"Jangan gigit bibir bawah kamu di depan Kakak, kamu akan kena masalah besar nanti." Hembusan nafas Bryan membelai lembut daun telinga Nisa. Ia merinding dan bulu kuduknya berdiri. Bukan takut tapi perasaan yang tidak bisa dijelaskan oleh Nisa.
Bryan menegakkan lagi tubuhnya serta melepaskan genggamannya pada Nisa. Ia tersenyum menyeringai tipis sambil kembali ke depan meja kerja. Sedangkan Nisa tak berkutik menahan rona merah di pipinya. Bryan lalu menyandarkan punggungnya pada sudut depan meja. Kedua tangannya diletakkan di dadanya.
"Ada beberapa hal yang harus kamu tau, Snowflakes. Sekarang Kakak Bos kamu dan kamu harus mendampingin Kakak kemanapun dan mengerjakan semua perintah Kakak."
"Jangan membantah dan lakukan seperti yang kakak perintahkan, mengerti," ujar Bryan dengan pandangannya yang tajam. Nisa masih belum bicara.
"Kamu bisa ikuti petunjuk Mas Bram untuk dua bulan ini, tapi setelah itu kamu sepenuhnya akan menjadi asisten kakak, paham Snowflakes?" Nisa bingung dia tidak mengerti kenapa Bryan malah memanggilnya dengan nama Snowflakes.
"Kalo gitu, Kakak juga harus tau beberapa hal dari Nisa. Sebelum, Nisa menandatangani apapun, Nisa gak akan panggil sebutan "Kakak" saat di kantor, Nisa hanya akan bekerja sesuai aturan dan Nisa bukan anak kecil. Nisa gak takut sama Kak Bryan, jadi jangan berpikir kakak bisa mengintimidasi Nisa seperti dulu!" Bryan tersenyum setelah Nisa bicara.
"Jawab satu pertanyaan Kakak, Snowflakes. Apa kamu benci sama Kakak?"
Nisa terdiam dan seperti ragu untuk menjawab. Tapi kemudian kata-kata Nisa membuat hati Bryan terluka.
"Iya, Kakak sudah menyakiti Nisa dan Nisa benci sama kak Bryan," aku Nisa dengan jujur. Mata Nisa mulai berair tapi dia menahan rasa di hatinya. Apa lagi setelah kejadian kemarin, Bryan memperlakukannya dengan tidak baik. Nisa semakin tidak menyukai kakak tirinya itu.
Wajah Bryan berubah dan tersenyum getir. Sebenarnya dia sudah memprediksi jawaban Nisa tapi ia ingin mendengar langsung. Dan ternyata memang menyakitkan. Bryan hanya mengangguk
"Kamu boleh keluar," ujar Bryan lagi. Nisa pun berbalik tanpa berkata apa-apa lalu berjalan ke arah pintu dan keluar. Hati Bryan rasanya hampir copot. Ia masih berdiri di posisi yang sama hingga Arya dan Hans masuk. Arya yang melihat ekspresi Bryan seolah bisa merasakan emosi Bryan yang tertahan. Nisa sudah mengobrak-abrik hatinya dan hanya Arya yang tau. Hans datang menghampiri Bryan dengan tersenyum karena melihat anaknya tenang.
"Kamu akan menerima Nisa kan, Bry?" Bryan memandang Ayahnya dengan tersenyum lalu mengangguk.
"Tentu Dad, Bryan akan lakukan sebaik mungkin."
"Thank you, Nisa sudah sendirian sekarang dan Daddy sudah berjanji pada bundanya untuk menjaga Nisa. Dia anak yang cerdas dan mandiri Bry, kamu gak akan menyesal menjadikan nya PA kamu"
"Aku tau, Dad." Hans lalu pamit hendak bertemu Nisa. Setelah Hans keluar, Arya menghampiri Bryan.
"You ok, Bry?" Arya berdiri di depan Bryan sambil memasukkan kedua tangan di dalam saku celananya.
"I need coffee." Bryan menjawab spontan usai menghembuskan napas dari mulutnya. Arya tersenyum dan mengangguk. Ia kemudian merangkul Bryan dan mengajaknya keluar.
