Chereads / Anti Sosial / Chapter 10 - Ballroom Hotel

Chapter 10 - Ballroom Hotel

Ballroom Hotel, merupakan suatu ruang besar yang menjadi salah satu fasilitas spesial yang disediakan oleh suatu hotel karena fungsi dan desain yang mewah.

Aku menggandeng tangan Rafan begitu kami sampai tepat di loby hotel megah dan mewah, kali pertama aku melihat keadaan seperti ini, satpam-satpam itu memberi senyum sambil mempersilakan kami untuk masuk kedalam tempat acara yang sedang berlangsung saat ini, Seno mengekor sambil membawa tongkat Rafan ditangannya.

Mewah dan Megah!

Aku tak berhenti terpukau dengan kilatan lampu-lampu gantung bertahtakan krystal yang menyinari ballroom ini, harum bunga begitu semerbak aku cium karena mewah banyak sekali bunga-bunga asli yang menjadi penghias pesta ini, gaun-gaun dan jas mahal melekat pada semua tamu undangan, wanita cantik dan elegant serta pria sukes dengan segala kemewahannya, semua tampak jelas disini.

Apa yang harus kulakukan disini ?

Jantung Laras tak berhenti berdetak sejak ia masuk kedalam mobil mewah Rafan sampai saat ini, Dia menengok kearah bosnya yang kini tak memancarkan aura ataupun respon sama sekali, Tenang.... itu saja yang bisa Laras lihat dari raut wajahnya.

"Kita sudah sampai di dalam Pak" ucap Laras tepat di dekat telinganya.

Rafan mengangguk sejenak lalu Dia memaggil Seno yang berdiri tepat di belakangnya. "Laras, Saya dan Seno akan menemui seseorang terlebih dahulu, silakan nikmati pesta ini, setelah selesai saya akan hubungi kamu, jadi jangan silent ponsel kamu" ucap Rafan yang langsung membuat Laras sedikit kaget, tapi ia mencoba biasa dan melepaskan tangan Rafan untuk memberikannya pada Seno.

Laras sendirian, berdiri ditengah kerumunan tamu undangan yang bahkan ia tak paham pesta siapa ini, matanya melihat keseliling dan tak ada satupun wajah mereka yang mereka kenali.

Kemana nih ?

Beberapa orang ada yang memandang kearahnya, wajah Laras yang cemas dan kaku, juga sedikit takut sukses membuat orang memandang penuh tanya kearahnya, di pesta megah yang mana seharusnya bahagia, tapi mengapa perempuan itu malah cemas dan takut ? mungkin itulah pertaanyan dalam benak orang-orang yang melihat Laras.

Sebuah pintu terlihat olehnya, entah kemana tembusnya pintu itu, tapi Laras tetap berjalan kearah sana, sejujurnya ini bukanlah tempatnya, bergumul ditempat yang mana banyak orang-orang kayak bukanlah gayanya, rasa minder dan canggung itu seakan tak mau hilang dari dalam diri Laras, jadi mungkin jalan satu-satunya adalah menghindar, mencari tempat yang nyaman untuk dirinya sendiri dan Laras memilih berjalan kearah pintu kecil yang tertutup rapat, membukanya dan sebuah jalan kecil menuju toilet terlihat, disana tak banyak orang, hanya ada Laras dan beberapa orang yang keluar masuk dari dalam toilet, baik itu laki-laki ataupun perempuan.

"Dia akan menunggu disini" Batin Laras berbicara.

Laras terus berdiri disana, menunggu Rafan menghubunginya dengan gaun hitam menjulang yang membuat Laras perlahan-lahan mulai kegerahan karena di lorong itu tidak ada AC ataupun pendingin ruang seperti di dalam ruangan.

***

"Selamat datang Tuan Muda Rafan"

Seno dan Rafan saling berjabat tangan dengan orang yang mereka temui disana, sang empunya pesta yang kini berdiri ditengah dengan gagah dan penuh kuasa, tersenyum menyambut keduanya.

"Dimana Pak Nareswara, apa Ayahmu gak ikut ?" tanyanya pada Rafan.

"Dirumah Om, Dia ijin tidak bisa datang dan menitipkan ucapan selamat atas kesuksesan anda, semoga pestanya berjalan lancar" jawab Rafan yang langsung membuat pria tua tersenyum senang sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Bagaimana kabarmu Nak ? Apa kamu baik-baik saja dengan keadaamu sekarang ?"

