Bryan masuk ke mobil dengan suasana hati yang masih kesal dan rasa perih di kulit perutnya yang terkena kopi panas. Untung saja dia pakai jas jika tidak, mungkin dia benar-benar sudah masuk rumah sakit. Gadis itu benar benar membuat Bryan marah tapi gemas dalam waktu yang bersamaan. Ketika ia memandang matanya, entah mengapa Bryan merasa deja vu. Ia seolah pernah melihat mata itu sebelumnya tapi tak ingat dimana. Apa gadis itu pernah ia kenal?
Memikirkannya lagi sebenarnya ia jadi agak kasihan. Harusnya Bryan tidak sekeras itu padanya. Tapi Bryan merasa gadis itu juga salah, ia malah selalu melawan. Dan itu membuat Bryan makin emosi. Sejenak pikiran Bryan dipenuhi wajah gadis pelayan kafe yang baru membuatnya menderita luka bakar. Ia pun mengambil ponsel dan menelpon PA nya.
"Mas Bram, tolong hubungi Om Zaki suruh ke kantor sebentar," ujar Bryan sambil memegang perutnya.
"Ada apa, Pak?"
"Gak apa, aku hanya kecelakaan sedikit, cuma ingin periksa buat memastikan aja kok."
"Baik, akan saya hubungi sekarang!"
"Iya, makasih."
Bryan pun menutup teleponnya. Ia menyandarkan kepalanya sambil masih memegang perutnya.
Setengah jam kemudian Bryan tiba di kantor dan langsung menuju ke ruangannya. Arya ternyata sudah berdiri di dekat ruangan Bram penasaran dengan kecelakaan yang menimpa Bryan. Bryan lantas memandang PA nya Bram yang ternyata melapor ke Arya.
"Pak Arya harus tau, maaf Pak Bryan," uajr Bram membela diri. Bryan pun menghela napas.
"Om Zaki udah datang?"
"Sudah di dalam." Arya dan Bram pun ikut masuk ke kantor.
"So Bryan, apa yang terjadi?' ujar dr. Zaki langsung berdiri ketika Bryan memasuki ruangan.
"Duduk dulu Om, aku gak apa cuma kesiram kopi panas." Arya dan Bram saling melempar pandangan masing-masing. Tapi mereka menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh dulu. Mereka membiarkan Bryan diperiksa oleh dokter terlebih dahulu. dr. Zaki kemudian menyibak sedikit kemeja hitam Bryan untuk memeriksa lukanya.
"Sudah di pakaikan cooling pad ya?" tanya dr. Zaki. Bryan hanya mengangguk. Kemudian dr. Zaki mencoba membuka plaster cooling pad untuk melihat seberapa parah luka bakarnya. Kulitnya sudah tak semerah sebelumnya. Karena warna kulit Bryan yang terang maka jika ada luka bakar pasti akan sangat terlihat kemerahannya. Lalu dr. Zaki mengangguk dan menempelkan kembali plaster itu.
"Hanya iritasi sedikit, beberapa hari lagi akan sembuh. Apalagi penanganannya cepat dan langsung diberi pendingin dan obat, gak usah kuatir kamu gak apa," ujarnya sambil tersenyum.
"Maaf udah ngerepotin Om."
"Gak apa, Om bisa sekalian liat dan periksa Daddy kamu juga, check up biasa," ujarnya lagi bangun dan tersenyum. Ia mencatat sesuatu lalu kemudian berjalan ke arah Bram yang berdiri di dekat sofa bersama Arya.
"Berikan dia beberapa cooling pads dan burn ointment, ini resepnya" ujar dr. Zaki pada Bram. Bram mengangguk dan keluar setelah meminta ijin dari Bryan. Tak lama dr. Zaki pun ikut keluar. Setelah Dokter dan Bram keluar, Arya tak membuang waktu untuk mendekat pada Bryan mencari tau.
"Ada apa Bry, lo gak pa-pa?" tanya Arya cemas.
"Iya gak apa, udah gak perih lagi," jawab Bryan lalu duduk di sofa kembali. Tangannya masih memegang bagian perut yang terluka. Arya pun menarik napas lega.
"Apa yang terjadi, kenapa lo bisa luka seperti ini?" Bryan menarik napas panjang sebelum bercerita.
"Ada cewek bodoh yang nuangin hot americano ke gue!"
"Haaa... untuk apa, kenapa?"
"Sebenarnya dia gak sengaja, dia disenggol orang lain jadinya ya kopi panasnya tumpah ke gue semua." Arya yang awalnya berdiri kini ikut duduk di atas meja kopi tepat di depan Bryan menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Trus kenapa bisa sampai kejadian kayak gini, dari mana aja lo?"
"Cuma turun sebentar cari kopi"
"Ah Bryan!" ujar Arya sambil menggeleng kepala ya.
"Trus itu sebabnya, jas dan celana lo gak matching?" Bryan mengangguk.
"Jadi pakaian lo kemana?" tanya Arya lagi.
"Iya gue suruh cewek itu bersihin jasnya." Alis Arya jadi naik.
"Emang cewek itu apa?"
"Pelayan disitu."
"What! Apa lo gak kasian, gimana caranya dia mau dry clean pakaian lo? mungkin dia gak punya uang." Mau tidak mau Bryan jadi memikirkan lagi gadis itu. Mungkin Arya benar bagaimana jika dia tidak punya uang. Ah Bryan jadi merasa bersalah.
