Chapter 39 - Hutang Penjelasan

Nisa sudah berada di samping Arya yang sedang mengemudikan Audi RS5 Quattro Hitam kembali ke kantor. Tiba tiba hujan turun dengan derasnya membuat jalanan semakin macet dan perjalanan mereka jadi melambat.

"Jakarta... gak pernah gak macet," keluh Arya dari balik kemudi. Tidak seperti Bryan yang harus memakai supir karena permintaan Ayahnya, Arya lebih bebas membawa mobil pribadinya. Nisa tersenyum mendengar gerutuan Arya.

"Kalau di New York pasti jarang macet ya Pak?" tanya Nisa sambil tersenyum dan memandang Arya. Arya ikut tersenyum.

"Gak juga, Manhattan bisa macet berjam-jam kalo jam kantor. Oh iya, jangan panggil aku pak kalo sedang tidak di kantor, panggil saja Kakak, Kak Arya." Nisa pun mengangguk setuju.

"Gimana Nisa, kamu betah kerja sama Bryan?" Nisa mengernyitkan kening, mengapa semua orang yang ia temui belakangan menanyakan hal yang sama?

"Mau jawaban jujur atau gak?"

"Jujur lebih baik," jawab Arya tanpa ragu.

"Menyebalkan dan melelahkan." Arya tertawa kecil.

"Kakak sebenarnya penasaran dengan cerita Bryan bisa disiram kopi panas sama kamu."

"Tapi Kak... itu bukan hal yang menyenangkan untuk diceritakan."

"Ayolah Nisa, kita punya banyak waktu ngobrol. Belum tau berapa lama macetnya ini," rayu Arya sambil tersenyum. Nisa akhinya menceritakan bagaimana kejadian yang sesungguhnya pada Arya. Termasuk ketika Bryan mengatainya dan Nisa melawan. Arya akhirnya tidak dapat menahan tawanya.

"Jadi, kamu panggil dia, orang kaya sombong... hahaha," ujar Arya sambil tertawa. Nisa ikut tersenyum merapatkan bibirnya. Dia pikir Arya akan marah karena Nisa sudah mengatai temannya.

"Bryan memang sesekali harus diberi pelajaran seperti itu, Kakak tau dia kadang suka menyebalkan."

"Gimana Kak Arya bisa tahan jadi temannya?" tanya Nisa tanpa sadar.

"Maaf..."bisiknya kemudian sambil menunduk. Arya tersenyum saja mendengarnya.

"Gak apa, gimana kakak bisa jadi sahabat Bryan ceritanya panjang. Kakak udah terbiasa menghadapi sifatnya, kami sudah bersama dari umur 5 tahun."

"Oh ya? berarti kalian teman dari kecil ya?" Arya mengangguk sambil terus menjalankan mobilnya pelan lalu berhenti lagi karena masih macet

"Kakak ga bermaksud membela Bryan, Nisa. Tapi Bryan sebenarnya punya hati yang baik. Dia akan mengorbankan apa saja untuk orang orang yang ia cintai. Yang kamu lihat hanyalah tampilan luarnya, kamu harus lebih mengenal hatinya." Nisa seperti merajuk.

'Untuk apa aku mengenalnya lebih jauh, hubungan kami hanyalah bos dan asisten di kantor serta Kakak dan Adik tiri diluaran!'- ujar Nisa dalam hatinya.

"Tapi menurut Nisa, Kak Arya jauh lebih baik." Arya masih tersenyum. Kalau Bryan mendengar ini dia pasti ngambek.

"Nisa ada beberapa hal dibelakang kamu yang terjadi yang tidak kamu ketahui. kamu dan Bryan harus saling bicara menjelaskan segala kesalahpahaman kalian selama 12 tahun ini."

"Salah paham apa?" Nisa mengernyitkan keningnya.

"Hanya Bryan yang boleh menjelaskan. Kakak gak berhak ikut campur. Tapi kamu harus tau, dia sangat menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan dulu sama kamu." Tiba tiba memori ketika Bryan mencuri ciuman pertama Nisa dengan paksa di dalam kamarnya kembali terngiang di benak Nisa. Bryan ternyata menyesal telah menciumnya.

