Navy tetap diam, bahkan wajahnya tampak tenang. Seolah tidak merasa takut dengan teriakan Demi. Karena yang sekarang ia khawatirkan adalah keadaan jantungnya yang tengah meronta kesakitan di dalam tubuhnya ketika mendengar teriakan Demi yang begitu menggelegar. demi apapun ia terkejut!! Dan tentu saja itu berefek besar pada jantungnya yang semakin melemah setiap harinya. Kerutan di kening Navy tampak jelas terlihat, menandakan jika remaja enam belas tahun itu tengah menahan rasa sakitnya bahkan keringat dingin pun mulai muncul membasahi kening serta tubuhnya.
Tentunya teriakan Demi yang terdengar nyaring itu mengundang Dami, Vano, dan Mona untuk mendekati sumber suara. Pengecualian bagi Gevan dan Gavin yang kebetulan sedang menghadiri sebuah acara di kampus mereka serta Jiwoon yang belum pulang kerja.
"Bang, Nav buka pintunya anjir. Kenapa di kunci segala? Terus Kenapa tadi lo teriak Bang Demi? BANG!!" Teriak Vano sembari menggedor-gedor pintu kaca yang tertutup rapat di depannya.
Di tempatnya Dami terlihat tenang dengan mempertahankan raut datar nya, berbeda lagi dengan Mona yang tadi berlari dari arah kamar dengan meninggalkan baju yang belum selesai dia lipat. Raut muka wanita paruh baya itu terlihat panik dan khawatir, takut-takut jika kedua putranya--Demi dan Navy bertengkar.
Demi ataupun Navy tidak menghiraukan teriakan Vano ataupun eksistensi Mona dan Dami. Karena keduanya tengah saling menghunuskan tatapan tajam syarat tuntutan dan penjelasan. ahh.. ada juga terselip kemarahan disana.
"Lo bilang gue bodoh?" desis Navy pelan, takut di dengar oleh Mona, Vano dan Dami.
"Terus kalian apa hah? Manusia yang paling bener? Atau manusia yang paling jenius? Sehingga dengan bego nya nyembunyiin kematian Agam dari gue. Kalo gue ga balik ke Jakarta mungkin sampai kapanpun gue ga akan tau kalo sahabat gue--Agam udah meninggal."
"ITU SEMUA KITA LAKUIN, KARENA KITA GA MAU LO KENAPA-NAPA." lagi teriakan Demi menyentak Navy. Bukan hanya Navy saja, Mona, Dami dan Vano pun sama terkejutnya.
"WOYY.. LO BERDUA KENAPA HAH? CEPET BUKA PINTUNYA ANJIRR." teriakan Vano yang di sertai oleh gedoran pintu kembali dianggap angin lalu oleh Demi dan Navy.
Diam-diam Navy meremat kedua tangannya di samping badan. Berusaha menahan hujaman rasa sakit yang tengah ia rasakan tepat pada jantungnya. Wajahnya begitu pucat, dan bodohnya Demi tidak menyadari itu semua karena terbutakan oleh Amarah yang mengukungnya.
"Lo tau? kita semua ngelakuin itu karena kita ga mau lo terpuruk karena kehilangan Agam, Nav. Hanya itu. Tapi lo? Lo malah nyembunyiin rahasia besar dari kita. Lo masih nganggap keluarga Rayannaka sebagai keluarga lo kan?" lirih Demi berucap. bahkan suara yang tadi ia naikan perlahan terdengar begitu pelan. raut marah pun mulai memudar hingga yang terlihat hanya raut sendu yang tidak dapat teralihkan.
Matanya tak terasa menjatuhkan setetes liquid bening yang sedari tadi ia tahan mati-matian agar tidak keluar. Sorotnya begitu Sendu seolah menyampaikan perasaan sakit dan kecewa yang bercampur menjadi satu kesatuan.
Memangnya kakak mana yang tidak akan terluka? Ketika mengetahui bahwa adik kesayangan yang selalu menebar kebahagiaan dan tawa kini sedang tak baik-baik saja?
Kakak mana yang akan bahagia ketika adiknya menyimpan duka dan rasa sakit sendirian?
kakak mana yang akan senang ketika tau bahwa selama ini adiknya menderita?
