Chereads / Anti Sosial / Chapter 6 - Tengah Malam

Chapter 6 - Tengah Malam

"Assallammuallaikum…"

Laras baru saja membuka pintu rumahnya, tak ada yang menjawab salamnya, semuanya mungkin sudah tidur karena ini juga sudah hampir jam sebelas malam, tapi ternyata ia salah yang mana ketika ia samar-samar mendengar suara orang bicara dari arah ruang TV rumahnya.

"Bapak kamu baru di terima kerja, tapi cuma jadi tukang bersih-bersih di lapangan"

Laras berjalan mengikuti sumber suara itu, sepertinya itu suara mamahnya yang sedang bicara entah dengan Kakak atau adiknya.

"Assallamualaikum" ucap Laras kembali memberi salam begitu ia sampai di ruang TV keluarganya, disana sudah ada ibu dan adik laki-lakinya yang tengah duduk di sebuah sofa kecil.

"Wallaikumsallam" jawab ibu dan adiknya secara bersamaan, Laras langsung menyalami ibunya dan sekilas menatap adik laki-lakinya yang terlihat capek di wajahnya.

"Ada apa ?" tanya Laras yang langsung duduk di samping ibunya.

"Enggak, ini mamah cuma kasih tau kalau Bapak kamu sudah di terima kerja, tapi jadi tukang bersih-bersih di lapangan"

Nyes!

Rasanya hatiku mencelos mendengar ucapan orang tuaku, ada rasa sakit dan nyeri hati karena mendengar berita ini, aku merasa seperti menjadi anak yang tidak berguna, tak terbayangkan betapa berat pekerjaan ayahku sebagai tukang bersih-bersih lapangan yang tidak kecil itu.

"Emang kenapa sih harus kerja disana?! Lagian gak usah kerja, buat apa kerja udah tua" ucap Aldi dengan wajah penuh keberatan.

"Ya gimana, untuk kebutuhan sehari-hari dari mana kalau gak kerja, kamu liat tuh TV, orang-orang di rumahnya pasti punya TV tapi rumah kita malah adanya TV mati, terus itu juga tuh kulkas, tadi mamah udah coba hubungin tukang kulkas tapi belum dateng-dateng"

"Emang kulkas kenapa ?" tanya Laras.

"Ya mati, gak dingin walaupun udah di colokin" jawab ibunya. "Lagian kamu juga kan walaupun kerja tapi gajinya udah habis untuk bayar cicilan motor, kuliah sama pegangan kamu sehari-hari" ucap ibunya kepada anak bungsunya, Aldi.

Ya benar, aku akui menjadi Aldi itu berat, apalagi ketika dia memutuskan bekerja di tempat yang salah, gaji tidak di bayar sepenuhnya, belum lagi tidak ada uang lembur, meski sudah di protes tetap tidak ada perubahan, Aldi ingin mencari kerja baru, tapi sebelum keluar dari sana dia ingin sudah ada pekerjaan baru, jadi dia tidak perlu menganggur dan sampai sekarang dia sama sekali belum mendapatkan kerja baru itu.

"Laras juga kan baru kerja, mungkin bulan besok baru bisa bantuin, belum lagi kamu kan tau kakak kamu banyak hutang, tadi sore aja udah ada orang yang dateng ke rumah nemuin mamah untuk nagih hutang, mana di liatin tetangga, mamah juga kan malu"

Aku hanya bisa menghelah nafa dengan dada yang penuh sesak, kenapa keluargaku jadi begini, hidup serba tidak kecukupan walaupun semua sudah bekerja semaksimal mungkin, apalagi sampai harus jadi tukang bersih-bersih di lapangan.

Aku salah apa Tuhan ? keluargaku salah apa ?

"terus sekarang si Rindu kemana ?" tanya Aldi dengan raut wajah kesal.

"Belum pulang" jawab Mamah.

"Bapak ?" tanya Laras kali ini.

"Tadi diajakin main bulu tangkis di lapangan sama pak sahlan"

Lagi-lagi aku hanya bisa mengehelah nafas, ayahku itu orang yang sangat naif, dia tidak bisa menolak orang jika orang lain mengjak atau menawarkan sesuatu, Aku tau pasti kalau Ayahku itu sudah sangat capek, tapi aku juga tau kalau dia tidak bisa menolak orang apalagi kalau yang mengajak temannya.

"Yaudah Mah doain aja, hari ini aku di tunjuk jadi asisten pribadi bos aku, tapi untuk sebulan ini dari hari besok aku mungkin gak bisa pulang ke rumah karena selain jadi asisten aku juga di minta jadi orang yang bantu-bantu di rumah bosku"

"Hah ? ngapain ? kok sampai bantu-bantu di rumah ?" tanya ibu Laras dengan tatapan curiga.

"Iya, ngapain sampai harus gak pulang, emang kerja apaan sampai harus bantu-bantu di rumah" sahut Aldi.

"Bos aku itu seminggu yang lalu kecelakaan sampai buat kedua matanya jadi buta, nah dia butuh orang untuk bantu-bantu dia dirumah dan di kantor, dia bilang sih bakal gaji aku dua kali lipat lebih besar, ya cuma gitu, aku harus tinggal di rumah dia juga buat jadi pembantunya, katanya sih cuma sebulan sampai dia dapetin donor mata yang cocok buat matanya" jawab Laras panjang lebar menceritakan semuanya.

Aldi tak bersuara, sedang ibunya hanya mengangguk. "Ya kalo mamah terserah kamu aja yang penting kamu bisa jaga diri, tapi kamu ijin juga ya ke bapak kamu, mamah gak mau nanti di salahin sama bapak kamu kalau kamu gak pulang"

"Iya, hati-hati kak, jaga diri lo" ucap Aldi.