"Sebenarnya kalo dia gak nyolot gua gak mau mempermasalahkan jas itu lagi, tapi dia...."
"Dia berdebat sama lo?" potong Arya.
"Exactly!" sambut Bryan otomatis. Arya menutup mata dan menghela napasnya.
"Tell me, udah berapa umur kita sekarang? kenapa masih berantem sama perempuan? mungkin dia cuma anak-anak yang baru tamat kuliah dan butuh pekerjaan. Sekarang mungkin dia udah dipecat gara-gara lo marahin dia!" Bryan mengatupkan bibirnya, dia makin merasa bersalah. Arya benar, dia tidak berpikir sejauh itu tadi sewaktu gadis itu melawannya.
"Trus gimana caranya kalo lo mau ketemu dia? lo punya alamatnya?" Bryan menggeleng.
"Gue bahkan gak tau namanya," sambung Bryan.
"Aisshh, shit Bryan!" Arya menggerutu menggeleng tidak percaya pada Bryan. Dia mau bertindak sejauh itu hanya karena jasnya kotor.
"Oh come on, lo bisa beli ratusan bahkan ribuan jas bermerk kenapa harus mempermasalahkan satu jas yang kotor. Tapi dia harus bayar ratusan ribu atau mungkin jutaan untuk dry clean satu jas itu. Lo kan bilang dia pelayan di kafe itu kan?" Arya mulai menasehati Bryan. Dan Bryan hanya diam saja
"Iya gue salah, tapi kalo dia gak ngelawan seperti itu mungkin gue akan bisa berpikir lebih jernih," sahut Bryan membenarkan tindakannya. Arya memandang Bryan dengan kening mengernyit. Ada hal lain yang mengusik pikirannya.
"Gue gak pernah lihat lo berdebat sama perempuan sebelumnya, kenapa sekarang beda? Apa dia... cantik?" Bryan mengernyitkan keningnya. Sialan, Arya membacanya seperti sebuah buku. Dia tidak menjawab dan mencoba mencari alternatif menghindar. Arya mengangguk kemudian. Bryan buru buru menjelaskan.
"Bukan karena itu, dia terlalu bawel" tawa Arya pecah seketika. Dia tertawa terbahak seolah ada yang sangat lucu. Bryan merasa bodoh di depan temannya.
"Jawab gue dengan jujur. Dia cantik? Cantik banget? Atau terlalu cantik?" Arya masih terus memojokkan Bryan. Bryan kemudian memilih menyandarkan punggung di sofa nya berencana tidak mau menjawab.
"Gue nunggu ni!" Bryan pun akhirnya menyerah, tak ada gunanya melawan Dewa di depannya itu.
"Terlalu cantik, grade A+." Mata Arya terbelalak lalu bertepuk tangan beberapa kali ke udara. Seorang Bryan Alexander mengakui gadis asing yang menyiramnya dengan air panas sebagai predikat terlalu cantik dengan grade A+. Bryan tau benar mana gadis cantik atau tidak. Setengah umurnya di habiskan dikejar dan dipuja wanita-wanita berparas malaikat. Jadi jika ia mengakui ada wanita yang memiliki grade A+ dalam kecantikannya artinya ini serius.
"Trus gimana caranya kalo mau ketemu dia lagi?"
"Besok atau lusa dia akan antar jas gue, gue bilang suruh titip di resepsionis aja!" Arya mengangguk mengerti kemudian berjalan menuju meja Bryan. Dia menekan tombol dial di atas meja yang terhubung pada Bram di ruang sebelah. Bryan tidak mengerti apa yang terjadi jadi dia hanya diam saja melihat Arya.
"Mas Bram, boleh saya minta tolong?"
"Tentu Pak Arya!"
"Tolong hubungi resepsionis bawah langsung ke line ini ya!"
"Oh iya baik."
Arya melepaskan tombol bicaranya. Dia menyandarkan punggungnya di meja Bryan. Sementara Bryan belum bergerak menuju kemana pun. Tak lama panggilan di meja itu berbunyi.
"Maaf Pak, saya Resepsionis ada yang bisa saya bantu?" suara seorang perempuan terdengar.
"Iya, nama kamu siapa?"
"Desi, Pak!"
"Baik, Desi. Nama saya Arya Mahendra, Chief Technical Director, saya punya perintah untuk kamu dengarkan dengan baik. Besok atau lusa akan datang seorang gadis mengantarkan sebuah jas dan kemeja ke kantor. Ketika dia datang arahkan dia ke ruangan saya, mengerti!"
"Baik Pak. Saya sudah mencatat," jawab si Resepsionis.
"Bagus, terima kasih selamat siang."
"Kembali. Pak!" Arya kemudian tersenyum. Bryan jadi mengernyitkan keningnya tidak menyangka dia bisa sepenasaran itu.
"Ngapain lo mau ketemu dia?" tanya Bryan
"Ga ada, gue penasaran aja pengen ketemu cewek yang lo bilang terlalu cantik. Plus dia udah bikin lo kehilangan kendali atas emosi lo. Gue pengen kenal perempuan itu." Bryan bengong memandang Arya sambil menggeleng.