Anastasia menatap apartment modern minimalis yang sangat megah menurut nya itu. Di mobil tadi, Akira bilang apartment nya hanya apartment sederhana yang ia mampu beli. Sederhana saja ukuran nya dua kali lipat dari luas rumah panti asuhan tempat tinggal ana. Bagaimana apartment mewah versi Akira? Ana menatap horor laki-laki disamping nya. Ketika Akira membukakan pintu apartment nya, Ana harus berjalan di belakang Akira dengan melewati lorong terlebih dahulu. Tak lama setelah itu barulah terlihat interior apartment ini yang begitu indah dan bergaya maskulin sekali. Seperti percampuran antara modern minimalis dan industrial. Sangat maskulin khas pria lajang di kota-kota besar.
Ruangan itu begitu besar tanpa sekat antara ruang tamu yang merangkap ruang keluarga dan ruang santai, juga meja makan panjang dengan enam kursi duduk yang diletakkan diantara sofa panjang yang menghadap ke tv flat besar dengan kitchen set berwarna putih. Mata anastasia membesar ketika melihat kitchen set yang berbentuk kubus-kubus asimetris yang bergaya futuristik sekali. Dengan lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram yang membawa nuansa menenangkan bagi siapapun yang berkutat ketika memasak di dapur mewah tersebut.
Ruangan itu di dominasi warna putih, coklat dan abu-abu. Separuh dinding nya adalah floor to ceiling window tanpa gorden, seolah menampakkan pemandangan perkotaan yang indah dari balik kaca. Kaca yang dipakai adalah jenis one way dimana orang di dalam rumah bisa melihat pemandangan perkotaan di luar tapi orang dari luar tidak akan bisa melihat pemandangan di dalam rumah. Anastasia melarikan mata nya menatap langit – langit apartment ini yang dilapisi pelapis motif kayu yang berwarna senada dengan dinding kitchen set nya.
"Di apartment ini hanya ada dua kamar. Kamar ku di ujung kanan. Dan satu lagi di ujung kiri, selama ini biasa diperuntukkan untuk kamar tamu. Kau ..." Akira menjeda ucapannya sambil menatap Anastasia.
"Aku bisa tidur di kamar tamu". Ucap Ana cepat
"Terserah". Ucap Akira. Lelaki itu lalu berjalan ke sisi kiri apartment tersebut. Dengan menenteng tas ransel nya, Ana menyeret ekor gaun pengantin nya berjalan mengekori Akira.
Akira membuka pintu sebuah kamar. Kamar itu bernuansa putih. Sebuah ranjang dengan kasur putih yang terlihat empuk untuk membaringkan tubuh yang lelah. Sebuah kursi duduk tanpa lengan ditaruh di depan ranjang dengan bantal – bantal kecil menghiasi nya. Seperti hal nya ruang tamu tadi, dinding kamar ini juga floor to ceiling window, dimana pemandangan kota yang sangat indah terpampang nyata di hadapan nya.
Mata anastasia terbelalak, kamar ini sungguh indah. Sungguh berbeda sekali dengan kamar mungil nya di panti asuhan. Kamar ini bahkan dihiasi ranting – ranting dari kuncup bunga sakura yang di taruh di vas bunga. Vas itu berbentuk tabung kaca bening berisi air dan diletakkan di atas nakas.
"Wow ini ..... indah sekali". Ucap Anastasia pelan.
"Kamar ini memang lebih kecil tapi kuharap ........"
"Tidak. Ini indah sekali". Ucap ana memotong apapun yang ingin Akira lontarkan. "Terima kasih". Ucap ana dengan tulus, tanpa sadar senyum lebar terukir di wajah nya.
"Baik lah. Kau bisa beristirahat disini kalau begitu". Ketika hendak pergi meninggalkan Anastasia, Akira teringat sesuatu, maka ia berbalik kembali menatap Ana.
"Aku lupa mengatakan nya. Disini, tidak ada asisten rumah tangga. Aku hanya meminta room service dari pengelola apartment ini untuk datang setiap pagi saja. Begitu pun dengan koki. Aku lebih suka memasak sendiri". Ucap Akira
"Aku bisa membantu mu membersihkan apartment ini. Biar bagaimana pun, aku tidak ingin tinggal menumpang dengan gratis disini". Ucap Ana dengan dagu sedikit terangkat. Jika akira pikir ana adalah anak manja yang biasa diurusi orang lain, dia salah. Ana terbiasa mengurus diri nya sendiri. Dia bahkan terbiasa mengurus orang lain dalam jumlah banyak.
"Baik lah. Kita akan bicarakan lagi nanti".