Apakah dia menyesal dengan ciuman yang ia berikan atau menyesal karena ia memaksa Nisa saat itu. Tidak ada yang tau luka itu hingga hari ini, Nisa menyimpannya sendiri. Rahasia itu hanya Nisa, Bryan dan Tuhan yang tau.

Ungkapan cinta terlarang Bryan saat itu sesungguhnya membuat Nisa patah hati. Nisa tidak bisa berbohong jika sebenarnya ia menyukai Bryan dari semenjak pertama mereka bertemu ketika Bryan menolongnya dulu. Tapi kemudian ia mencoba mengubur perasaannya karena Bryan adalah calon kakak tiri nya.

Akan tetapi, Bryan yang saat itu diyakini Nisa hanya dipenuhi rasa marah dan benci, mencium Nisa dan memintanya jadi pacarnya. Saat itu Nisa berpikir itulah cara Bryan membalas sakit hati pada orang tuanya akibat pernikahan Ayahnya. Dia mau berbuat sejauh itu hanya untuk membalas Ayahnya dan Ibunya Nisa.

"Apa yang kamu pikirkan kenapa kamu diam aja," tanya Arya setelah Nisa terlihat melamun.

"Sepertinya tidak ada lagi yang harus dijelaskan oleh kak Bryan, dia sudah melakukannya dulu," ujar Nisa memandang ke depan. Arya lalu memandang wajah Nisa mencoba bertanya dengan ekspresinya apa yang Nisa maksud.

"Kak Arya gak usah kuatir, hubungan kami cuma asisten dan bos serta kakak dan adik tiri tidak lebih dari itu," ujar Nisa memandang Arya.

Ah Nisa andai kamu tau berapa sulitnya Bryan bangkit setelah dia pergi dari Indonesia. Bryan bahkan mengubah cara hidupnya, hidup sebagai player untuk menutupi hatinya yang terluka.

Bukan Arya tidak tau mengapa Bryan kerap gonta ganti pacar, ia tau sahabatnya itu mencoba menghapus "cinta terlarang" dari hati nya. Dia tidak pernah mau punya hubungan yang serius karena sesungguhnya ia masih menantikan Nisa. Arya hanya menghela napas panjang. Dua orang ini sama-sama keras kepala. Nisa harus diberi penjelasan siapa Bryan dalam keluarga Alexander yang sebenarnya. Sehingga mungkin dengan begitu Nisa mau membuka hatinya bagi Bryan.

Mereka tiba di kantor hampir dua jam kemudian. Waktu bahkan sudah jam 4 sore. Keduanya masuk lift bersama dan masih bercerita hal hal yang menyenangkan. Suasana tegang tadi di mobil sudah lama hilang, Arya memang pintar menaikkan mood seorang wanita. Dia tau bagaimana caranya membuat seorang wanita tertawa. Arya kerap mengeluarkan joke-joke-nya yang membuat Nisa tak berhenti tertawa bahkan sampai pintu lift terbuka. Arya bahkan mengantar Nisa sampai ke ruangannya. Ternyata di ruangan itu tidak kosong, Bryan duduk di sofa, melipat kaki dengan wajah serius menunggu.

"Kenapa baru sampai, dari mana aja kalian?" ujarnya kesal. Arya tersenyum saja melihat tingkah Bryan dan hanya menggaruk tekuk lehernya. Sedangkan Nisa langsung berubah jadi cemberut begitu melihat bosnya ada di ruangannya.

Tidak ada yang menjawab sampai Arya yang berada dibelakang Nisa menundukkan wajahnya seperti membisikan sesuatu di telinga Nisa yang terbuka karena rambutnya dikuncir. Arya memang penggoda, ia sengaja melakukannya sambil melihat atas Bryan. Bryan membelalakkan matanya. Apa apaan ini Arya!

Nisa hanya tersenyum mendengar bisikan Arya, seolah mereka sudah sangat akrab hanya dalam beberapa jam saja. Nisa lalu mengangguk entah mengiyakan apa, ia lalu menuju meja nya tanpa menjawab pertanyaan Bryan. Bryan semakin kesal, rasanya ia ingin membanting apa saja yang ada di depannya.

