Chereads / Anti Sosial / Chapter 3 - Lintah

Chapter 3 - Lintah

Waktu menunjukkan pukul 07.00 WIB

"Astagfirullah!"

Laras segera menyingkap selimut bulu berwarna biru laut itu, ia langsung terduduk di kasur dengan wajah panik begitu ia melihat kearah jam dinding yang tergantung tepat di depan kasurnya.

Laras mengusap wajahnya sambil menghelah nafas berat, menggeleng-geleng pelan kepalanya, memaksa dirinya untuk kembali sadar, padahal ia baru saja tidur beberapa jam setelah pulang lembur jam sepuluh malam.

Laras menyingkap lagi selimut yang menutupi kaki jenjangnya, ia berniat turun dari kasurnya dan berjalan ke kamar mandi, tapi baru saja dia menyingkap selimut itu dan…

"Arrggghh!"

Laras berteriak, ia kaget bukan main ketika ia melihat ada lintah besar yang menempel di selimutnya, lintah berwarna kuning yang entah dari mana datangnya.

"Ada apa sih, pagi-pagi udah teriak-teriak!"

Mamah masuk kedalam kamar Laras, mengecek anaknya yang tiba-tiba saja berteriak.

"Kamu kenapa teriak-teriak ? Bikin kaget aja" ucap Mamah diiringi dengan wajah bingung bercampur cemas begitu ia berdiri tepat di depan pintu kamar Laras yang a buka.

"Itu Mah… ada Lintah!" jawab Laras dengan wajah ketakutan sambil menunjuk kearah Lintah yang tengah diam diatas selimutnya.

Mamahnya tampak terkejut, ia mengikuti jari telunjuk Laras yang mengarahkan dimana Lintah itu berada. "Hah ?! Datang dari mana ya, kok tiba-tiba ada lintah!"

Mamah Laras segera berjalan masuk kedalam kamar anaknya, ia langsung mengambil selimut berisi lintah itu. "Dari mana Lintah ini, tiba-tiba kok ada di kamar kamu ya, aneh" gumam Mamah sambil membuka jendela kamar Laras yang langsung terhubung kearah taman belakang rumah mereka, di goyang-goyangkan selimut itu sampai lintah itu terlepas dan jatuh kebawah keluar jendela.

Laras hanya diam sambil memperhatikan Mamahnya yang kini tengah menyingkirkan lintah itu.

"Pertanda apa ini" ucap Mamah begitu ia kembali menutup jendela itu.

Dahi Laras mengeryit begitu ia mendengar ucapan mamahnya. "Apa sih maksud mamah, kok ngomongnya begitu."

"Yang mamah tau sih kalau mimpi, semisal mimpi bertemu Lintah itu artinya kamu harus siap-siap menghadapi masalah yang akan datang, terus kalau semisal mimpi di gigit lintah itu pertanda ada orang yang sedang jatuh cinta denganmu, tapi sekarang…"

"Sekarang aku gak lagi mimpi Mah, ini kenyataan!" sahut Laras yang langsung sewot.

Laras berjalan kearah gantungan handuk yang ada di kamarnya, lalu mengambil handuk miliknya yang berwarna merah. "Yaudah aku mau mandi dulu." lapor Laras.

"Kebiasaan banget! suka sekali mengkait-kaitkan segala sesuatu" dumel Laras sambil berjalan masuk kedalam kamar mandi.

Kenapa para orang tua suka sekali mengkaitkan segala sesuatu dengan hal-hal yang tidak ada kaitannya, gak kebayang kalau dia sampai cerita ke mamahnya soal mimpi dia semalam, entah apa yang akan mamahnya ucapkan tentang mimpi itu.

***

"Bagaimana keadaanmu, Rafan ?"

Rafan baru saja duduk di meja makan dan langsung ayahnya itu bertanya soal keadaanya, hal tabu yang jarang sekali di lakukannya, dia bisa menduga kalau pasti ibu tirinya kini tengah memasang wajah tidak senang saat mendengar ucapan ayahnya.

Rafan berdehem sesaat. "Baik" jawabnya dengan singkat.

"Saya mau minum susu saja hari ini" ucap Rafan dengan pandangan melihat, ucapannya ini di maksudkan untuk pembantunya yang pasti sudah berdiri di sampingnya.

"Papah sudah minta tolong ke dokter Handi untuk carikan donor mata untuk kamu, beliau bilang dia akan segera menghubungi papah kalau semisal sudah menemukan donor mata yang cocok untuk kamu, mungkin paling lama sebulan" ucap sang ayah lagi yang kini tengah mengoleskan selai cokelat di roti tawarnya.

Rafan tak menjawab, dia hanya diam sambil meminum susu putihnya hingga tandas tak bersisa.

"Papah kapan bilang sama dokter Handi ?" tanya seorang wanita yang sudah pasti istri dari ayahnya.

