Chereads / Anti Sosial / Chapter 9 - Label Harga

Chapter 9 - Label Harga

Tak ada hari yang tak gelap, entah kenapa awan gelap itu seolah mengikuti langkahku. Lagi dan lagi, terus menerus sampai aku tak bisa sembunyi dimanapun.

Aku melihat pantulan diriku di cermin besar, gaun hitam dengan serpihan berlian itu membuatku mampu tak mengenali diriku sendiri, rasanya tak percaya kalau aku sekarang berada di dalam butik desainer ternama Indonesia, tepat di depan kaca besar dengan gaun ciptaanya.

"Gimana ? suka gak ? kalau aku liat sih udah bagus banget, acaranya malam kan ?"

Aku hanya bisa mengangguk kaku dengan senyum bodoh menjawab pertanyaan desainer itu.

Rafan, setelah makan siang, dia memberitahuku kalau besok malam dia harus pergi ke pesta koleganya, bertempat di sebuah ballroom hotel bintang lima yang sudah pasti di hadiri banyak konglomerat sukses Jakarta, bahkan bukan hanya konglomerat tapi juga deretan artis populer yang turut diundang.

Maka dari itu, Rafan mengajakku dan Seno ke butik ini, Dia menyuruh kami berdua untuk memilih gaun dan jas yang paling kami suka, yang kira-kira cocok di pakai untuk menghadadiri pesta itu.

"Wah! Pak Seno keren banget" ucap Laras sambil mengacungkan jempolnya begitu ia melihat Seno keluar dari fitingroom dengan memakai jas berawarna merah.

"Oh jelas! Hehe" jawab Seno dengan senyum girang sambil menatap kaca yang ada di hadapannya.

Desainer itu tersenyum puas melihat reaksi Seno yang terlihat bahagia memaki rancangannya, sementara Rafan hanya duduk diam dengan pandangan kosong menatap entah kemana, yang membuat desainer itu melihat kearahnya.

"Pak Rafan mau coba sekarang atau nanti ?" tanya desainer pria itu dengan ramah yang membuat Laras dan Seno juga melihat kearaha Rafan, kedua karyawan itu sepertinya lupa kalau disana juga ada Rafan, bos mereka.

"Boleh, sudah disiapkan ?" jawab Rafan dengan datar.

Desainer itupun mengangguk "Sudah Pak, sesuai dengan pesanan anda, mari saya bantu" ucapnya dan langsung memapah Rafan, membantunya masuk kedalam ruang ganti pakaian.

Laras dan Seno kembali melihat kearah pantulan kaca, keduanya terlihat senang bukan main, apalagi Seno yang tak berhenti tersenyum sambil mengelus-elus jas yang ia pakai.

"Pak Rafan baik banget ya, baru kali ini saya di beliin baju sama beliau" ucap Seno yang membuat Laras tersenyum kecil, baru kali ini ia lihat Seno selunak ini, biasanya tegas dan disiplin.

Tak ada ucapan lagi keduanya sibuk dengan baju mereka masing-masing, terutama Laras yang memperhatikan setiap detail gaun yang ia pakai.

Lima Belas Juta Rupiah…

APA ?!!

Mata Laras nyaris keluar begitu ia melihat label harga yang terpasang di dalam gaun itu.

Gila! Harga gaun ini bahkan ngalahin gaji dia dalam sebulan.

Seketika badanku membeku, memakai gaun ini bagaikan beban untukku, apalagi begitu melihat label harga yang terpasang.

Orang gila mana yang pakai baju mahal begini ? Seketika aku ingat ayah, ibu, kakak, adik dan aku yang bekerja setengah mati namun tak pernah bisa mendapatkan uang sebanyak, bahkan setengah dari harga gaun ini.

Aku terdiam di tempatku, menatap nanar diriku dan gaun yang aku pakai.

"Wah… Pak Rafan!"

Semua mata tertuju padanya, tubuh tinggi yang berjalan keluar dengan tongkatnya, tampak menawan dengan setelan jas berwarna putih dipadukan dasi kupu-kupu berwarna senada, visualnya memang tak terbantahkan, Rafan memang memang menawan dengan segala yang melekat ditubuhnya.

"Jika gaun yang aku pakai semahal ini, pasti Dia… Mungkin seharga rumah." gumam Laras dalam hati yang kini menatap Rafan dari atas sampai kebawah.

"Bagaimana ?" tanya Rafan dengan wajah nyaris tanpa ekspresi.

"Keren! Pak Rafan terlihat semakin tampan" sahut Seno dengan penuh semangat.

"Anda keren sekali" ucap Desainer itu menimpali.

Sementara Laras, gadis itu hanya bisa menghelah nafas pelan dan mengatupkan bibirnya.

Rafan mengangguk singkat. "Oke, kalau begitu tolong bungkus yang ini dan juga yang mereka berdua pakai" jelas Rafan yang langsung diangguki oleh disainer itu sambil membuka Jas yang Rafan pakai saat ini.

