Andara menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah 10 menit yang lalu Andara menunggu di depan gerbang sekolahnya. Andara sedang menunggu Resta. Kata Algar, perempuan itu ingin bertemu dengan Andara sebentar.
Andara mengedarkan pandangannya, ia masih belum mendapatkan siapa pun.
Andara sedikit terkejut ketika seseorang menyentuh bahunya. Andara langsung menoleh.
"Resta?" Tanpa basa-basi, Resta memeluk tubuh Andara dan menyampaikan rasa dukanya. Resta baru saja mendengar kabar jika bunda Andara sudah tiada. Andara memaklumi itu, karena mereka tidak satu sekolah lagi.
"Lo gak apa-apa kan, ra?" Andara menaikkan satu alisnya kemudian menggeleng kecil.
"Enggak. Emang kenapa?" Resta membuang napasnya lega.
"Gue kira ada yang macem-macem sama lo." Andara tersenyum kecil dan menggeleng. Resta terlihat sangat khawatir padanya.
"Siapa yang udah lakuin ini, ra?" Andara menghembuskan napasnya kasar.
"Elvan," jawabnya lirih. Resta mengepalkan tangannya, lelaki brengsek itu memang tidak ada habisnya.
"Dia lagi, dia lagi. Dia agak akan ada habisnya!" omel Resta. Andara mengangguk membenarkan. Semuanya tidak akan berakhir sebelum Elvan kembali ditahan.
"Kenapa lo gak laporin dia, ra?" Andara menggeleng kecil.
"Gak ada bukti, res. Gak ada saksi mata juga. Gue juga sebenernya mau ngelaporin dia." Resta menghentakkan kakinya kesal. Berani-beraninya lelaki sialan itu.
"Lo harus lebih hati-hati, ra. Dia semakin bahaya." Andara terdiam. Andara akan tinggal sendirian mulai sekarang, itu artinya Andara harus bisa menjaga dirinya sendiri dengan lebih baik, kalau tidak Elvan akan kembali menghancurkan segalanya.
♡♡♡
Andara menatap Algar yang sedang sibuk mencuci motornya. Jam masih menunjukkan pukul 08.00, tetapi lelaki itu sudah sibuk dengan pekerjaannya sendiri.
"Tumben banget lo rajin." Algar melirik Andara sebentar, perempuan itu berdiri tak jauh dari Algar.
"Libur gini dari pada gabut, mending gue cuci motor." Andara mendekati lelaki itu kemudian menatap motor Algar yang sudah tampak sangat mengkilat.
"Mengkilat banget gila. Kayaknya lo cocok deh jadi tukang cuci motor." Algar menatap Andara sinis.
"Mata lo!" Andara tertawa terbahak-bahak ketika melihat ekspresi Algar yang sangat kesal. Tapi Andara benar, Algar sangat cocok dengan profesi itu. Membayangkannya saja sudah membuat Andara tertawa sendiri.
"Liburan gini lo gak mau jalan sama gue?" Andara menaikkan kedua alisnya.
"Mungkin lain waktu. Hari ini gue mau ke makam bunda. Sejak awak bunda meninggal gue gak dateng ke makamnya." Algar mengangguk menyetujui.
"Mau gue anter?" Andara menggeleng kecil.
"Gue sendiri bisa, kok."
Kemudian Dita memanggil keduanya untuk sarapan. Kebetulan sekali Algar juga sudah selesai dengan kegiatan paginya. Perutnya juga sudah terasa lapar.
Algar dan Andara memasuki ruang makan secara beriringan membuat Lidya tersenyum jahil.
"Cie yang habis pacaran," ledeknya.
Algar langsung berlari untuk mencubit Lidya, sayangnya bocah kecik itu lebih dahulu berlari menghindari Algar.
"Sini lo! Kecil-kecil sok tahu tentang pacaran," omel Algar membuat Andara tertawa kecil. Pasalnya, Algar jarang sekali memarahi seseorang.
"Tapi kan abang emang beneran pacaran." Algar merasa sangat gemas dengan adikknya itu. Algar kembali mengejar Lidya yang sangat lincah. Sebelum Algar berhasil menangkap Lidya, Dita sudah lebih dahulu memanggil keduanya.
"Algar, Lidya, jangan lari-lari! Gak enak sama Andara." Andara tertawa keci.
"Gak apa-apa kok, tante." Algar menatap Andara yang masih tertawa kemudian tersenyum kecil.
