"Hai… Masih ingat aku, kan?"
Mike mengerutkan dahi menatap sosok wanita yang melambaikan tangan ke arahnya. Mike tak suka tak-tik wanita seperti ini. Sudah terlalu banyak wanita yang pura-pura mengenal baik dirinya, dan Mike tau benar jika sebagian besar dari mereka pasti akan mengharapkan hubungan yang lebih.
"Aku tak mengenalmu."
Mike bersiap menutup pintunya kembali, tapi wanita itu dengan berani menahannya. Mike muak sekarang, ia tidak suka basa-basi. Sementara ini Mike sedang tidak ingin berurusan dengan wanita, ia masih menikmati peran barunya sebagai seorang kakak.
"Ku rasa kekasihmu akan mengingatku. Hai Dev!"
Mike membalikkan badan dan bertemu tatap dengan Devan yang mengulas senyum tipis. Dan berakhirlah mereka di ruang tamu dengan suasana yang tiba-tiba menjadi sangat canggung.
"Terimakasih Dev, kau tampak manis dengan baju kebesaran seperti itu," puji wanita itu setelah ia menyesap minuman manis yang disuguhkan oleh Devan. Bibirnya tak henti mengulas senyum dengan mata yang sibuk menjelajah ke setiap sudut ruangan.
"Ehmm… Terimakasih."
Baju yang dipakai Devan sebenarnya milik Mike yang sudah sedikit kekecilan, meskipun begitu baju ini masih terlihat sangat besar di tubuh mungil Devan. Hari itu sempat Mike menawarkan untuk membelikannya beberapa pakaian baru, tapi Devan menolak dengan keras. Ia merasa sudah cukup merepotkan dengan ia tinggal ditempat Mike. Devan tak ingin lebih merepotkan lagi.
"Kalian tau, aku begitu merindukan kalian," ucapan wanita itu membuat Mike dan Devan saling tatap dengan artian berbeda. Mike tiba-tiba ingat dengan wanita di hadapannya ini, wanita aneh yang mengklaim bahwa dirinya adalah seorang biseks. Mike memutar matanya muak bersiap mengusir wanita dihadapannya itu, namun niatnya tersebut harus terhenti saat sebuah tangan kecil menyekalnya.
"Oh ya?"
Devan meremas lembut tangan Mike. Ia tau Mike seperti tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu. Devan ingat saat Mike bercerita dengan wajah kesal padanya tentang kejadian di lift saat pertama kalinya mereka bertemu. Mike merasa bahwa ia harus menjauh dari wanita mengerikan yang seperti punya niat aneh yaitu membelokkan orientasinya.
Sebenarnya ia merasa sedikit kecewa disaat Mike dengan yakin mengatakan kalau ia tak sudi berhubungan lebih dengan seorang pria manapun. Disaat itu pula Devan merasa sayap-sayap miliknya patah sebelum sempat mengepahkannya. Ya, lagipula Devan masih harus sadar diri.
"Heemm…. Ruangan kalian begitu terasa hangat, tak seperti punyaku yang terasa sunyi."
"Kau tinggal sendiri?" tanya Devan berusaha sedikit sopan dengan tamu, meski sejujurnya ia sedikit tak menyukai wanita dewasa itu.
"Ya, orangtua ku tinggal di amerika dan di sini aku sedang ada tugas."
"Oh…"
"Dev… Kau terlihat masih muda, berapa usia mu?"
"17 tahun."
"Kau seumuran dengan adikku kalau begitu. Kalau tidak salah, berarti kau memasuki tingkat dua di senior high school, ya?"
"Ehmm… sebenarnya..."
"Iya. Kau benar Nona," ucap Mike menyela Devan. Mereka saling pandang beberapa saat dan akhirnya Devan memutus kontak itu. Badannya ia senderkan di belakang sofa dan menghela nafas panjang.
"Kenapa kau memanggil ku Nona, seperti kita tidak saling kenal saja."
"Memang."
Devan memukul ringan punggung kekar Mike dan membuat pria maskulin itu memutar badan. Alis kanannya terangkat dengan pandangan bertanya, memang apa salahnya?
"Kalian romantis sekali… jadi ingin melihat kalian sedikit lebih lama. Bolehkah aku bergabung untuk jamuan makan malam?"
Dan Mike pun harus menahan rasa kesalnya saat mata sendu itu menatap dengan binar harapan.