Akhirnya Akira keluar dari kamar itu, meninggalkan Anastasia yang berdiri mematung di tengah ruangan. Ana menatap pada pemandangan di luar dinding jendela di kamar tersebut. Untuk sejenak dirikan seakan terseret sebuah lamunan.
Lamunan yang terasa jauh seakan sesuatu yang tak tergapai, tiba-tiba tergenggam. Dia ingat dulu pernah berangan – angan memiliki kamar indah dan mewah seperti ini tapi detik ini ketika impian sederhana itu seolah terwujud. Ana kira ia akan senang dan bahagia tapi ternyata dia salah. Dia merasa. Sepi.
Dengan perlahan Anastasia mulai membuka riasan rambut nya. Sebuah mahkota dari jalinan bunga – bunga yang cantik. Dia menatap mahkota bunga tersebut sebelum meletakkan nya di atas kasur. Dia juga mulai membuka retsleting gaun pengantin nya. Syukurlah gaun itu tidak sulit dibuka, setidak nya ia tidak perlu minta tolong Akira untuk membukakan retsleting gaun nya. Dia pasti akan sangat malu kalau sampai itu terjadi. Ana mulai berganti pakaian dengan kaos seada nya dari dalam tas ransel nya. Dia juga mengambil celana training panjang hitam milik nya dari tas ransel hitam itu.
Kamar tamu itu ternyata dilengkapi fasilitas kamar mandi pribadi. Jadi ana sangat bersyukur setidak nya dia tidak perlu mengetuk pintu kamar Akira untuk menanyakan dimana letak kamar mandi. Kamar mandi ini juga bahkan terlihat sangat mewah bagi ana. Meskipun hanya berisi wastafel, closet duduk, shower dan bathup. Ana melihat pantulan wajah nya di cermin wastafel.
Anastasia membasuh wajah nya, menatap sekali lagi wajah cantik dengan make-up itu.
"Who is that girl I see?" Gumam nya pelan pada diri sendiri.
Dengan perlahan Ana mulai menghapus riasan tersebut. Dia menghapus lipstick di bibir merah nya. Berharap ciuman dari Akira pun ikut terhapus juga. Ana merasa ia juga perlu membersihkan diri. Seharian ini dia sangat lelah karena berlari dikejar anak buah Baron, belum lagi dia juga harus menikah tanpa ia duga. Maka setelah seluruh riasan di wajah nya terhapus sempurna, ana mulai menanggalkan pakaian nya.
Dia membuka dinding kaca yang membatasi shower dengan area dalam kamar mandi lain nya. Menyalakan shower dan dalam sekejap air hangat sudah mulai mengguyur tubuh nya seperti deras nya hujan.
*****
Akira tidak pernah menyangka cincin itu kini tersemat di jari manis nya. Dia pikir harus nya malam ini dia mengajak Beatrice untuk terbang ke Maldives. Sebuah kejutan yang sudah ia persiapkan dengan baik. Tapi semua itu harus buyar. Akira mengepalkan tangan nya. Dia berdiri di jendela besar yang ada di kamar pribadi nya. Kamar itu adalah kamar terbesar di ruangan ini. Dengan dominasi warna hitam, abu – abu dan putih. Warna monokrom sesuai kepribadian nya.
Beatrice adalah cinta pertama nya. Perempuan cantik pertama yang dilihat nya ketika Alfard pertama kali membawa nya ke Havana di Cuba. Perempuan yang kuat dan tangguh di mata nya. Akira memejamkan mata, teringat pertemua pertama nya dengan wanita itu. Ketika kelopak mata nya terbuka, sebuah botol whisky menarik perhatian nya.
Akira bergegas berganti pakaian di lemari. Tadi dia baru saja mandi dan hanya sehelai handuk putih tebal yang melilit bagian bawah tubuh nya, membiarkan bagian atas tubuh nya terekspose. Dengan punggung yang lebar dan dada yang bidang, Akira menatap pantulan cermin diri nya. Sebuah tato gambar seekor naga tergambar di punggung nya. Sebuah simbol dari klan yakuza yang dipimpin ayah nya dulu.
Tanpa ingin terlarut dalam kenangan kelam yang ditorehkan tinta tato naga tersebut, akira memakai kaos hitam dan jaket kulit hitam. Dia juga memakai celana jeans hitam. Dia mengenakan topi berwarna hitam dan smart watch nya. Dia mengambil kunci mobil sport yang biasa ia gunakan bila sedang ingin menguasai jalanan. Akira keluar dari kamar.
"Anda akan keluar, pak?"
Sebuah suara tiba-tiba menyentak kesadaran akira. Ah iya, ia tidak sedang sendirian di rumah ini. Akira menatap Anastasia. Perempuan itu terlihat lebih jelas sekarang. Dia mengenakan sweater hitam kebesaran yang sudah sedikit memudar warna nya. Dengan celana training abu-abu tua yang lagi-lagi sudah sedikit memudar warna nya.