"Let's go out!" Bryan langsung keluar bersama Arya. Sampai di depan ruangan Bram, Arya memegang lengan Bryan untuk berhenti sebentar. Bryan tidak berbalik hanya berhenti. Arya lalu membuka pintu dan hanya berdiri di ujung pintu.
"Ehmm Mas Bram, Arya dan Bryan mau keluar sebentar, mungkin dua jam baru kembali. Tolong technical meetingnya di hold dulu sampai besok."
"Baik, Pak Arya," jawab Bram dan Arya langsung menutup pintu. Mata Nisa sempat menangkap bayangan sosok Bryan berdiri membelakangi pintu. Perasaan Nisa campur aduk setelah bertemu Bryan. Nisa tidak yakin pada kalimat yang ia ucapkan. Tapi selama Bryan pergi selama itu pula Nisa tidak seperti dulu.
Tindakan Bryan pergi dari rumah tidak hanya menyakiti Nisa tapi juga Ibunya. Dan hanya dia yang tau bagaimana Ibunya, Rita menangis hampir setiap malam karena merasa bersalah pada keluarga Alexander. Tak lama setelah Bryan pergi, Hans juga pamit. Ia sangat berharap Nisa bisa betah di perusahaannya.
Setelah Papa nya keluar dari ruangan Bram. Nisa yang masih duduk di sofa hendak berdiri namun di tahan oleh Bram.
"Duduk dulu ada yang ingin Mas bicarakan sama kamu," ucap Bram sambil tersenyum. Nisa mengangguk dan kembali duduk.
"Nisa, Mas Bram sangat berharap kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ini akan menjadi batu loncatan untuk jenjang karir kamu di manajemen perusahaan." Bram menarik napas sebelum melanjutkan
"Mas gak tau bagaimana hubungan kamu dengan pak Bryan di luar kantor dan itu juga bukan urusan Mas, tapi kamu harus mengerti Bryan Alexander adalah bos kamu sekarang, apapun yang dia perintahkan lakukan sebaik mungkin." Kening Nisa mulai mengernyit dan dia ingin menyela tapi menahan diri. Nisa memberi kesempatan bagi Bram menyelesaikan penjelasannya.
"Dia tidak menjadi CEO di perusahaan ini karena anak dari Hans Alexander tapi karena kualitas dan kemampuannya di atas rata-rata sebagai pemimpin. Dia sudah berhasil mengangkat kembali reputasi VanAlex yang sudah hampir bangkrut bahkan bisa membuat satu perusahaannya sendiri pada waktu yang bersamaan. Menjadi CEO dua perusahaan bukan lah yang biasa Nisa, tidak semua orang bisa melakukannya. Dan ketika seluruh perusahaan nya sustain dia kembali untuk membantu perusahaan ini." Nisa masih terdiam dan mengangguk pelan.
"Hormati dia sebagai pimpinan kamu ketika berada di kantor, jangan membantah, dia selalu punya alasan ketika melakukan sesuatu, suatu saat kamu akan tau alasan dari tindakan-tindakannya," ujar Bram memberi wejangan pada Nisa.
"A-apa Nisa boleh mengundurkan diri?" Bram tersenyum.
"Masa kamu sudah menyerah sebelum perang? Tidak terdengar seperti Deanisa yang Mas Bram kenal."
"Tapi Nisa gak akan tahan sama dia, dia.... menyebalkan." Bram tersenyum lebih lebar. Nisa seperti anak kecil yang tengah merajuk.
"Kalau mas Bram jadi kamu, Mas akan ambil tantangan ini, kenapa? Karena dengan begitu Mas bisa membuktikan jika Mas bukan orang yang lemah. Jika kamu tidak ingin terlihat seperti anak kecil kamu harus membuktikan jika kamu memang sudah dewasa. Setelah ini kamu lewati, percayalah Bryan Alexander tidak akan memandang rendah kamu lagi, dia kan menghormati kamu," ujar Bram masih tersenyum. Nisa mengangguk dan membalas senyuman Bram
"So, Nisa bisa kita bahas kontrak kamu sekarang?"
DI LEEGAM COFFEE SHOP
"Silahkan dinikmati," ujar seorang pelayan menghidangkan dua cangkir kopi dan sekeranjang kecil scones di depan Bryan dan Arya. Arya tersenyum mengucapkan terima kasih kemudian memandang Bryan yang masih melihat keluar jendela. Arya menyeruput kopinya pelan menunggu Bryan bicara.
