Kejadian kemarin membuat Devan kehilangan muka didepan Mike. Pagi yang biasanya disibukkan dengan memasak bersama diiringi lelucon Mike yang menggodanya itu seketika terlupakan dengan hadirnya rasa kikuk diantara mereka. Devan dan Mike jelas sadar jika kemarin memang adalah suatu kesalahan. Sentuhan kulit dari awal mereka bertemu seperti semakin meningkat disetiap harinya.
Berawal jabatan tangan dari dua orang asing. Jangka beberapa waktu bahkan mereka bisa langsung berpelukan tanpa sungkan. Tapi Devan tak menyangka jika pikiran liarnya yang mengambil alih akan berdampak buruk pada kelanjutan mereka.
Pagi ini pun Devan berusaha keras bersikap biasa dibalik hawa dingin yang secara tiba-tiba melingkupi mereka. Mike masih bangun pagi dan membantunya mengupas bumbu-bumbu dapur ataupun membantunya mengambil sesuatu yang dibutuhkan. Pria dengan kaos hitam tanpa lengan itu masih diam seribu bahasa dan Devan memang bukan tipe orang yang bisa membuka percakapan. Mike seperti tak berniat membuka obrolan kala ia malah duduk dan sibuk bermain ponsel saat Devan mengaduk bumbu di penggorengan.
"Hoam, Mike! Kau harus bertanggung jawab karena telah membangunkanku pagi sekali. Aroma masakan itu membuatku hilang minat untuk tidur."
Kursi di meja makan yang biasanya selalu diisi hanya dengan Devan dan Mike kini bertambah personil. Devan masak banyak hari ini. Ketiga pria yang merupakan kawan Mike itu pun langsung menyerbu hidangan sarapan sederhananya. Devan sedikit menyungging senyum saat datang banyak pujian yang memuji keahlian memasaknya.
Ketiga pria yang masih berusaha diingat Devan. Ya, Devan masih begitu penasaran saat ingatannya mengatakan jika ia pernah bertemu dengan wajah-wajah didepannya itu, tapi dimana?
"Namaku Handis, yang ini Ibnu, dan yang masih sibuk menguap itu Toni."
"Devan."
Pria yang memecah keheningan antara Devan dan Mike itupun memperkenalkan dirinya dan yang lain. Devan pun menjabat satu per satu lengan mereka yang terulur ke arahnya. Ketiga pria yang sama dengan Mike, mereka mentatto tubuhnya. Devan beranggapan kalau mereka adalah kawan yang begitu dekat dengan Mike, kala mereka bisa memasuki apartement Mike dengan mudah. Dan anehnya Devan, ia malah tiba-tiba merasa kecewa karena itu. Anggapan istimewa yang selama ini didapatkannya ternyata bukan untuk dirinya saja. Ya, Devan terlalu naif saat melupakan banyaknya orang yang lebih dulu mengenal pria itu.
"Jarang-jarang Mike bergaul dengan remaja sepertimu. Tampilan lugu dengan keahlian memasaknya yang tak diragukan lagi. Kalau kau wanita, kau adalah paket komplit dan aku pasti berusaha menjadikanmu istriku. Benar tidak, Mike?"
"Kalian kalau sudah menikmati jamuan ini boleh langsung pergi, ya!"
Mike menghempaskan sendok dan garpunya begitu saja. Wajahnya yang seperti menahan kesal itu menatap satu per satu kawannya dengan tajam. Devan tak paham dengan Mike yang seperti ini. Mike yang saat ini bangkit dan berjalan menuju kamarnya.
"Ada apa dengannya?"
"Entahlah, mungkin karena ia masih jengkel dengan peristiwa di klub minggu lalu."
Percakapan canggung di meja itu akhirnya berakhir dengan ketiga kawan Mike yang memutuskan untuk pamit pergi. Sedangkan Mike dan Devan lagi-lagi berada di satu tempat dengan kesunyian. Bunyi klakson dan kendaraan yang menjadi musik jalanan khas itu seakan tak berpengaruh untuk mereka.
Devan sesekali melirik ke kursi pengemudi, Mike seperti berada dalam suasana hati yang kurang baik. Dahinya sampai berkerut dalam dengan bibir yang mengetat, cengkraman lengan di setir mobil juga diperhatikan Devan sejak tadi.