"Sampai jumpa nanti Nisa!" ujar Arya sambil mengedipkan matanya pada Nisa lalu keluar ruangan dengan senyum curang. Dan Nisa hanya membalasnya dengan senyuman.

'Apa yang sudah terjadi diantara mereka berdua di dalam mobil tadi?' tanya Bryan dalam batinnya.

Bryan mencoba menenangkan kekesalannya, ia lalu berjalan ke meja Nisa. Bryan memandang Nisa dengan pandangan tajam, Nisa sampai merasa telah melakukan dosa besar.

"A-ada yang bisa Nisa bantu ,Kak?" ujarnya gugup.

"Nope, mulai besok kamu sudah boleh libur. Malam natal nanti Kakak jemput, kita makan malam!" Bryan kemudian langsung berbalik hendak keluar.

"Tapi..." Bryan menghentikan langkahnya, lalu kembali lagi ke meja Nisa.

"Gak ada tapi. Kamu akan Kakak jemput jam 6," tambahnya lagi baru kemudian keluar dari ruangan Nisa. Nisa memajukan bibir mungilnya seperti merajuk, Bryan selalu suka memaksakan sesuatu dan Nisa tidak menyukainya.

Bryan kembali ke ruangannya dalam keadaan kesal. Ia menarik napas panjang dan menyisiri rambutnya dengan jemarinya beberapa kali sebelum kemudian berkacak pinggang. Sebenarnya ia tau bahwa tidak mungkin Arya akan mengambil Nisa dari nya, tapi bagaimana jika malah Nisa yang menyukai Arya? Tidak cuma Arya, belakangan Bryan sempat mendengar gosip karyawan yang mulai membicarakan Nisa. Betapa cantiknya dia atau ada beberapa karyawan pria hendak mencoba mendekatinya.

Aku tidak bisa diam saja-pikir Bryan. Aku harus segera menjadikan nya milikku. Bryan pun menghempaskan punggung nya ke kursi dan memejamkan mata dengan kesal.

Tiga hari kemudian malam Natal pun tiba. Bryan sudah siap hendak menjemput Nisa. Ia sudah mengantongi alamat Nisa dari kakaknya. Alisha sangat senang jika Nisa mau menghabiskan malam Natal di rumah mereka. Kakaknya itu sudah lama tidak bertemu Nisa semenjak ia pindah dari rumah Alexander.

Bryan berangkat memakai jaket kulit hitam dengan celana jeans berwarna sama. Penampilannya santai dengan sepatu converse marron dan rambut yang masih setengah basah. Ia mengambil kunci dan mengeluarkan salah satu koleksi mobilnya dari garasi. Tak lama ia pun sudah berada di jalan hendak ke rumah Nisa.

Tidak sulit menemukan rumah gadis itu hanya saja jika Bryan tidak memelankan mobilnya maka rumah mungil Nisa pasti terlewat. Bryan turun dari mobilnya, membuka pintu pagar yang hanya setengah tubuhnya, lalu masuk ke pekarangan rumah bercat putih itu.

Rumah ini sesungguhnya indah tapi tertutupi oleh beberapa pohon besar di sebelahnya. Bryan sendiri belum pernah menginjakkan kaki di rumah Tante Rita, Ibunda Nisa. Inilah pertama kalinya ia datang.

Bryan kemudian membunyikan bel sambil melihat lihat sekeliling. Pasti sangat menenangkan jika bisa istirahat siang di rumah ini, suasananya tidak berisik meski di depan adalah jalan utama komplek. Tak lama tirai pintu pun dibuka, terlihat kedua mata Nisa mengintip siapa yang datang.

Melihat bayangan Bryan, Nisa pun akhirnya memutar kunci untuk membuka pintu depan. Bryan terlihat sangat tampan dan berbeda dari biasanya. Selama ini Nisa hanya melihatnya memakai setelan jas-jas mahal bermerk, namun hari ini ia tampil kasual dengan kaos dan jaket hitam. Bryan pun tersenyum pada Nisa yang telah siap untuk pergi.