Pada malam hari aku tiba-tiba saja teringat kembali dengan cerita-cerita Elina tentang sosok lelaki yang bernama Randi.
"Gua jadi kepo deh sama cowok itu," ucapku di dalam hati.
Akhirnya jari jemariku pun mulai memainkan ponselku. Aku membuka aplikasi facebook dan mencari nama lelaki tersebut. Ketemu. Randi Farrel. Nama dan foto profilnya sesuai dengan yang pernah di beritahukan oleh Elina kepadaku waktu di sekolah.
Aku mulai mencari tahu tentang lelaki itu. Dengan lincahnya jari jemariku menelusuri satu demi satu tentang dirinya di facebook. Mulai dari fotonya sampai statusnya yang alay. Ternyata B saja, alias biasa saja. Tidak ada yang istimewa atau menarik dari dirinya. Apalagi setelah aku melihat komentar-komentar dia dengan para cewek, sepertinya dia adalah tipe cowok yang suka tp-tp, alias tebar pesona kesana sini dengan banyak wanita.
Langsung ku tutup kembali aplikasi facebook tersebut, dan aku mematikan ponselku. Kini waktunya aku untuk beristirahat dan tidak memperdulikan lelaki itu lagi.
*****
Di waktu yang bersamaan, pada malam itu juga ternyata Elina sedang melihat-lihat akun facebokk milik Randi. Seperti biasa, tujuannya adalah ngestalkin doi sampe ke akar-akarnya. Kadang Elina suka senang sendiri ketika melihat ada sesuatu yang menggembirakan di akun facebook Randi. Terkadng juga Elina suka bete begitu saja ketika melihat akun facebook Randi sedang bersama wanita lain. Moodnya bisa berubah dengan cepat begitu saja. Walaupun sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka berdua. Jangankan hubungan, Randi saja tidak tahu jika selama ini Elina sangat menyukainya. Entah itu benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.
Elina POV :
"Ohh ternyata gitu. Jadi selama ini? Aaaa kesel kesell. Gua harus kasih tau ke Kia nih besok. Gua jadi punya rencana. Kia mau ga ya bantuin gua? Semoga aja mau deh," ucap Elina di dalam hati.
Malam menuju pagi terasa begitu sangat cepat. Sekarang hari telah berganti. Senin telah kembali tiba. Itu artinya Elina harus melakukan aktivitasnya seperti biasa. Sekolah dari pagi hingga sore, dan di lanjut les sampai malam hari.
"Ibu, aku berangkat dulu yaa."
"Iya, hati-hati kak. Belajar yang rajin ya."
"Iya Bu, assalamualaikum."
"Waalaikumsallam."
Seperti biasa juga, Elina berangkat ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Yaitu mobil angkot. Sebelum naik ke angkot, Elina harus berjalan kaki terlebih dahulu dari rumahnya menuju ke depan gang, yang dimana disana terdapat banyak angkutan umum.
"El..." Sapa seseorang kepadanya.
"Aduh mampus," ucapnya di dalam hati sambil menundukkan kepalanya.
*****
Author's POV :
Di sekolah.
"Kiaa...."
"Apaan si, pagi-pagi udah berisik aja lu."
"Ih gua seneng banget, demi apaa?"
"Demikian. Kenapa?"
"Palingan juga si Randi." Sahut Rania.
"Hehe, Rania tau aja."
"Hmm, kenapa emang Randi?"
"Jadi tadi di jalan gua ketemu sama Randi, Ki."
"Terus?"
"Dia sapa gua."
"Lu sapa balik? Asik, ada kemajuan buat sahabat kita yang satu ini, udah mulai sapa-sapaan, haha."
"Engga."
"Lah gimana dah?"
"Gua deg-degan kalo liat dia. Ga berani buat natap matanya. Jadinya gua malah nundukin kepala gua. Ga lihat ke dia."
"El... El... Gimana dia mau tahu kalau lu suka sama dia. Lu sendiri aja kaya gini sikapnya ke dia."
"Ya gimana ya, gua juga ga tahu kenapa gua kaya gini."
"Dia naik motor?"
"Iya."
"Yah, padahal kalo lu sapa balik, kali aja dia nganterin lu ke sekolah, unchh."
"Ga mungkin dia mau nganterin cewek gitu aja. Apalagi gua."
"Loh, emang kenapa?"
"Selama ini dia ga pernah deket sama cewek, pacaran aja dia ga pernah."
"Hmm, tahu aja budak cinta kita yang satu ini, haha."
"Ish Kia.."
"Haha, iya iya maaf."
"Eh gua punya ide Ki."
"Ide apa lagi?"
"Coba sini mana hp lu?"
"Buat apaan?"
"Pinjem."
Setelah Kia memberikan ponselnya, Elina langsung saja mengambil ponsel itu dengan cepat. Mata Kia terus terfokus ke arah pergerakan tangan Elina, mau ke arah mana kah jari-jari tersebut memainkan ponsel Kia. Ternyata Elina membuka akun facebook milik Kia dan mencari nama Randi Farrel.
"Eh eh ngapain lu?"
"Lu kirim pesan ke dia ya? Ada yang mau gua tanya ke dia."