Akira berpapasan dengan anastasia di ruang keluarga. Ruangan itu memang tanpa sekat antara dapur dan ruang keluarga. Sehingga anastasia yang sedang berada di dapur bisa melihat nya ketika keluar dari kamar tidur. Perempuan itu seperti nya kehausan karena sebuah gelas dengan air yang sisa setengah ada di atas kitchen island.
"Maaf. Aku kehausan jadi aku mengambil minum dari dapur. Apa anda akan keluar rumah malam-malam begini, pak?" Tanya anastasia lagi.
Entah kenapa suara nya terdengar merdu di telinga Akira. Wajah Ana yang tanpa riasan itu terlihat polos dan ...... cantik. Mata nya yang hijau cemerlang itu terlihat membulat seperti kancing mata pada boneka beruang. Entah kenapa dada nya sedikit berdesir ketika melihat kulit putih perempuan itu seolah bersinar terkena pantulan cahaya dari lampu – lampu gantung diatas langit – langit dapur. Tiba-tiba kesadaran menyentak nya.
"Iya. Aku akan keluar malam ini". Tanpa menunggu jawaban balasan dari anastasia, akira pergi meninggalkan perempuan itu mematung sendirian melihat kepergian nya.
*****
Hanya dalam hitungan menit akira sudah melajukan mobil sport nya membelah jalanan ibu kota. Dia melirik spion nya, tiba – tiba teringat wajah perempuan yang baru ia nikahi hari ini, Anastasia. Wajah polos dengan mata hazel kehijauan nya, lalu bibir merah muda merekah dan berisi itu, begitu juga alis mata tebal terbentuk sempurna. Ana seperti titisan Goddess dalam mitologi yunani.
Membayangkan ia memeluk tubuh Ana dengan sweater hitam kebesaran nya itu, rasa penasaran akan lekuk tubuh dibalik sweater hitam kebesaran itu membuat akira merasa area intim nya bereaksi tanpa bisa ia cegah. Dengan frustasi ia meremas rambut nya. Ia harus pergi. Kemana saja asal tidak memikirkan ana saat ini.
Disinilah ia berakhir, di depan sebuah kelab malam terdekat yang bisa ia jangkau dengan kecepatan mobil nya. Ia memesan ruang VVIP untuk ia tempati sendiri. Tapi baru ia berjalan memasuki kelab malam itu lebih dalam, tiba-tiba suara seseorang mengintrupsi jalannya.
"Wow lihat siapa yang datang ke kelab sederhana ku ini? Kau sendiri? Biasa nya kau bersama Alfard kemana-mana seperti ikan remora mengikuti hiu hehehe". Itu suara dari si menyebalkan Sergio Fernandez.
"Ah aku lupa, kau baru saja menikah hari ini. Jadi, apa yang dilakukan pengantin pria di malam pertama nya malah berkeliaran di club malam seperti ini?" Pertanyaan menusuk dan tepat sasaran itu seperti bom yang dilempar tepat di depan muka Akira.
Shit!!!
Maki Akira dalam hati. Bagaimana bisa ia tidak tahu ini kelab milik Sergio. Akira sudah akan berbalik dan keluar, tiba-tiba dengan sigap Sergio merangkul pundak nya.
"Kau baru saja tiba, bro. Hugo. Hugo. Kemari. Ayo temani kawan kita yang taken rasa jomblo ini minum-minum. Kau tidak usah sungkan begitu. Aku tahu kau pasti bersyukur karena ku temani, kan?". Sergio tersenyum tanpa dosa dihadapan Akira.
Sejak meninggal nya ayah sergio, Ernesto Fernandez, kepribadian lelaki itu sedikit berubah. Ia jadi terlihat lebih bebas dan cenderung jadi lebih narsistik dari yang orang lain duga. Ketika Adolfo akhirnya memilih mengalah dengan memberikan kedudukan tertinggi di Havana pada nya, karena Alfard terus menerus menolak, Sergio jadi sedikit lebih dekat dengan keluarga sepupu nya itu. Tapi di luar dugaan, Sergio justru mengikuti jejak Alfard dengan membubarkan Havana dan memilih meneruskan bisnis nya saja tanpa embel-embel gangster di belakang nya. Alhasil kejadian demi kejadian itu menghasilkan pertemanan tak kasat mata diantara Alfard dan Sergio. Cuma karena Akira selalu berada di dekat Alfard. Dan Hugo selalu berada di dekat Sergio. Mau tidak mau empat laki-laki itu jadi membentuk sekawan secara tidak sadar. Walaupun mereka sama-sama gengsi mengaku sebagai kawan.