"Baik, mohon ditunggu ya"

Rafan, Seno dan Laras duduk di ruang tunggu yang ada di dalam butik itu selagi desainer itu menyuruh para karyawannya untuk mengemas belanjaan mereka, wajah Laras terlihat sangat gusar sedaritadi, hatinya bimbang ingin bilang soal gaun yang dibelikan oleh Rafan untuk karyawannya, rasanya terlalu berlebihan untuk menghadari sebuah pesta dengan memaki gaun semahal itu, tapi dia juga bingung harus bicara bagaimana agar tidak membuat Rafan tersingung ataupun salah paham dengan maksudnya.

"Ada apa ?"

"Ya ? Bapak bicara dengan saya ?"

Laras mendelik kaget saat Rafan tiba-tiba mengucapkan sebuah pertanyaan dengan pandangan lurus kedepan.

Rafan mengangguk singkat lalu kembali diam menunggu jawaban Laras yang kini malah semakin salah tingkah.

"Mmmm… Gak, Gak apa-apa Pak" jawab Laras dengan canggung.

Tidak ada pembicaraan setelah itu, semua sibuk dengan pikiran masing-masing hingga desainer itu kembali menghampiri mereka sambil menenteng paperbag pesanan mereka setelah hampir dua puluh menit mereka menunggu disana.

"Maafkan kami karena terlalu lama membuat anda menunggu, ini pesanan Anda" ucap desainer itu yang langsung memberikan paperbag besar yang di dalamnya ada sebuah kotak besar pada Seno.

"Terimakasih bapak Rafan sudah berkunjung kesini, kami menunggu kunjungan anda berikutnya" ucap desainer itu pada Rafan, Ya, hanya Rafan.

Laras berjalan disebalah Rafan yang kini tengah berjalan dengan tongkatnya, sementara Seno sudah lebih dulu berjalan kearah mobil mewah yang Rafan punya.

"Kita langsung ke kantor, hari ini saya masih harus periksa beberapa berkas" ucap Rafan dengan tegas.

"Baik Pak"

Laras membuka pintu mobil itu begitu mereka sampai, dengan sangat hati-hati Laras mendudukan Rafan di jok penumpang, setelah di rasa bosnya sudah aman dan nyaman dengan posisinya, barulah dia menutup pintu itu dan ikut masuk melewati pintu sebelah lalu duduk tepat di samping Rafan dengan Seno yang kini duduk di depan, tepat disamping supir pribadi Rafan.

Mobil sedan hitam itupun perlahan mulai berjalan meninggalkan butik mahal itu, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, ternyata kami lumayan banyak menghabiskan waktu disana untuk memilih baju, hampir tiga jam dan semua itu karena Seno yang plinplan memilih jas.

"Kamu bantu saya ya nanti, kita sepertinya lembur lagi malam ini" ucap Rafan yang hanya diangguki oleh Laras.

Sudah kubilang, lembur itu sangatlah wajar untukku, jadi seharusnya Bosnya sudah mengerti.

Tiga Puluh Meni Berlalu….

Ketiganya sampai tepat di depan lobi kantor mereka, Laras dan Seno kembali saling membantu Rafan untuk turun dari dalam mobil itu.

"Kamu mau langsung pulang Seno ?" tanya Rafan setelah ia turun dari sana.

"Enggak Pak, masih ada beberapa tugas yang harus saya selesaikan"

Seno membantu Rafan masuk kedalam perusahaannya yang kini sudah sepi karena memang mereka sampai di jam pulang kantor.

"Kak!"

Laras menengokkan kepalanya kearah sumber suara yang ia dengar, saat itu juga tubuhnya membeku dengan wajah kaget dan kaku.

Aldi ?!

Laras langsung berjalan kearah dimana Aldi berdiri dengan baju seragam kerjanya yang ia tau karena tertulis jelas nama perusahaan tempat adiknya bekerja disana.

"Ngapain disini ? kok bisa disini ?!" tanya Laras bertubi begitu ia sampai di hadapan Aldi.

"Gue ada kerjaan disini, bos gua tadi hubungin gue kalau di kantor ini ada beberapa AC yang rusak"

Degh!

Hati Laras mencelos bukan main, Dia terus melihat Aldi, memperhatikannya dari atas sampai bawah yang mana ditangannya menenteng tas besar yang Laras yakini berisi alat-alat kerjanya.

"Kok sore-sore ?" tanya Laras

"Iyalah, kan teknisi kerjanya ya jam-jam segini, mana bisa benerin AC kalau masih ada orang yang kerja, nanti ke ganggu"

"Sendirian ?"

"Enggak, sama temen juga tapi udah duluan naik keatas, lu kerja disini ternyata, enak ya"

Laras tak menjawab, tapi matanya terus menatap lekat adiknya, gaun mahal tadi kembali terngiang diotaknya.

Lima belas juta, bahkan sekeras apapun bekerja, orang seperti kami tidak pernah mendapatkannya.

"Gua duluan ya"

Aldi berjalan melewati dirinya sambil menenteng tas besar, ia masuk dengan semangat kedalam kantor itu, kantor yang memiliki banyak sekali lantai, entah di lantai berapa adiknya harus bekerja, Laras bisa memperhatikan punggung adiknya yang perlahan semakin menjauh, bersamaan dengan hatinya yang mencelos.

Ada banyak orang yang melabeli harga di dunia ini, entah untuk barang, makanan, minuman ataupun manusia.

Berapa ?

Berapa kira-kira harga labelku ?