"Ya lu tanya sendiri lah, ngapain lewat gua. Nanti kalo ada apa-apa di kira gua nikung teman sendiri. Engga engga."
"Kan ini atas permintaan gua. Mau yaa... Please... Gua kepo banget sama dia."
"Engga. Gua bilang engga ya engga. Kalo lu kepo ya lu tanya sendiri lah." Kia pun langsung mengambil kembali ponsel miliknya itu dari genggaman tangan Elina. Di tutup aplikasi facebook tersebut, dan segera mematikan ponselnya. Karena sebentar lagi juga waktunya masuk kelas dan belajar mengajar kami akan segera di mulai.
Kring... Kring... Kring....
Benar saja. Bel telah berbunyi. Yang berarti menandakan jika seluruh murid SMPN 09 Jakarta harus memasuki ruang kelas masing-masing karena kegiatan belajar mengajar akan segera di mulai.
Pelajaran demi pelajaran kini telah selesai kami lewati. Dari pagi hingga siang hari sudah 3 mata pelajaran yang telah kami selesaikan. Jam di dinding kelas kami sudah menunjukkan pukul 12 siang. Semua murid yang sedang duduk di bangkunya masing-masing seketika mulai melirik-lirik jam tersebut. Berpikir kapan pelajaran ini akan berakhir, dan kapan bel yang di nanti-nanti akan berbunyi. Semua murid sepertinya sudah mulai kelaparan dan fokusnya terhadap pelajaran sudah mulai menghilang.
Kring... Kring... Kring...
Bel yang sudah di nanti-nanti pun kini telah berbunyi.
Kami bereempat pun segera keluar kelas menuju ke kantin. Perut kami sudah tidak tahan lagi dengan rasa lapar ini. Apalagi sebelumnya tadi sebelum istirahat kami belajar matematika. Pelajaran yang sangat menguras otak dan tenaga untuk memecahkan persoalan angka-angka tersebut.
Aku langsung memesan nasi goreng di tempat langgananku. Nasi goreng tersebut adalah nasi goreng terenak yang pernah aku temui. Tidak lupa juga dengan segelas es jeruknya. Setelah memesan makanan masing-masing, kami segera melahap makanan tersebut sebelum bel kembali berbunyi dan kami harus melanjutkan kegiatan belajar mengajar tersebut.
"Tuh Ki, Ihsan," ucap Elina kepadaku.
"Iya tahu, gua lihat kok. Ganteng ya? Hehe."
"Emang apa si yang lu suka dari Ihsan, Ki? Ganteng? Biasa aja. Pinter? Lumayan si. Apa karena dia wakil ketua OSIS? Udah 2 tahun lu suka sama dia, dan lu tetap suka walaupun udah tahu kalau dia ga suka sama lu."
"Ga usah nanya sama gua. Lu sendiri, sama Randi, gimana?" Mendengar perkataan tersebut, Elina hanya bisa terdiam tanpa membalas ucapanku barusan. Sepertinya memang sedikit kasar dengan apa yang sudah aku ucapkan tadi kepadanya, tetapi bukankah kenyataannya seperti itu?
*****
Singkat cerita. Kami semua sudah kembali ke rumah masing-masing.
"Gua juga jadi kepo deh. Apa gua kirim pesan aja ya ke dia? Eh kirim ga ya? Ahh bingungg. Ya udah deh coba gua kirim aja. Di bales atau engganya masalah belakangan." Setelah aku berpikir 1.000 kali untuk mengirim pesan kepadanya atau tidak, akhirnya aku memutuskan untuk mengirim pesan tersebut kepadanya. Dengan hati berharap semoga bisa mendapatkan balasannya.
"Hah? Dia bales pesan gua? Demi apa?" Setelah aku memberanikan diri untuk mengirim pesan tersebut kepadanya, takut tidak di baca, tidak di balas, atau yang lebih menyakitkan di baca tetapi tidak di balas, tetapi kali ini berbeda. Ternyata dia mambalas pesanku, bahkan dengan waktu yang begitu cepat. Langsung aku ambil posisi ternyamanku dan kembali memainkan ponselku untuk membalas kembali pesan darinya.
Aku sangat senang sekali. Ihsan membalas pesan dariku itu. Biasanya dia susah sekali untuk membalas pesan dariku. Sangat kecil kemungkinan dia bisa membalas pesan dariku. Walaupun sebenarnya pertanyaanku barusan itu aku sudah mengetahuinya sendiri jawabannya. Karena aku adalah anggota OSIS juga di bagian divisi mading, dan bisa saja masalah itu aku tanyakan ke ketua OSIS nya langsung, yaitu sahabatku sendiri, Riska. Tidak apa jika aku bertanya kepadanya, karena bagaimanapun juga dia adalah wakil ketua OSIS nya.
Chatan yang sangat simple dan singkat tetapi bisa membuat aku merasa sangat bahagia. Aku berharap, suatu saat nanti bisa chatan lebih lama dengannya. Bahkan dia dahulu yang memulai untuk chatan denganku. Ah, semoga saja. Karena itu baru menjadi harapanku.
-TBC-