Chereads / Zennavy / Chapter 30 - 29. ranting pohon dan air warna warni

Chapter 30 - 29. ranting pohon dan air warna warni

Usai mengantarkan ketiga temannya sampai halaman depan rumah lalu memastikan Sagam, Zen dan Erik menaiki kendaraan mereka masing-masing, Navy langsung menutup pintu rumahnya.

Berbalik ke belakang dan mendapati Demi yang duduk di Sofa dengan pandangan yang lurus ke atas menatap plafon rumah mereka dengan sorot sendu yang kentara sekali tertangkap oleh kedua obsidian sehitam arang Navy. Navy tidak cukup bodoh, untuk tidak mengetahui arti tatapan itu. Tatapan yang seolah-olah tengah menyimpan suatu beban masalah yang cukup besar.

Hampir tiga puluh detik, Navy terdiam di tempatnya berdiri. Sebelum akhirnya helaan nafas kasar keluar dari mulut remaja itu beriringan dengan tungkai yang ia langkahkan melewati Demi yang masih setia bergelut dengan lamunannya. Biarkan saja lah. Nanti kesambet mbak kunti atau makhluk halus lainnya, bukan Navy ini yang susah.

Navy berjalan menghampiri Dapur, dan seperti De Javu ia melihat punggung tegap Dami yang duduk di salah satu kursi Pantry seraya memakan sereal dalam mangkuknya. Fyi, Dami memang pecinta sereal.

Dengan langkah sedikit ragunya, bungsu Rayannaka itu berjalan mendekati Dami yang masih setia terdiam dengan mulut yang sibuk menguyah sereal.

"Sendirian aja Bang?" pertanyaan yang terdengar Retorik itu Navy layangkan. Sedikit mengumpat kesal, karena mulutnya malah melontarkan kalimat tanya yang tidak penting.

"Hmm.." gumam Dami acuh, dan satu detik berselang Dami pun kembali melanjutkan ucapannya yang mampu membuat Navy menjatuhkan Rahang. "Gue rame-rame. Bareng Setan penghuni Dapur." lanjutnya Kalem.

Navy meringis ngeri. Kok, mendengar kata Setan keluar dari mulut Dami membuat bulu kuduknya meremang. Matanya meliar, memandang sekitar sudut dapur yang entah sejak kapan terlihat menyeramkan. Oke.. Mode parno Navy tengah On sekarang.

"Serius Bang? Disini ada setannya?" tanya Navy dengan suara yang sengaja di lirihkan.

Dami yang hendak memasukan satu sendok sereal ke mulutnya lantas terhenti. Ia kembali menaruh sendok ke dalam mangkuk, dan menatap adik bungsunya dengan tatapan yang kelewat dingin dan datar.

"Ada. Lo setannya." pedas Dami berucap. Kembali menikmati serealnya, Mengabaikan dengusan kesal Navy yang terdengar oleh Rungunya.

"Nasib punya Abang yang hidupnya cuma kenal es sama Papan triplek gini amat Tuhan. Duhh.. Kuatkanlah hati hamba." Batin Navy berucap lebay.

Tanpa membalas ucapan Kakak ketiganya, Navy berlalu dari dapur setelah ia mengambil plastik kecil namun panjang serta pewarna makanan yang Bundanya simpan di lemari kecil, samping wastafel.

Tujuan nya sekarang tentu saja halaman belakang. Ia bosan kalo terus saja berada di kamar, toh sekarang ia sudah sehat wal'afiat ini, demamnya pun sudah turun. Maka dari itu ia ingin menghibur diri, dengan melakukan suatu hal menyenangkan yang pernah ia lakukan waktu tinggal di Tasikmalaya bersama Abah dan Enin-nya.

Ia berjalan mendekati sudut halaman belakang, mengambil ranting pohon yang sudah ia siapkan sejak lama. Tak lupa ia pun mengambil satu ember air, dan membawanya tepat dimana ia menyimpan plastik serta pewarna makanan.

Setelah sampai, Navy pun duduk di atas teras depan kolam berenang dengan posisi kaki yang di silangkan.

Ia mengerutkan keningnya, seolah tengah berpikir keras. Melihat barang-barang di depannya, ia merasa seperti ada yang kurang. Tapi apa?

"Plastik, udah. Pewarna, udah. Air se-ember, udah. Ranting pohon, udah. Terus apalagi? Kok berasa kosong ya, kayak hati gue yang ga punya kecengan ataupun tambatan hati. Miris anjir, idup gue. Nasib jomblo sekece gue apalah atuh.. Cuma tetesan ingus yang rasanya asin, tapi ga seasin garem." nahh.. Saat suasana tengah dalam mode serius. Bisa-bisanya Navy malah memikirkan soal masalah hati yang tidak akan selesai itu. Beginilah nasib jomblo ngenes seperti Navy, kalo bawa-bawa hati. Udahlah pasti berakhir ambyar dengan segala kengenesan jomblo nya yang tidak ada duanya itu. Mana malah bawa-bawa ingus lagi. Euwwhh.. Kejorokan Navy memang patut di acungi jempol kaki.

