Mereka berada di ruang tamu sekarang. Devan menatap tak percaya pada setiap sudut ruangan yang terlihat rapi, tak sesuai dengan perkiraannya.
"Kau bisa tidur di kamarku sekarang," ujar pria itu dengan menunjuk pintu berwarna coklat.
"Kau?"
"Aku bisa disofa," ucapnya dengan membaringkan diri di sofa. Tangannya kini asik bermain ponsel yang Devan tau bahwa itu adalah ponsel mahal keluaran terbaru. "Dia sepertinya memang orang kaya, kalau begini aku tak akan ragu lagi untuk sedikit merendahkan diri pada pria itu," pikir Devan. Ya, hanya karena keadaan mendesak ia sedikit mentolerir sikapnya.
"Kenapa begitu?"
"Hanya ingin. Apa kau mau aku tidur denganmu?" tanya Mike dengan mengalihkan pandangan padanya. Matanya mengerling dengan senyum mengejek membuat Devan malu seketika.
"Aku saja yang disofa, aku tak ingin lebih merepotkanmu."
"Apa kau ingin berdebat sampai pagi?"
Mata Devan tak bisa diajak kompromi. Meski badannya terasa remuk, mata sendunya sama sekali tak bisa terpejam. Badannya tak bisa diam hadap kanan, ke kiri, tengkurap, ataupun rebahan tak membuat ia merasa nyaman. Devan jadi berpikir, kenapa dalam gendongan pria asing itu bisa membuat ia tertidur nyaman? Membayangkan hal itu membuat wajah Devan seketika panas.
Pandangan Devan kini mengedar ke arah kamar yang cukup luas dengan cat gelap yang menambah kesan suram. Ingatannya berputar tentang perlakuan pria asing yang begitu membekas di hati dan pikirannya. Devan tak tau mengapa jantungnya terasa bergetar cepat, meski bukan kali pertama tapi apakah mungkin seseorang yang asing bisa dengan mudah menggetarkan hatinya?
"Jangan buat ini jadi sulit Devan! Lupakan, semua nanti akan berujung sama, hanya kau yang akan tersakiti," ingatnya sendiri. Devan sadar, rasa ini tak asing. Sama seperti cinta pertama yang akan merusak kedamaiannya. Hati Devan memang begitu rapuh terhadap orang yang mempedulikannya. Tak dipungkiri, pria asing itu terlihat begitu keren dan berpotensi besar mengusiknya. Dan sekarang Devan jauh lebih bingung, niatan akhirnya berada di sini karena apa? Karena pasrah tak ada tujuan atau memang inilah akhir dari tujuannya?
"Kau sedang tak bisa tidur?" tanya wanita cantik yang ada di tampilan layar ponsel pintar itu pada Mike.
"Hemm… Aku butuh sebuah pelukan," jawab Mike dengan tersenyum lebar. Tangan kanannya beralih menyangga belakang kepalanya hingga menampilkan otot bisep yang nampak sangat pas ditubuh Mike.
"Kau mau aku menemuimu," tanya wanita yang menghubunginya itu dengan senyum menggoda.
Sejujurnya wanita itu cukup cantik apalagi dengan kostum yang memperlihatkan belahan dada yang nampak menggoda hingga membuat tangan Mike gatal untuk meremasnya. Tapi satu hal yang membuatnya kebingungan, memangnya ia pernah kenal dengan wanita itu ya? Seingatnya ia tak pernah membagikan nomor ponsel pribadinya itu pada wanita manapun. Dan hanya ada satu kemungkinan, dia mencuri nomor ponselnya saat mereka habis bercinta!
"Boleh.... Eh, jangan! Maksudku, nanti aku malah tidak tidur kalau ada di samping wanita cantik sepertimu."
Mike berfikir, bagaimana jika wanita itu menemuinya dan mereka akan membuat kerusuhan dengan membuat desahan dan teriakan yang membuat kenalan barunya terganggu. Mike cukup waras untuk tak mengotori bocah polos dengan tindakan bejatnya itu. Dan untuk melangkahkan kakinya keluar, Mike merasa begitu malas.
"Kenapa keahlianmu merayu bertambah setiap harinya?"
"Aku tidak sedang merayu."
"Dasar. Tapi jangan begitu dengan wanita lain, ya!"
"Begitu bagimana?"
Mike mulai muak sekarang. Ia tak terlalu suka dengan wanita yang bicara ke arah pribadi. Dia itu pria yang instan, tak suka banyak bicara dan buang-buang waktu untuk saling menggombal, cukup bisa mengimbangi nafsunya saja sudah bagus.
"Ah, lupakan! Ngomong-ngomong kau tak ke bar hari ini? Kau tau, para wanita jalang banyak yang mencarimu, apa kau senang?"
"Hahahh… Tak ada yang menolak pesonaku," jawab Mike dengan tersenyum datar.
"Ehem…!"
Sebuah deheman membuat Mike mengalihkan pandangannya pada bocah yang masih dengan kaos lusuh dan celana jins melingkup kaki mungilnya.
"Sudah dulu ya, tiba-tiba aku mengantuk."
