Sudah berhari-hari Devan dibuat hilang kesabaran dengan tingkah Nathan yang sudah diluar batas. Pria iblis itu seolah tak akan kehabisan ide untuk terus menindasnya. Belum satu bulan ia menempati sekolah barunya itu, Nathan sudah bisa membuatnya berkali-kali mendapat hukuman.
Seperti sekarang, Devan harus bermandikan keringat karena harus berlari mengelilingi lapangan sebesar lapangan bola sebanyak lima kali. Teriknya sinar matahari pun semakin memperparah keadaan. Seragam putih yang dikenakannya sudah nampak kotor dengan Devan yang sesekali mengusap keringat di lengan baju. Sudah pasti bisa ditebak, lambaian tangan dan senyum seringai seolah membenarkan pikiran buruknya. Seragam olahraga yang secara tiba- tiba raip dari tasnya pun membuat ia harus dihukum oleh Pak Jamil, guru olahraga yang galak karena ulah Nathan.
"Kau nampak bahagia sekali Nath, ada apa?"
"Mendapat mangsa yang sedikit galak dan cuek ternyata menyenangkan juga."
Membalas singkat, Nathan pun langsung pergi menjauh dari kawan-kawannya. Melangkah dengan langkah ringan, pria dengan dandanannya yang berandal itu menuju ke ruang yang bertuliskan "UKS".
Rambut mencuat berantakan, gelang yang memenuhi lengan kirinya, dan juga kancing seragam yang dikancing pada barisan ketiga hingga memperlihatkan otot dada yang terbentuk dan begitu menggoda. Tak ada satu pun guru yang berani menegurnya, Nathan adalah penguasa sekolah.
"Nathan!"
Pria yang saat ini merebahkan diri di ranjang uks paling ujung itu merasa begitu terusik. Matanya yang sedang asik terpejam secara tiba-tiba mengernyit tak suka. Ia pun mendengus jengkel kala seorang wanita dengan seragam sepertinya memandang dengan senyum yang begitu lebar tanpa rasa bersalah.
"Cckk! Ini waktu istirahatku!"
Nathan memandang penuh rasa tidak suka. Lengan kiri yang sejak awal menumpu belakang kepalanya pun beralih mengapai ponsel yang diletakkannya di nakas. Ia terlanjur kehilangan momen untuk berselancar di alam mimpi.
"Jangan bilang kalau kau melupakan pacarmu?"
Nathan menghempaskan ponselnya begitu saja, tubuhnya pun kini beralih dengan duduk bersila memandangi sosok wanita yang sekarang nampak begitu ketakutan dengan wajah seperti menghindari tatapan tajamnya.
"Lala?"
"Itu mantanmu. Kau memutuskannya dan setelah itu kau denganku!"
Wanita tetaplah seorang wanita. Raut yang sesaat lalu memandangnya takut, kini malah menyipitkan mata seperti sedang mencurigainya. Nathan sebenarnya sedikit kerepotan dengan sifatnya yang begitu pecinta wanita, banyak dari mereka yang secara tiba- tiba langsung mengklaim jika wanita itu adalah kekasihnya, sebenarnya ia bukan penghafal yang handal. Terlalu banyak wanita yang secara sadar atau tidak sudah diakuinya pacar. Nathan hanya merasa tak tega, kebanyakan dari mereka memang mempunyai usaha tak main-main untuk mendapatkannya.
"Ok! Baiklah pacar... Ada apa?"
Nathan pun mencoba tersenyum lepas, menyusuri penampilan yang lumayan untuk menghilangkan kejengkelannya karena gagal tidur siang.
"Huuu... Kau romantis sekali... Aku yakin, panggilan itu memang kau siapkan untukku kan?"
Pria itu memang ditakdirkan sebagai perayu. Dibalik kekurangannya dalam menghafal, ia adalah pembicara yang bermulut manis.
"Mereka bilang, jadi pacarmu itu istimewa. Perlakuan mesra yang mereka dapatkan membuatku sedikit cemburu. Mendapatkan mu dari kemarin malam, membuatku berpikir keras untuk menciptakan keromantisan yang hanya kau dapatkan dariku."
Wanita yang diingat tanpa tau namanya itu membuat Nathan sedikit membelalakkan mata. Rok abu-abu yang ketat dan pendek itu malah secara sengaja ditarik lebih ke atas oleh sang pemilik. Pemandangan setengah paha yang terlihat menggiurkan dengan warnanya yang begitu pucat dan mulus seketika membuat Nathan menyeringai. Bahkan tak berhenti disitu, tangan lentik dengan kuku terawat kini menarik dasinya lepas dan membuka tiga kancing teratasnya. Nathan memutuskan untuk bermain- main, sekarang.