Pada akhirnya Algar menyerah pada Lidya dan semuanya memutuskan untuk sarapan bersama. Mengenai Dion, lelaki itu kini sedang membantu proyek besar di Surabaya. Jadi Dion tidak akan pulang ke rumah untuk beberapa bulan ke depan.
♡♡♡
Andara mengambil tas selempang kecilnya setelah ia merasa jika penampilannya sudah sempurna. Andara akan mengunjungi makam bundanya hari ini, sejak meninggalnya bunda, Andara belum mengunjungi makam bundanya sama sekali, Andara jadi merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal.
Setelah itu Andara berpamitan dengan Dita dan Lidya. Andara kemudian memesan mang ojek untuk mengantarkannya ke pemakaman.
Setelah sampai, Andara mencari makam bundanya. Sebelumnya Algar sudah memberitahu di mana letak makam bundanya, jadi Andara tidak perlu mencari dengan waktu yang lama.
Setelah berhasil menemukan makam bundanya, Andara berjongkok di sisi makam sang bunda. Andara mengelus nisan yang masih sangat harum air bunga. Andara tidak bisa lagi menahan air matanya.
Andara merasa sangat kosong ketika dirinya berada di hadapan makam bundanya. Tidak bisa lagi mendengar suara bundanya, tidak bisa lagi mendengar tawa bundanya, tidak bisa lagi mencicipi masakan bundanya dan tidak ada lagi yang menunggunya di rumah. Sangat menyedihkan.
"Aku kangen bunda ...," lirih Andara sambil terisak.
Seandainya saat itu Andara tidak lambat menyadari, pasti bundanya masih terselamatkan walaupun kemungkinannya sangat kecil. Sayangnya Andara terlalu lambat. Andara merasa sangat bodoh. Ini adalah hal yang paling bodoh dalam hidup Andara. Andara sangat-sangat menyesal.
"Bukankah ini pembalasan yang sangat sempurna?" Andara tertegun. Perempuan itu menghapus sisa-sisa air matanya kemudian mendongakkan wajahnya.
Seperti dugaannya, Elvan sudah berdiri di depannya.
"Kenapa lo ada di sini?" Elvan menaikkan satu alisnya.
"Aku juga merindukan bundam---
"STOP!!" Elvan tertegun.
"LO GAK PANTES NGUCAPIN KATA-KATA ITU SETELAH APA YANG LO LAKUIN SAMA BUNDA!" Elvan terkekeh dan mengukir senyum miringnya.
"UDAH CUKUP LO NGEHANCURIN HIDUP GUE! GUE BENCI SAMA LO!" Andara mengatur napasnya. Andara merasa sesak karena ia terus berteriak. Andara sadar jika ia berteriak di depan makam bundanya. Andara menundukkan wajahnya.
"Pergi!" titahnya. Elvan tidak bergerak dari tempatnya.
"Gue bilang pergi!!"
"Ini belum selesai, Andara. Satu malaikat pelindungmu sudah tidak ada. Hanya tersisa satu lagi. Dan kamu tahu siapa itu, kan? Aku juga akan menyingkirkannya. Jika kamu tidak ingin dia terluka, kamu tahu kan apa yang harus kamu lakukan? Aku tunggu kabar baiknya, Andara," ucapnya panjang kemudian melangkah meninggalkan pemakaman.
Andara mengepalkan kedua tangannya. Lagi-lagi air matanya turun sangat deras. Andara tidak ingin kehilangan seseorang lagi. Andara tidak ingin kehilangan seseorang yang berharga baginya, seorang pelindungnya. Andara tidak ingin itu terjadi, tapi Andara juga tidak bisa membiarkan Algar terluka. Apa ini semua akhirnya? Lagi-lagi, ini sangat menyedihkan.
Kenapa Andara harus diberikan sebuah pilihan yang sangat sulit? Kenapa takdirnya selalu menyedihkan? Kenapa ia harus kehilangan setiap orang yang berharga baginya? Bahkan keluarganya sudah hancur sekarang. Andara tidak tahu, apa yang menunggunya di masa depan kelak.
Andara telah menyadari jika hidup tidak selamanya berjalan dengan mulus. Sedih dan kecewa kerap datang. Entah kapan itu, tidak ada yang tahu. Skenario-Nya memang sangat tidak tertebak.
"Bunda ... aku harus gimana? Aku gak mau kehilangan Algar, aku juga gak mau Algar terluka lagi. Dia udah berkorban banyak untuk aku, bun. Seandainya bunda masih di samping aku, apa yang akan bunda jawab?"