Devan tak berani bertanya, mungkin itu adalah permasalahan Mike dengan temannya di klub seperti yang dikatakan salah satu kawan Mike. Atau juga tak menutup kemungkinan, mungkin saja permasalahannya dengan salah satu koleksi wanitanya. Devan cukup tau kalau Mike adalah tipe pria bebas dengan banyaknya wanita yang mengantre demi dirinya.
"Terimakasih sudah mengantar, Mike."
Mobil yang sudah terhenti tepat di depan gerbang, sedikit membuat Devan lega. Lepas dari kecanggungan yang baru pertama kali dirasakannya dengan Mike.
"Dev!" panggil Mike. Devan yang akan membuka pintu mobil itu pun tiba-tiba dikejutkan dengan serangan Mike ke tubuhnya. Pria itu mendekapnya dengan erat sampai-sampai Devan dibuat tak berkutik.
"Maaf untuk yang kemarin. Secara tiba-tiba mereka datang dan membuat kericuhan di depan anak kecil sepertimu."
"Sebentar Mike! Lepas dulu tanganmu! Kau bilang apa?"
Devan mencoba melepas belitan lengan yang mengungkungnya. Jantungnya yang masih terkejut dengan perubahan sikap Mike itu bertambah semakin parah saat Mike beralih mengusap lembut kedua pipinya. Pandangan wajah yang memaksanya untuk terus beradu.
"Minta maaf karena mereka datang dan seenaknya mabuk-mabukkan dirumah. Aku tak bisa mengusir mereka langsung waktu itu. Aku tau kau sampai tidak bisa tidur, kan? Apalagi dengan kondisi kakimu yang sakit, membuatku begitu khawatir sampai-sampai aku harus sibuk mencari referensi untuk mengobati jempol kakimu."
Seperti mendengar sebuah lelucon yang membuat kesal. Setelah Devan dibuat tak bisa tidur karena rasa cemas dan khawatir karena tindakannya. Setelah Devan dibuat berpikir buruk karena sikap diam pria bertubuh jangkun itu. Devan sampai merasa ia sama sekali tak bisa membaca ekspresi wajah dan menafsirkannya. Bagaimana tidak, jelas sekali jika pria itu menampilkan wajah marah, bahkan sampai sesaat lalu!
Dan Devan sekarang dibuat ternganga dengan perkataan Mike tadi. Pria itu jelas mengkhawatirkannya, tapi kenapa harus ekspresi marah yang malah dibuat Mike?
"Kau membuatku takut dengan sikap mu tadi. Kau seperti menampilkan wajah seolah kau sedang marah. Aku sampai berpikir yang tidak-tidak," balas Devan tanpa menyinggung kejadian memalukan yang dilakukannya kemarin.
"Aku memang sedang marah karena kawan-kawanku yang membuat kerusuhan di rumah, juga marah dengan undakan tak berguna yang membuat kakimu sakit."
Devan dibuat tertawa dengan jawaban Mike. Benda mati tak bisa disalahkan, tapi Devan dibuat terpingkal karena alasan konyol Mike. Lengan mungilnya itu sampai memukul-mukul bahu kekar Mike.
"Hahah... Jangan mengada-ngada, kau bilang kau juga khawatir denganku?"
"Benar, tapi aku masih tak tau bagaimana ekspresi khawatir itu. Coba kau contohkan!"
Perintah Mike dengan lengan tak berhenti mempermainkan wajahnya. Pria itu menjapit kedua pipinya dan mencubitnya pelan. Devan sudah memerah malu, wajahnya pasti terlihat begitu jelas menampilkan bahagia.
"Kupikir wajah datar sepertimu tak akan bisa melakukannya. Saat kau menarik atau mengerutkan sebagian otot wajahmu pasti akan terlihat satu ekspresi, marah."
"Benarkah? Tapi selama wajahku masih diidamkan banyak wanita tak akan jadi masalahkan?"
Mike memberinya senyum dan langsung menyalakan mobilnya kembali. Tanpa menunggu Devan untuk turun, pria itu langsung tancap gas.
"Mike! Aku harus sekolah, ayo kembali!"
"Tidak, kau sedang sakit."
"Sekarang aku ada ulangan harian!"
"Kau bisa minta tugas pengganti."
"Aku belum izin ke sekolah!"
"Nanti ku izinkan."
Dan hari senin yang ditunggu-tunggu oleh pria yang sejak kemarin merencanakan kenakalannya itu menjadi batal.