Laras mengangguk patuh "Malam ini rencananya aku mau packing dan beresin semua baju-baju aku yang perlu di bawa, soalnya bos aku minta kalau mulai besok aku udah tinggal di rumahnya"

"Loh cepet banget" ucap Aldi.

"Iya, soalnya dia butuh banget kayaknya"

"Yaudah besok pagi kamu ngomong aja ke bapak kamu, dia mulai kerja dari jam enam jadi kalau bisa kamu bangun sebelum jam itu, biar bisa ngobrol panjang" saran ibunya pada Laras.

"Iya Mah" jawabnya lalu melihat kearah Aldi. "Lo besok bisa gak anterin gue ? jam tujuh gue udah harus ke rumah bos gue soalnya"

"Rumah bos lo dimana ?"

'Daerah kemang kayaknya, tadi gua di kasih tau sih gitu, entar gue tanya lagi deh"

"Wisss… elit banget tuh kayaknya daerah rumahnya" ucap Aldi.

"Orang Kaya mana ada yang gak elit sih"

"Iya juga ya haha… kita aja emang yang masih tinggal di pinggiran kota" ucap Aldi dengan senyum miring dinginnya.

***

"Woy bro! Pa kabar lo heh.. hah ? hehehehe"

Rumah besar itu kini di hebohkan dengan kedatangan wanita cantik dengan pakaian minimnya yang berjalan sempoyongan masuk kedalam rumah itu sampai membuat seluruh penghuni rumah itu terbangun dan melihat tingkah laku ajaibnya.

"Ririn! Kamu mabuk lagi ?!"

Nareswara selaku pemilik rumah besar itu hanya bisa menggeleng kaku menatap anak keduanya yang pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, ini bahkan tengah sudah tengah malam, tapi anak perempuannya itu baru pulang.

"Sayang, sadar Nak" ucap Istri dari Nareswara itu yang kini tengah menepuk pelan pipi putrinya yang kini hanya tersenyum-senyum menatapnya.

"Eh! Ada mamah, mamah belum tidur mah ? kalo belum tidur, minum ini aja mah nih,…" ucap Ririn di ambang batas kesadarannya sambil menyodorkan sebotol vodka ke mulut ibunya.

"Sini kamu!"

Nareswara yang murka langsung menarik lengan anak perempuannya itu dengan kasar, memaksa Ririn untuk bangun dan menatapnya. "Kamu ini mau sampai kapan begini ?! Setiap hari pulang malem, dugem-dugem gak jelas, mau jadi apa kamu hah?!"ucap Nareswara dengan wajah merah padam, namun Ririn hanya menatapnya sesaat lalu tersenyum seperti orang gila.

"Mau jadi apa ya ? mau… mau… gak tau ah hehehehe"

Plak!

Nareswara langsung menampar anaknya, membuat satpam, pembantu serta istrinya kaget melihatnya, meski sudah sering sekali mereka melihat kejadian ini, bahkan hampir setiap malam, tapi tetap saja setiap melihat ini pasti ada rasa kaget.

"Kamu itu perempuan, ngapain jam segini pulang malam, gak malu kamu sama Kakakmu Hah?!"

Ririn tersungkur begitu Nareswara melepaskan cengkaramannya, dia memegang pipi kirinya yang sehabis di tampar itu, namun bukan merasa sedih, Ririn malah menunjukan senyum dinginnya sambil terus menatap ayahnya.

"Kakak ? Siapa sih kakaku ? Si anak jalang itu ? aku gak sudi punya kakak dari Rahim pelakor!" ucap Ririn dengan lantang, bahkan ekor matanya melirik kearah lantai dua yang mana disana sudah berdiri Rafan, pria yang paling dia benci di dunia ini dan kini tengah menyaksikan semuanya dengan mata butanya itu, dia yakin pasti pria itu mendengarkan semuanya.

"Apa kamu bilang?!"

Nareswara kembali mengangkat tangannya, ia berniat menampar lagi anaknya, namun secepat kilat istrinya itu menjadi benteng untuk anaknya, ia melindungi Riri dan menutupi anak itu dengan tubuhnya. "Jangan Pah, Kasihan Ririn"

'Biarin aja Mah, biarin aja kalau dia mau tampar Ririn lagi" sahut Ririn dan langsung mendorong ibunya agar tak perlu melindunginya lagi.

Ririn kembali menatap ayahnya. "Ayo tampar, tampar lagi,sampai anda puas kalau perlu!" ucap Ririn tanpa takut dan dengan berani memberikan pipi kananya yang masih mulus, belum terkena tamparan ayahnya.

Nareswara hanya menatap marah anak perempuannya itu, nafas memburu menandakan betapa emosinya pria itu, tangannya yang semula terangkat kini turun dan terkepal kuat.

"Dasar anak tidak berguna!" ucap Nareswara dan langsung pergi begitu saja, menaiki tangga menunju kamarnya.

Sepeninggalan Nareswara semua orang sibuk melihat keadaan Ririn, mereka semua terlihat prihatin dengan keadaan Ririn saat ini, bahkan ibunya tak henti-hentinya menangis sambil memeluk anak perempuan satu-satunya yang ia miliki berbanding terbalik dengan Rafan yang masih berdiri dalam posisinya, menyimak semua omongan mereka sedari tadi.

Anak Pelakor ?

Rafan menggumam dalam hatinya, seulas senyum muncul di wajahnya ketika mengulang ucapan Ririn dan tanpa bicara, ia memutar badannya dan kembali berjalan masuk kedalam kamarnya dengan tongkat yang ia bawa.