Dan kakak mana yang tidak akan menangis ketika mengetahui bahwa adiknya selalu di bayangi akan kematian?
Dan Demi merasakan itu semua. Batinnya sebagai seorang kakak terluka, aura bahagianya perlahan terkikis dengan duka yang selalu menghantui akal pikirannya dan Demi rasa-rasanya ingin sekali menangis menjerit ataupun meraung mengeluarkan rasa sesak yang tengah ia rasakan di dalam dadanya serta rasa sakit yang ia rasakan di hatinya. Demi merasa takdir sedang mempermainkan keluarganya.
"Lo tau? Agam meninggal bukan karena Vano yang membunuhnya Nav, tapi dia meninggal karena telah menyelamatkan Vano dari kecelakaan sehingga mengakibatkan Agam yang terluka, dia sempat mengalami kritis tapi tidak lama kemudian akhirnya dia sadar. Namun sayang takdir berkata lain, penyakit PDA yang dia derita sejak kecil semakin parah sehingga berakhir dia yang mengalami gagal jantung dan nyawanya yang tidak bisa tertolong. Asal lo tau, sebelum Agam menghembuskan nafas terakhirnya ia sempat berpesan pada kita agar lo jangan sampai tau tentang kematiannya. Setidaknya sampai lo benar-benar udah sehat dan kembali lagi ke Indonesia." Jelas Demi panjang lebar dengan nada suara yang bergetar.
Disisi lain Vano yang semula sibuk menggedor pintu kaca perlahan berhenti dengan tubuh menegang dan wajah blank nya. Suara Demi yang mengalun dengan sendu seolah membuat aliran darah di tubuh Vano terhenti saat itu juga. Jangan tanya keadaan Mona dan Dami karena jawabannya kedua orang itu sama-sama memasang ekspresi seperti Vano.
Kepalan tangan Navy mengendur seketika, kala mendengar penjelasan Demi. Air matanya menetes, dengan bibir merah alaminya yang bergetar. Jadi.. Selama ini ia telah salah paham? Dan diam-diam juga ia selalu mengutuk Vano karena telah membunuh Agam--sahabat sekaligus kakak terbaik untuknya? Namun nyatanya, pikiran yang selama ini selalu mendoktrin otaknya bahwasanya Vano telah membunuh agam nyatanya itu semua tidak benar. Ya Tuhan... kenapa Navy bisa melakukan hal se-fatal ini. Seharusnya dia sebagai seorang adik yang sudah mengetahui luar dalam Vano, paham jikalau sang kakak tidak akan melakukan tindakan keji tersebut. Lalu jika Vano tidak membunuh Agam, kenapa Sagam--kakak Agam selalu mengibarkan bendera permusuhan pada Vano. Selalu melemparkan tatapan bengis pada kakak bontotnya.
Navy tidak tau saja, di balik tatapan bengis itu. Sagam belum sepenuhnya melerakan kepergian adik semata wayangnya yang tiba-tiba, dan selalu menyalahkan Vano atas kematian sang adik. Meskipun pada nyatanya Vano tidak salah sama sekali.
Navy membuang nafas kasar sembari meraup wajah letih nya. Tak mengatakan apapun pada Demi, tangan Navy terulur kehadapan Demi. Membuat Demi mengernyitkan keningnya.
Menyadari tatapan bingung Demi, Navy pun segera menyambar kunci di tangan kiri Demi kemudian membuka pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang.
Tak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya terkejut. Navy, bocah yang di kenal kelebihan energi dengan tingkat kehaluan yang tinggi itu Berjalan tenang melewati Bundanya, Vano, dan Dami yang masih terdiam kaku di tempatnya masing-masing.
"Aku ingin sendiri. Jadi diantara kalian jangan ada yang ganggu aku." ucap Navy dengan nada yang kelewat datar ketika menghentikan langkanya guna menyampaikan pesan tersebut.
Tidak ada balasan diantara mereka, dan Navy menganggap keheningan itu sebagai jawaban 'Iya' kemudian Navy pun kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda menuju kamarnya berada.
"Dem.. Kamu hutang penjelasan sama Bunda."
****