Setelah mengakhiri panggilan videonya, kini Mike beralih sepenuhnya pada bocah itu. Mendudukkan dirinya dan melempar ponsel ke sembarang arah, Mike tak peduli pada ponsel mahalnya lagi. Jikapun itu rusak, ia masih punya sedikit recehan untuk membeli yang lebih bagus lagi. Mike itu pria kaya, Ingat!
"Kenapa? Kau butuh sesuatu?" tanya Mike dengan mengulas senyum saat bocah itu nampak meremat kedua tangannya. Mike berfikir sekarang, apa ia nampak begitu menyeramkan?
"Tenggorokanku tiba-tiba sakit, aku ingin minum. Dimana dapurnya?"
"Tunggu sebentar, akan ku buatkan coklat panas untukmu."
Tubuh besar Mike akhirnya bangkit menuju dapur yang hampir tak pernah terpakai. Ia merasa kasihan dengan tubuh kecil yang sepertinya sedang tak enak badan tersebut. Suaranya terdengar parau pasti karena udara malam yang membuatnya seperti ini. Meski Mike terlihat bejat begini, ia masih punya hati untuk menampung bocah malang itu.
"Aku tak punya bahan makanan, apa kau lapar? Aku bisa memesankan mu kalau kau mau," tawar Mike berjalan ke balkon setelah dua cangkir coklat panas tersaji.
Menyodorkan cangkir di tangan kanannya, Max mengikuti pria kecil yang terlihat sudah berdiri di balkon miliknya. "Ada apa dengannya, bukankah sedetik yang lalu ia terlihat begitu kedinginan? Lalu mengapa ia malah mencari angin lagi?" pikir Mike memandang lekat ke arah remaja itu. Pandangan yang menatap dengan jauh, dan Mike tak ingin mengganggu.
Mereka menatap langit malam dengan taburan bintang yang jarang sekali terlihat. Menyesap pelan coklat hangat yang perlahan menghangatkan badan ditengah terpaan angin yang menyerangnya. Devan mengulas senyum, suasana ini entah mengapa membuat kesedihannya sedikit mereda.
"Aku Devan."
"Hemm?"
"Kita belum berkenalan, namaku Devan."
Mereka saling berhadapan dengan tangan Devan yang menjulur ke arah Mike.
"Oh… aku Mike umur 25, belum cukup tua untuk dipanggil paman," canda Mike yang sontak membuat Devan menyemburkan tawa. Devan ingat sekarang, jadi pria dewasa di depannya itu tersinggung dengan panggilannya tadi?
"Haha… tapi aku 17 tahun sekarang."
"Ah iya… kau memang masih bocah ternyata."
Tangan mereka masih saling menjerat, tak ada salah satu dari mereka yang berniat melepaskan. Rasa nyaman melingkupi keduanya. Tangan besar Mike terasa sangat kontras dengan milik Devan yang menutup habis jari-jari tangan mungilnya. Nyaman, mungkin kata-kata itu cocok untuk menggambarkan dua tubuh yang secara nyata memang kesepian. Mereka seperti saling menemukan sosok lain yang sama nasib. Jika dekat, tak masalah kan?!
"Besok pagi aku akan pergi."
Genggaman Mike seketika merenggang dan akhirnya terlepas. Mike menyesap minumannya lagi saat tenggorokannya tiba-tiba tercekat.
"Kenapa?" tanya Mike lirih. Suara berat itu terdengar begitu seksi di telinga Devan. Seketika timbul rasa iri dalam dirinya. Devan yakin ia sudah melewati fase menjadi pria seutuhnya, tapi kenapa suaranya sama sekali tak berubah menjadi berat? Lagipula ada masalah apa dengan pertanyaan 'kenapa' itu? Bagaimana bisa Devan malah berpikir jika dirinya sedikit memiliki celah untuk bisa diberi belas kasihan?
"Kau tau… Aku merasa kau tak bebas, maksud ku tentang wanita yang kau hubungi beberapa saat lalu."
Pandangan Mike kini teralih sepenuhnya ke arah Devan hingga mereka bertemu pandang ke dua kalinya. Sebelah alisnya terangkat yang membuat Devan seketika gugup hingga memutus kontaknya. Menyesap coklat yang sudah terasa dingin setidaknya bisa sedikit meredakan debaran jantungnya yang seketika mengencang.
"Jadi kau merasa tak nyaman karena memikirkan itu?"
Mike lega sekarang, jadi bukan karena dirinya yang membuat bocah bernama Devan itu tak nyaman. Ia hanya berprasangka saja begitu kan?
"Tidak… Maksud ku, ya… kau tau, seperti aku mengganggu privasimu."
"Bukan masalah, Kau bisa menempati tempat ini semaumu. Lagipula aku jarang tidur di rumah."
Mike mengacak pelan rambut Devan yang memang seperti bayangannya, terasa sangat halus. Mike seperti ingin menjadikan pria mungil itu di posisi terdekatnya, adik mungkin?
"Terimakasih."
Devan menunduk malu karena perlakuan kecil Mike. Dan seperti dugaannya, ia baru bisa tidur saat matahari bahkan sudah mulai menyapa. Devan merasa takut dengan pria baik, ia mudah jatuh cinta.