"Kemarin, sewaktu papah di kantor"

"Dimana Ririn ?"

Ririn, si pembuat onar yang takkan pernah Rafan lupakan, anak perempuan itu adalah adik tirinya, alias anak dari istri pertama ayahnya, sudah banyak kenakalan yang di perbuat anak itu hingga membuat satu rumah ini heboh bahkan gempar, hanya dia satu-satunya yang bisa membuat polisi pernah menggeledah rumah mereka karena di duga sebagai pemasok narkoba, sampai bahkan pernah di komplain warga karena terlalu berisik di malam hari, hingga ketua komplek perumahan kami datang dan menegur yang mana Ririn, adik tirinya itu ternyata sedang berpesta dan mengundang teman-temannya sambil menyalakan musik dengan volume paling tinggi di tengah malam, sewaktu semua orang pergi untuk urusan bisnis. Bahkan Rafan tidak akan pernah lupa saat dimana Dia harus pergi ke sekolah wanita pembuat onar itu dan menemui guru BK karena Ririn berkelahi dan memukul temannya, hingga kepalanya bocor.

"Mungkin masih tidur Pah" jawab sang istri lalu menyesap teh buatannya.

Rafan bisa mendengar dengan jelas helaan nafas ayahnya, bisa ditebak kalau ayahnya pasti sedang menggelengkan kepalanya pelan karena tidak habis pikir dengan anak perempuannya.

"Memang dia gak kuliah ?" tanya ayahnya lagi.

"Tadi mamah udah coba bangunin dan tanya, katanya hari ini dia online kuliahnya"

Ditenga sarapan pagi mereka, tiba-tiba Seno datang dan menyapa mereka. "Eiy kamu No, sarapan dulu"

"Terimakasih pak, tapi saya sudah sarapan tadi di rumah" jawab Seno menolak dengan halus Bos besar yang tak adalah ayah Rafan.

"Aku berangkat dulu" ucap Rafan yang langsung bangun dari duduknya sambil membawa tongkat yang biasa ia pakai.

Seno segera membantu Rafan dengan memasukan kembali kursi itu, lalu pamit kepada Bos besar beserta istrinya dengan Rafan yang sudah berjalan lebih dulu keluar dari rumah itu, beberapa pengawal langsung membantunya, menuntunnya masuk kedalam mobil sedan hitam milik Rafan.

***

Satu Jam Kemudian…

"Pengumuman! Hari ini tolong kalian semua persiapkan laporan kalian, karena Pak Rafan ingin rapat hari ini membahas tentang perkembangan penjualan produk"

Ucapan Seno bagaikan Bom waktu yang meledak tiba-tiba bagi para karyawan yang kini tengah saling menatap dengan mata terkejut bukan main, Seno langsung berlalu begitu saja dengan santainya, masuk kedalam ruangan bosnya tanpa beban, berbanding terbalik dengan suasan ruang kerja karyawan yang seketika penuh bisik-bisik suara yang tak sedikit meracau atau mendumel.

"Gila kali gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba rapat"

"Anjirt! gue belum selesai sama sekali bikin laporannya"

"Sama eh, gua juga belum selesai"

"Apaan yang mau gue laporin, nulis laporan aja gue enggak, dari kemarin kan si Seno nyuruh gue peninjauan ke pabrik, gimana caranya gue nulis laporan"

"Pak Rafan lagi kesambet apaan sih tiba-tiba ngadain rapat"

Kira-kira seperti itulah bisikan protes dari beberapa karyawan yang begitu mendengar kalau akan diadakan rapat dadakan untuk mereka, gaduh di ruangan karyawan berbanding terbalik dengan suasana ruang kerja Rafan yang kini sunyi senyap dengan Seno yang berdiri di hadapannya.

"Kamu sudah umumkan rapat hari ini ?"

"Sudah Pak" jawab Seno begitu Rafan bertanya.

Rafan hanya menganguk singkat, lalu punggungnya menyender di kursi kerjanya, kali ini tidak ada kursi roda, hanya ada kursi kerja empuk miliknya.

"Oh iya, kemarin saya nyuruh kamu untuk cari pembantu yang merangkap jadi asisten kan ?"

Deg!

Jantung Seno seketika berdetak, soal itu… Dia sama sekali belum menemukan orangnya, bahkan karena sangking sibuknya menemani Rafan, Dia sampai tidak sempat untuk mencari orang yang tepat untuk di jadikan Pembantu sekaligus yang juga bisa menjadi asisten Rafan.

"Sudah dapat orang yang cocok ?" tanya Rafan lagi, Seno hanya bisa menelan ludah.

"Hmmm… Sud..dah Pak"

"Apa ?"

"Sudah Pak"

Seno tidak tau kenapa, kenapa dirinya bisa begitu nekat menjawab pertanyaan Rafan dengan berbohong.

Matilah Kau Seno...