buruk, kau selalu saja pergi dan menghindar tanpa memecahkan rasa penasaranmu sendiri."
Seketika lengan Mike yang tergantung di pegangan pintu itupun terlepas. Tubuhnya berbalik ke arah Benny yang sekarang juga dalam posisi menatapnya.
"Rasa penasaranku pasti akan terbayarkan. Jangan remehkan anak buahku!"
"Ayolah Mike! Semakin cepat akan semakin bagus, kau tak bisa menyepelekan kecepatan pak tua itu dalam bertindak. Kau harusnya sedikit menurut jika tak ingin terjadi apa pun dengan kekasihmu yang pria mungil itu," ucap Benny yang seketika membuat wajah Mike penuh tanda tanya.
"Kekasih?"
Dorongan pintu dari arah luar membuat Mike maju beberapa langkah. Ia ingin sekali mengumpati orang yang memutus pembicaraannya dengan Benny itu.
"Ben, konsep apa yang sebenarnya kau usung?"
Sebuah suara wanita pun terdengar begitu jelas. Ia yang berdiri di belakang wanita dengan kemeja putih yang sangat tipis hingga memperlihatkan dalaman yang membentuk tubuh dengan begitu seksi itu pun tak jadi menelan ludah. Tampilan seperti itu memang menggodanya, tapi diperhatikan seksama dari suara dan perawakan dari belakang, Mike sudah dengan yakin tau, itu adalah Gista.
"Tanya saja dia!" tunjuk Benny dengan arah dagu ke arah belakang wanita itu, tepatnya Mike.
"Wanita gila!"
Itulah kata awal yang dilontarkan Mike setelah wanita itu menolehkan pandangan kearahnya. Mike begitu kesal dengan kenyataan Benny yang mengetahui informasi dari Gista. Wanita itu pasti sedang membuat cerita khayalan tentang dirinya dan Devan. Dan entah sudah berapa lama mereka saling kenal dan membahas tentangnya.
"Kenapa dia mengumpatku, Ben?" tanya Gista masih dengan tampang bodohnya. Wajah dengan riasan tebal dan pakaian yang begitu dewasa seperti berbanding terbalik dengan raut berpikir dan garukan di belakang telinga itu.
"Tak tau, ingat-ingat setiap kata-kata yang keluar dari mulut bocormu itu!" balas Benny sembari menutup mulutnya yang tak kuat menahan tawa. Ia memang begitu menyukai situasi di depannya kini.
"Memangnya aku bicara apa?" timpal Gista lagi.
"Shit!"
Sedangkan Mike yang sudah tidak bisa berbuat banyak itu pun akhirnya menyetujui permintaan Benny sebagai model dewasa dengan terpaksa. Ia masih mengingat jika Benny sudah beranggapan begitu jauh tentang Devan. Dan untuk berjaga-jaga ia harus sedikit jinak dengan Benny, karena tidak mungkin hal tak diinginkan akan terjadi. Ia tak ingin remaja itu diketahui oleh pak tua.
"Ku pikir kau masih punya sedikit tingkat kewarasan."
Saat ini Mike dan Gista sedang berdiri berhadapan dengan banyak pasang mata mengawasi. Latar ruangan yang disetel remang-remang dengan ranjang besar melengkapi. Ya, memang ini konsep yang begitu dewasa. Gista bahkan sudah menyingkirkan tameng kemeja putih tak bergunanya itu. Sedangkan kemeja yang dikenakan Mike sama sekali tak terkancing hingga menunjukkan otot dada dan perut yang terbentuk sempurna.
Mendorong tubuh dengan balutan pakaian begitu minim dan segera mengungkungnya dalam lengan besar yang dikepahkan. Rambut panjang dan tebal milik Gista pun terurai menutupi bantal dan beberapa helai menutupi wajah.
"Hah? Kau bilang apa?"
"Maksudmu mengatakan kalau Devan kekasihku itu apa?" tanya Mike dengan geraman rendah. Lampu dari jepretan kamera yang berulang tak sekalipun membuat fokus kemarahan Mike teralih.
"Tak ada maksud apa pun, kau kan memang kekasih Devan. Lagipula aku tak membocorkan hubungan kalian pada orang lain, itu kan Benny, dia sepupumu!" balas Gista masih tak mengerti situasi dan hal itu membuat Mike ingin sekali memberikannya sedikit pelajaran suatu hari nanti.
"Baru kali ini aku menemukan makhluk sejenismu."
"Dekatkan wajah kalian! Sampirkan kedua lenganmu di bahu Mike, Gis!"
Suara instruksi itu seketika membuat Mike dan Gista menoleh kearah suara. Wajah mereka pun sontak dengan kompak berubah mengerutkan wajah untuk memprotes.
"Ayolah, jangan buat wajah tegang seperti itu! Tersenyumlah seakan kalian sepasang kekasih!" ucap Benny yang berdiri dengan gaya angkuhnya karena bisa menemukan sesuatu pegangan yang bisa membuat Mike sedikit menurut.
"Bayanganku malah terbentuk sangat menjijikkan jika wanita ini benar kekasihku," balas Mike.
"Mike, aku tau kalau kalian begitu akrab. Kalian tidak usah repot-repot menunjukkan kepada kami, itu akan memakan waktu lebih lama."
Dengan menggunakan alasan itu pun Mike sedikit berdamai dengan Gista. Beberapa pose arahan yang mengharuskan mereka seolah bermesraan di atas ranjang. Gista yang mencengkram rambutnya dengan raut di buat seolah menikmati kepuasan. Gista yang bergaya di atas tubuh Mike dengan sensual. Gista yang duduk dipangkuan Mike dengan kedua lengan dibelakang leher dan menunjukkan dada yang membusung. Atau pun pose dewasa lainnya.
"Sial! Bahkan sedari tadi aku tak bisa berhenti untuk mengumpat!" kesal Mike dengan menghantam setir mobil beberapa kali. Kakinya masih terus menambah kecepatan untuk menjaga jarak dari tempat tadi sejauh mungkin. Ia begitu marah karena kalah. Ia begitu marah karena hanya bisa menurut karena sesuatu yang ia jaga, Devan.
Memangnya bersikap baik dengan orang itu harus berdasarkan rasa tertarik? Dari dulu ia selalu menolong kawannya yang butuh bantuan, apakah ia tertarik dengan mereka semua? Tapi meskipun benar, memang kenapa?
Devan memang sosok remaja yang begitu bertolak belakang dengan lingkungannya, lalu kenapa? Apakah berpikir untuk dekat dan mengharapkan kedekatan emosional seperti seorang saudara, begitu aneh? Mike masih tak memahami wanita dengan bibir yang ringan berbicara itu dalam berspekulasi.
Berjalan cepat saat beberapa pasang mata hawa menatapnya, ia sedang tak berminat untuk membalas. Berdiri seorang diri di kotak besi itu dengan menyandarkan tubuh lelahnya. Angka terus bergerak naik seiring dengan deru nafasnya yang semakin mengencang.
Ia lupa, malam sudah tiba dan Devan sejak kemarin tak ada kabar. Ini salahnya, ia tak memberikan ponsel untuk pegangan Devan.
"Harus cari dimana?" cemas Mike.
"Jangan sentuh apa pun!"
"Kenapa? Kau pelit sekali."
"Bukan begitu..."
"Apartement ini begitu mewah, tapi rupanya kakakmu itu sedikit kurang rapi, ya!"
Beberapa suara percakapan itu terdengar saat Mike membuka pintu apartement. Suasana hatinya seketika jauh lebih baik karena suara yang begitu dihafal pendengaran.
"Devan?"