"Gua gak tau harus ngomong apa," ujar Bryan kemudian.
"Lo bisa ngomong apa aja," jawab Arya masih memegang cangkir.
"Kenapa bisa jadi kayak ini, Arya? Ah, gue bener-bener gak nyangka ketemu Nisa dalam keadaan seperti kemarin. Dia pasti sekarang benci banget sama gue!"
"Pasti, dia pasti benci banget!" balas Arya.
"You are not helping me, dude!" Arya tersenyum.
"Bryan, gue pernah bilang dulu sama lo di bandara sebelum lo pergi di New York, lo gak akan pernah bisa menghilangkan perasaan lo ke Nisa. Lo bahkan mentatto inisial nama tengahnya di dada lo, lo jatuh cinta Bryan, lo itu udah jatuh cinta berat sama Nisa," ujar Arya mendekatkan tubuhnya ke meja.
"Lo pasti bercanda, gue mungkin cuma suka sama dia ... dulu, tapi sekarang gue..." Bryan tidak tau harus melanjutkan apa.
"Tau apa kesalahan terbesar lo?" Bryan masih diam memandang Arya.
"Ada dua kesalahan terbesar lo sejak 12 tahun yang lalu. Pertama, lo gak mau ngakuin perasaan lo kalo lo cinta sama dia. Kedua, lo gak kasih penjelasan sama dia siapa lo sebenarnya."
"Lo pergi tanpa kasih penjelasan apapun, sehingga dia menolak lo karena dia berpikir lo Kakaknya," tambah Arya dengan wajah serius.
"Gua gak bisa ngasih saran soal percintaan karena gue sendiri gak pernah punya hubungan yang serius sama cewek tapi gue tau siapa dan gimana lo, itu kenapa gue bilang seperti ini." Bryan mengangguk mengerti.
"Bry, mungkin ini kesempatan kedua yang di beri Tuhan buat lo, anggap ini hadiah Natal buat lo tahun ini." Bryan mengernyitkan kening.
"Kita udah berjalan terlalu jauh dari perasaan kita, Bry. Saatnya pulang, mungkin ini saat yang tepat lo memperjuangkan Nisa dengan segala resikonya," tambah Arya sambil menyentuh ujung cangkir kopinya.
"Gimana caranya? Tadi aja dia melihat gue dengan pandangan benci, gimana caranya gue bisa nakhlukin dia," tanya Bryan mengetukkan ujung jarinya ke meja
"Gak akan mudah tapi apapun itu lo harus kuat dan sabar, dia pantas diperjuangkan iya kan?"
"Sangat pantas," jawab Bryan tanpa ragu sambil tersenyum. Arya mengangguk
"Maka lakukan, jangan menyerah!" tambah Arya sambil mengangkat cangkir dan tersenyum. Bryan pun ikut meminum kopinya.
"Apa yang udah gue lakuin sehingga pantas ngedapetin lo sebagai sahabat? Gue rasa gue adalah superhero dulunya." Arya terkekeh kecil dan meletakkan cangkirnya kembali.
"Gue akan selalu jadi sahabat lo, kita kan soulmate." Arya menjawab dan Bryan mengangguk tersenyum. Mereka berdua kemudian menghabiskan dua jam di kafe bersantai dan minum kopi sebelum kembali ke kantor yang jaraknya hanya 500 meter.
Sesampainya di kantor Bryan dan Arya berpisah di depan ruangan Arya. Bryan melanjutkan pekerjaan dan mencoba mengalihkan konsentrasinya yang sempat terpecah tadi. Dia menghubungi Bram agar tidak mengganggunya sampai jam 5 sore. Dan dia mengijinkan Nisa untuk pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri untuk pekerjaan nya besoksetelah dia menandatangani kontrak magang.
Hari berlalu cukup cepat, Bryan bahkan menghabiskan makan siangnya di dalam ruangan dan setelah jam kerjanya berakhir, Bryan dan Arya masih harus meeting via online conference dengan klien yang memakai jasa perusahaan mereka di New York. Bryan baru kembali ke rumah dan istirahat sekitar jam 12 malam.