Akira menatap tajam Sergio. Lelaki itu masih tersenyum seraya merangkul nya.
"Hey, Hugo. Bilang pada pelayan, pesanan kamar VVIP atas nama nya digratiskan. Bawakan juga minuman yang biasa ku pesan. Bawa ke ruang VVIP ya". Dengan seenak nya dia mendorong Akira agar masuk ke ruang VVIP bersama nya. Akira memang tidak suka, tapi ia juga tidak menolak. Tidak ketika ada kata 'GRATIS'.
"Apa yang kau lakukan disini?" Sergio bertanya basa basi sambil merebahkan diri nya ke sofa embuk berwarna merah terang di ruangan ini. Hingar-bingar suara musik dari DJ di dance floor sana sedikit teredam dengan kamar kedap suara ini.
Tak berapa lama, Hugo masuk bersama pelayan di belakang nya membawakan minuman alkohol di atas nampan. Akira nampak sedikit lebih rileks sekarang ketika ia mulai meminum segelas minuman yang harga nya cukup mahal itu.
"Aku hanya sedang bosan". Jawab Akira memulai percakapan. Hugo sempat tidak percaya mereka bisa mengobrol begini tanpa adu urat syaraf apalagi ajang pamer pistol dan berakhir pulang tinggal nama. Luar biasa, pikir nya.
"Ya, aku tahu sejak Alfard menikah ia semakin jarang bersenang-senang di kelab seperti dulu, bukan? Aku rasa, Tita pasti sangat memuaskannya hingga dia berubah menjadi family man begitu". Kata Sergio sambil menenggak minumannya. Dia sengaja tidak menyinggung soal pernikahan Akira hari ini meskipun mulut nya gatal sekali ingin menanyakan hal itu.
"Ku rasa, dia terlihat lebih bahagia sekarang. Kelihatan nya menikah bagus juga untuk nya". Kata Akira lagi.
"Hahaha kau juga sudah menikah. Apa pernikahan malah tidak bagus untuk mu?" Sergio terkekeh pelan.
Akira tidak menjawab nya. Dia menenggak segelas whisky tanpa berniat menjawab.
"Kau sendiri memang tidak ingin menikah?" Kata Akira mengalihkan pembicaraan.
"Bos Sergio mana mau menikah. Dia sudah bersumpah menjadi Bujangan abadi". Kali ini Hugo mulai menimbrung diantara mereka berdua.
Akira menoleh pada Hugo. Dia lalu melirik Sergio.
"Yups. Toh aku kawin setiap hari hahahaha". Sergio dan hugo tertawa dan mereka berdua tos bersama. Mau tak mau Akira ikut tertawa pelan juga. Dua orang bodoh. Dan dia terjebak di dalam nya sekarang. Dia meneguk whisky nya dengan mendengus kecil.
"Akira, kau tidak mengajak istri mu? Kalian harus nya sudah bergulat di kamar malam ini. Wah dia cantik sekali. Baru kali ini aku lihat wanita secantik itu. Aku seperti melihat bidadari dari khayangan. Aku bahkan masih jomblo sampai detik ini. Ini semua gara-gara mu, bos. Kau menyuruhku kerja, kerja dan kerja. Aku jadi ........hmm hmm hmm". Sergio membungkam mulut Hugo sebelum pria itu mengocek lebih panjang lagi. Sejujurnya ia ingin mencekik leher Hugo saat ini juga. Dia benar-benar tidak melihat perubahan raut wajah Akira.
Sergio mengambil koran di atas meja dan melipat nya menjadi gulungan tabung silinder yang cukup kuat untuk memukul mulut Hugo. "Mulut mu! Mulut mu! Mulut mu!" Pukul Sergio berkali – kali pada wajah Hugo.
"Auw, auw, auw bos, aku salah apa? Kenapa kau memukuli ku tiba-tiba. Auw, auw, auw, ampun bos". Hugo bahkan mulai berlari menghindari Sergio.
Akira mendengus kecil. Ia berdiri lalu menaruh gelas nya dengan hentakan keras di atas meja. Sehingga dua orang yang sedang saling berkejaran itu terhenti sesaat.
"Aku pergi". Ucap Akira. Lalu pria itu berjalan kearah pintu ruang VVIP itu.
"Hey! Kau mau kemana, Akira?" Tanya Sergio.
Tanpa menoleh pada dua orang di belakangnya. Sergio mengangkat tangan nya dan melambaikan tangan. "Menemui istri ku".
Sergio menatap punggung lebar Akira dan tersenyum kecil. Tapi tepat ketika pintu tertutup. "Salah mu! Salah mu! Salah mu!"
"Bos!!! Kenapa kau memukuli pantat ku!"
"Dari pada aku bolongi pantat mu dengan pistol".
"Ampun bos!!!".