"Ahhh.." Navy berteriak heboh, saat otak pintarnya telah berhasil menemukan kekurangan yang dimaksud.

"Aqua gelas, belum gue siapin." ujarnya, berdiri dari duduknya kemudian berlari kecil ke arah karung putih yang tersimpan rapi di samping gazebo. Karung itu berisikan aqua gelas yang selalu mang Maman-tukang kebun di rumahnya Kumpulkan, lantas setelah itu di jual ke tempat pengepulan barang rongsokan.

Senyum Navy merekah, kala tiga gelas aqua sudah berada dalam genggaman. Ia kembali ke tempat semula, lalu mulai mengerjakan misinya.

Di mulai, mencampurkan air dengan pewarna berwarna merah kemudian di masukan ke dalam plastik dan menalikannya agar air dalam plastik itu tidak berhamburan kemana-mana. Setelah mendapat enam air berwarna merah. Navy berlanjut membuat yang warna kuning, kemudian dilanjut berwarna hijau.

"Lo lagi ngapain?"

Navy tersentak, ia refleks mengusap dada kirinya tepat dimana jantungnya berdenyut nyeri akibat keterkejutannya tadi. Iya lah dia terkejut, disaat sedang asyik-asyiknya menalikan ujung plastik. Lalu tiba-tiba ada suara berat yang mengintrupsi, mana di halaman belakang dia sendirian. Kan Navy jadi memikirkan yang iya-iya.

Setelah selesai menalikan ujung plastik. Navy menoleh ke belakang, dan dapat ia lihat tubuh atletis Vano tengah bersandar di ambang pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang.

"Lo? Ngapain disini? Bikin jantung gue disco tau ga? Gue kira suara butut lo tadi milik dedemit penunggu kolam renang." kata Navy dengan nada tengil dan menyebalkannya.

Decakan keluar dari mulut Vano diiringi dengan kedua bola mata yang ia rotasikan. "Serah dah. Lo mau ngehina gue. Gue ga peduli" pasrah Vano terlalu malas meladeni ucapan Navy yang kadang selalu membuat dia kesal.

Navy meresponnya dengan gedikan bahu. Ia juga terlalu malas untuk memperpanjang percakapan diantara mereka. Karena fokusnya sekarang pada plastik yang berisi air penuh warna yang sedang ia talikan di setiap ranting.

Di tempatnya, Vano mengerutkan keningnya terlampau penasaran dengan apa yang tengah di kerjakan oleh adik satu-satunya itu.

"Lo lagi ngapain sih? Kurang kerjaan banget. Masa plastik punya Bunda yang suka di pake buat bikin es mambo di jadiin kayak gituan. Mana warna airnya juga beda-beda. Kurang kerjaan ya lo? Atau kurang belaian?" Cerocos Vano panjang lebar.

Navy mendelik melirik kaki Vano yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya.

"Lo ga tau aja, kalo setiap tujuh belas agustusan di kampung enin, setiap rumah suka bikin kayak ginian eh bukan cuma waktu tujuh belasan juga sih tapi mendekati lebaran juga pasti orang-orang sana bikin kayak ginian."

"Oh ya? Emang fungsinya apaan masang kayak gitu? Toh waktu malem juga itu pohon ga bakal nyala 'kan? Kalo aernya di kasih warna? buang-buang tenaga sama uang kalo gitu."

Navy mengedikan bahunya "ga tau gue juga. Tapi emang disana suka masang kayak gini, seru juga sih bikinnya mana simpel lagi. Tapi lo harus tau, kata enin kalo misalnya air di dalam plastik ini semuanya berubah warna menjadi merah, katanya bakal ada bencana gitu." jelas Navy masih sibuk menalikan ujung plastik di setiap ranting.

Vano menghela nafas "mitos itu." serunya. Namun Navy tidak menyahut sama sekali.

Hingga tujuh menit kemudian, Navy selesai menalikan semua plastik berisi air ke Ranting pohon, remaja enam belas tahun itu pun berdiri seraya memegang Ranting pohon yang sudah di gelantungi oleh plastik berisi air berbeda warna. Kemudian Navy berjalan ke arah utara tepat dimana berbagai tanaman hias milik bundanya berada. Ia menancapkan ranting pohon itu ke Tanah, dan setelah merasa ranting itu berdiri tegak bersisian dengan tangkai bunga mawar putih yang merekah indah. Navy pun mengulas senyumnya.

"Lo harus tetap berdiri tegak kayak gini, selagi gue masih hidup. Dan lo boleh tumbang, kalo semisalnya gue udah ga ada." monolog Navy seolah ranting pohon di depannya adalah benda hidup yang mempunyai telinga dan mampu mendengarkan ucapan yang menyimpan berbagai makna di dalamnya.

****