Ting tong
Devan melongokkan kepalanya ke arah pintu. Kakinya berjalan meninggalkan tayangan film kartun favoritnya. Devan sedikit merasa jahat saat tiba-tiba ia berharap bukan Gista lah tamunya kali ini. Bukan merasa benci atau bagaimana, sejujurnya ia merasa sedikit tak nyaman dengan wanita itu. Bagaimana mungkin ada seorang wanita yang begitu ingin memasangkan seorang pria dengan pria lain, sedangkan di sisi lain Mike seperti tak ada harapan untuk membalas perasaannya. Devan cukup tau diri untuk segera melenyapkan perasaan bodoh ini. Ia juga tak ingin dirinya dan Mike menjadi canggung karena hal itu.
Tangannya memutar handle pintu dan menemukan wajah baru dengan senyum tipis menghias wajah lugunya.
"Ya?"
"Aku ingin…"
"Oh, kau Niel… masuklah!"
Ucapan pria itu terhenti saat terdengar suara Mike mempersilahkannya masuk. Devan sedikit menyingkir dari ambang pintu memudahkan jalan pria itu. Ia menutup pintu kembali dan berniat melenggang pergi bermaksud tak mengganggu urusan orang lain.
"Bagaimana, sudah bereskan?"
"Ya, silahkan anda periksa ulang."
Pria itu menyodorkan sebuah berkas yang langsung diterima oleh Mike. Tangannya membalik balikkan setiap lembar berkas dan meresapi data yang dibawanya itu.
"Baiklah Niel, kau selalu bisa diandalkan. Kau boleh pergi," ujar Mike dengan tersenyum puas.
"Saya permisi."
Pria bernama Daniel itu membungkuk setengah badan kearah Mike. Devan dibuat menganga akan kejadian itu. Niat awalnya yang ingin memasak makan malam, justru teralih akan rasa penasaran yang sudah mencapai batas normal. Dan benar saja, ia menemukan keanehan dari tingkah ke dua orang tersebut. Membungkukkan badan pada orang seumuran itu maksudnya apa? Sial, ia rupanya belum sama sekali mengenal seorang Mike.
Seperti hari-hari sebelumnya, tepat jam tujuh malam dua orang pria itu duduk berhadapan dengan beberapa menu masakan sederhana yang tersaji di hadapan mereka. Bunyi dentingan sendok garpu itu menjadi bukti bahwa tak satupun kata terucap dari mulut keduanya.
"Menu malam ini terasa berbeda. Tak biasanya kau membuat kue untuk hidangan penutup, apa ada hal yang istimewa hari ini?"
Devan memutar badan dan menatap tangan besar Mike yang mencekal lengannya.
Langkah Devan seiring dengan tarikan lembut Mike yang menggiringnya ke arah sofa. Tayangan televisi terasa sangat hambar saat tangan besar Mike beralih mendekap tubuh kecil miliknya.
"Happy birthday to you," bisik Mike tepat ke arah telinga Devan.
"Kau tau?" tanya Devan sembari mendorong pelan tubuh Mike untuk memberi jarak.
"Hemm… Beberapa saat yang lalu. Kau bohong padaku saat pertama kali kita bertemu, 'umurku sudah 17 tahun', itu belum genap boy!" ucap Mike dengan gemas mencubit pipi mulus Devan hingga meninggalkan sedikit bercak kemerahan.
"Aishh… Begitu saja kau ributkan," balas Devan dengan menampik tangan nakal Mike.
"Kau ingin hadiah dariku?" tawar Mike dengan tersenyum lebar.
"Tidak, kau bersedekah sedikit makanan dan berbagi sedikit ruangan ini pun sudah sangat berarti untukku."
"Kau jangan sekalipun merendahkan kemampuanku, ya! Bahkan kalaupun kau berpura-pura minta mobil pun akan ku belikan malam ini juga, kau tau itu?" sombong Mike membuat Devan menyemburkan tawa.
"Haha… Pria kaya yang sudah langka."
"Kau meledekku? Baiklah… Setelah kau lihat ini, mungkin kau tidak bisa menyangkal lagi."
Mike menyodorkan sebuah berkas ke arah Devan. Berkas yang dibawa tamu tadi?
"Ini… apa?"
"Bukalah!"
Mike mengkode dengan matanya ke arah berkas tersebut. Dengan rasa penasaran, Devan membuka lembar pertama yang berisi lengkap tentang data dirinya. Dahi Devan semakin berkerut saat membuka ke lembar selanjutnya.
"Kau…."
Devan menatap Mike dengan binar penuh kebahagiaan.
"Kenapa? Kau terharu? Ingin memelukku ya?" goda Mike membuat wajah tegang Devan berganti dengan senyum penuh suka cita. Bolehkan Devan menumpu hidup pada pria yang masih asing itu? Bolehkan ia merasa terharu dengan perhatian sementara dari seorang Mike?