Raut wajah itu langsung berubah, Seno bisa membacanya saat mata Rafan menyinarkan aura dingin pertanda ketidaksukaan atas apa yang baru saja dia dengar, ucapan pria itu adalah Hal yang sebenarnya sangat sensitif untuk Rafan dengar, Bosnya itu mudah tersinggung apabila ada yang bertanya soal keadaannya saat ini.

"Baik, semua baik" jawab Rafan dengan tanpa ekspresi yang langsung membuat pria tua itu mengangguk kaku dan tersenyum samar, sepertinya dia tau perubahan Rafan saat ini.

"Apa kamu ingin wine ?" tanyanya mencoba mencairkan suasana. "Kau datang hanya berdua saja ?" tanyanya lagi.

"Tidak, ada sekertarisku yang menunggu"

Tak ada pertaanyan lagi setelah itu, pria tua itu memanggil waiter dan meminta segelas wine untuk Rafan, Seno dan dirinya.

"Bersulang!" ucapnya dan ketiga pria itu mulai menyatukan gelas kaca itu, menghasilkan bunyi indah sampai mulai meneguk wine berwarna merah itu.

Setelah bersulang, beberapa pria tiba-tiba menghampiri mereka, pria-pria itu melakukan hal yang sama seperti Rafan diawal tadi, lalu setelah itu pandangan pria-pria itu beralih kepada Rafan dan Seno, memperhatikan keduanya dari atas sampai bawah.

"Rafan ?" panggil seorang pria berjas biru dengan sebelah alis terangkat, terlihat sangat angkuh sekali memandang Rafan.

"Wey... hebat lo bisa kesini, berani" ucapnya lagi kali ini di barengi dengan senyuman miring meremehkan.

"Rafan, Rafan, Apa kabar lo" sahut salah seorang pria lagi yang kini berdiri disebelah pria asing yang memanggilnya, sama seperti pria itu, Dia juga memandang Rafan dengan penuh keangkuhan.

Rafan berdecih, lalu salah satu sudut bibirnya terangkat, membuat Seno yang berdiri disebelah bosnya memandang dengan penuh kekhawatiran.

"Baik, selagi yang di datangi adalah pesta manusia bukan pesta hewan buas, kenapa harus takut masuk kedalamnya ?" jawab Rafan seolah menyindiri ucapan pria-pria itu.

"Ekhmm! Apa kabar Nak ? dimana ayahmu ?" tanya pria tua yang seolah menengahi mereka sebelum terjadinya perang.

"Ya, lo benar, tidak ada yang perlu ditakutkan, kecuali ketika lo melakukan kesalahan" ucap pria itu yang seolah mengabaikan pertanyaan orang disebelahnya.

Rafan tak bergeming, namun sorot mata dan kepalan tangannya menjadi sebuah pertanda betapa terganggunya Dia tidak terimanya Rafan atas ucapan pria itu.

"Rafan, Vano, bagaimana bisnis kalian ?" tanya Pria itu lagi yang memang sengaja mengalihkan pembicaraan mereka berdua.

Pria bernama Vano itu tetap fokus menatap Rafan yang berdiri dihadapannya. "Baik Om, sangat Baik karena Saya bisa Melihat peluang-peluang yang berpotensi untuk perusahaan!" jawab Vano dengan begitu tegas, menekankan pada kata Melihat sambil terus menatap Rafan dengan senyuman dinginnya.

Seno, Dia adalah orang yang paling tidak tau harus berbuat apa, apalagi ketika dia melihat wajah Bosnya, Vano dan Rafan tidak seharusnya bertemu, kedua singa ini tidak boleh saling berdekatan apalagi menatap seperti ini, karena setelah pasti akan terdengar genderam perang.

"Meski tidak bisa Melihat, tapi semua aman dibawah kendaliku, semua terkendali, termasuk perusahaanku" jawab Rafan kali ini dengan kepala terangkat dan sorot mata memandang kedepan.

Jujur, meski aku sudah bekerja bertaun-taun di perusahaan Pak Nareswara, tapi aku tetap tidak mengerti apa penyebab pertengkaran kedua anak pengusaha ini.

"Bagus, Om sangat bangga pada kalian berdua"

Keduanya tak bergeming, hanya saling menatap dingin bagaikan gunung Es yang sangat dingin, memiliki kekuatan masing-masing, berdiri kokoh dengan gengsi dan keangkuhan yang tak ingin dikalahkan, membuat orang yang berada disekitarnya hanya bisa menonton tanpa tau harus melakukan apa.