"Penampilanmu 18+ sekali!"
Menggapai dua lengan itu dan menyampirkannya di bahu. Tubuh jenjang wanita itu pun sedikit membungkuk dan tersenyum seksual kala mereka berpandangan begitu dekat. Belahan dada yang tertampang nyata dihadapanya pun tak disia-siakan. Nathan juga menyambut nakal tingkah sang wanita. Kedua lengan besarnya membelai pinggang ramping dihadapannya.
"Aku rasa kau memang melupakanku. Tapi tak masalah, dengan status kita dihadapan orang lain cukup membuatku senang."
Bibir mereka pun akhirnya menyatu. Mulut saling membuka dengan lidah saling bertaut. Saliva yang tercampur semakin membuat terlena. Lenguhan nikmat yang keluar dari mulut sang wanita membuatnya semakin yakin, Nathan masihlah idaman nomor satu.
Dua manusia itupun kini semakin membelit. Sang wanita bahkan melakukan gerakan penyemangat dengan membelai belakang leher Nathan yang memang sensitif. Menikmati cumbuan yang seakan melambungkannya ke awang-awang, wanita dengan pakaian yang berantakan itu bersiap menggoda lebih prianya.
Brak
Bunyi pintu yang ditutup kasar membuat mereka spontan terlepas. Wanita itu segera membenahi seragamnya dan berlari panik keluar. Wanita rambut hitam dengan model melengkung-lengkung di bagian bawah itu seperti ketakutan jika ada yang melapor ke guru kesiswaan. Nathan boleh saja tenang-tenang, tapi jika dirinya yang sudah kepergok, ia pasti sudah tamat.
"Dasar. Siapa yang sudah merusak kesenanganku!"
Devan dibuat trauma dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Dua tubuh manusia berbeda jenis yang secara sadar melakukan hal intim di lingkungan sekolah. Devan tak pernah menyangka jika itu membuatnya mengingat kejadian lalu. Kepalanya tiba-tiba terasa begitu berat dan hatinya merasa begitu pilu. Memejamkan mata dan memijat pelan kedua pelipisnya seperti tak membantu.
"Kau kenapa?"
Devan pun dibuat sadar dengan suara bariton disebelahnya. Memberikan senyum tipis dan menggeleng pelan, Devan pun kembali menyandarkan kepala di punggung kursi mobil.
"Wajahmu pucat sekali, kita ke dokter ya!"
Bayangan-bayangan tentang pengkhianatan dan memori buruk tentang beberapa orang yang berseliweran di pikirannya itu seketika mereda. Usapan lembut dari lengan besar yang seolah menenangkannya pun membuatnya sedikit membaik.
"Aku hanya kecapekan."
Mobil yang tadi melaju dengan kecepatan stabil itu berhenti dipinggir jalan. Mereka saling bertatapan, Mike mencoba membaca raut cemas yang sejak tadi bernafas dengan memburu itu. Memberi sentuhan menenangkan dengan membelai wajah lembut remaja didepannya.
"Bukankah aku sudah memberitahu, aku bisa jadi orang terdekatmu. Meski tampilanku tak sebaik penilaian awalmu, tapi aku jamin... aku bisa jadi tumpuan dalam setiap kebimbanganmu."
Setelah kata-kata dari Mike itu, Devan menjadi lebih tenang. Logikanya itupun memaksa hati yang kadung berdebar terbawa perasaan untuk berhenti di tempat. Untuk Mike, ia sudah seperti tak ada kesempatan untuk bersikap tak tau diri dengan memikirkan hal lebih. Pria sebaik itu tak mungkin dikecewakannya dengan niat hati yang ingin menghadirkan rasa tabu.
Devan seperti mendapat banyak penjelasan dari kata-kata yang pasti akan selalu diiingatnya. Bukan hanya cinta yang melulu soal rasa bahagia dan cemburu. Bukan soal keluarga ataupun orang asing. Bukan soal sebaya atau beda umur. Bukan soal keuntungan yang didapat atau rugi disatu pihak. Mike seperti menghancurkan batasan dalam anggapan Devan tentang suatu hubungan. Ya, sebisa mungkin Devan akan mereda rasa sukanya yang saat ini semakin pesat untuk Mike.