Keesokan harinya, Andara menyiapkan segalanya sendirian. Mulai dari sarapannya dan persiapan seragamnya. Andara harus terbiasa dengan ini semua. Walaupun cukup melelahkan, tapi ini bukanlah masalah besar bagi Andara.
Andara bersekolah seperti biasa. Andara datang lebih pagi karena ia tidak memiliki teman ngobrol di rumah, jadi Andara langsung berangkat meskipun masih sangat pagi.
Andara menghentikan langkahnya ketika melihat Algar yang baru saja keluar dari parkiran. Tumben sekali lelaki itu datang pagi-pagi begini, biasanya ia akan datang 10 menit sebelum bel masuk berbunyi.
Andara menundukkan wajahnya ketika Algar menyadari jika Andara menatapnya. Andara melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Ketika sampai di depan kelas, Andara dan Algar sampai diwaktu yang bersamaan. Algar langsung tersenyum pada Andara.
"Pagi," sapanya. Andara tidak mendongakkan wajahnya, perempuan itu masih setia menundukkan wajahnya.
"Ya," balas Andara acuh, perempuan itu langsung melangkah memasuki kelas dan membuka bukunya. Andara berusaha menyibukkan dirinya agar tidak mengganggunya.
Sementara itu, Algar keheranan dengan sikap acuh Andara pagi ini, lagi-lagi sikap itu muncul. Itu artinya ada yang tidak beres.
Algar melirik Andara yang sedang sibuk membaca buku, mungkin Algar akan bertanya padanya saat istirahat nanti. Semoga saja saat istirahat sikap Andara sudah seperti biasanya.
Semoga saja tidak ada masalah yang serius. Algar menghembuskan napasnya kasar. Algar menoleh ketika bahunya disentuh oleh seseorang, itu adalah Revan. Hanya Revan. Algar menaikkan satu alisnya karena ia hanya mendapatkan Revan, tidak dengan Rio.
"Rio mana? Tumben lo sendiri doang, biasanya juga berdua terus." Revan mengubah rautnya menjadi sedih.
"Rio sakit," balasnya lirih. Algar tertawa dengan ekspresi Revan sekarang, lelaki itu terlihat sangat menjijikan.
"Sakit apa dia?" Revan hanya menjawab dengan menaik turunkan kedua bahunya, pertanda jika lelaki itu tidak tahu.
"Makanya gue mau ngajak lo jenguk dia nanti habis pulang sekolah." Algar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Boleh. Kebetulan gue luang. Lagian kembaran lo itu nyusahin aja, anjir." Revan menaikkan satu alisnya.
"Ogah banget gue kembaran sama dia, anjir." Algar hanya tertawa mendengar jawaban Revan.
Di pojok kelas, Andara hanya menguping pembicaraan keduanya. Jika Algar akan pergi setelah pulang sekolah, maka Andara harus mengatakannya pada jam istirahat nanti.
Andara berusaha menenangkan dirinya. Andara harus berani mengatakan apa yang ingin ia katakan nanti, meskipun Andara tahu itu akan sangat menyakitkan bagi keduanya.
Ini terpaksa.
♡♡♡
Algar melangkahkan kakinya menuju perpustakaan. Algar akan berbicara dengan Andara di sana. Apa ada sesuatu yang salah dengannya sehingga Andara jadi marah?
Sesampainya di sana, Algar langsung mendaratkan bokongnya tepat di samping Andara. Perempuan itu tidak menoleh dan menyapanya, Algar memutuskan untuk menyentuh bahu Andara. Perempuan itu hanya meliriknya sebentar.
"Lo kenapa?" Andara masih tidak menoleh.
"Ra?" tanyanya lagi. Andara menghembuskan napasnya dan menolehkan wajahnya. Wajah Andara sangat datar.
"Gak ada apa-apa, kok. Emang ada yang salah?" Algar menatap Andara kemudian menggeleng kecil.
"Gue cuma ngerasa ... sikap lo sedikit dingin hari ini." Andara menaikkan satu alisnya.
"Hari ini? Bukannya emang sikap gue dari dulu udah gini?" Algar menghembuskan napasnya kasar.
"Gak gitu, ra. Hari ini lo keliatan beda banget!"
"Beda gimana? Atau mungkin karena gue udah capek sama hubungan kita yang sama sekali engga didasari rasa cinta." Algar mengernyitkan dahinya.
"Maksud lo apa?" Andara membenarkan posisi duduknya jadi menghadap lelaki itu.
"Lo inget? Kita ini jadian karena waktu itu gue sering dibully sama Tasya. Kita gak cinta satu sama lain. Gue capek, hubungan kita ini gak jelas. Karena Tasya sekarang udah pindah dan gak ada yang ganggu gue lagi, gue mau selesain hubungan kita sampe di sini," jelasnya membuat Algar terdiam membisu. Mengakhiri?
"Maksud lo apa?"
"Gue mau kita putus!" Algar berdiri dari duduknya, lelaki itu tidak terima jika Andara memutuskan hubungannya secara sepihak saja. Jika memang masalahnya tentang cinta, cinta akan tumbuh sendiri seiring berjalannya waktu.
"Cinta akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, ra. Terus juga masih ada Elvan, gue harus jagain lo dari Elvan." Andara terdiam kemudian mendongakkan wajahnya.
"Gue bisa jaga diri gue sendiri!"
Andara langsung berlalu meninggalkan perpustakaan. Algar masih tidak bergeming dari tempatnya, lelaki itu hanya tidak percaya dengan apa yang baru saja Andara katakan. Algar mengacak surainya kasar.
Sementara itu, setelah keluar dari perpustakaan Andara langsung menuju toilet perempuan untuk membasuh wajahnya, Andara rasa itu akan mendinginkan pikirannya sejenak.
Andara tidak ingin mengatakan itu, sungguh. Andara masih ingin Algar berada di sampingnya, Andara masih ingin Algar melindunginya, Andara masih membutuhkan lelaki itu. Hanya saja Andara terpaksa membohonginya. Andara terpaksa mengatakan sebuah kebohongan padanya.
Tidak cinta? Bahkan sekarang mungkin Andara mulai jatuh cinta pada lelaki itu. Takdir ini memaksa Andara untuk berpisah dengan Algar.
Andara menghela napasnya. Semoga saja keputusan yang ia ambil ini benar, agar Elvan tidak lagi mengganggu Algar, apalagi keluarga lelaki itu. Andara tidak ingin menghancurkan keluarga yang sangat bahagia dan damai itu.
Andara menatap cermin toilet di depannya. Andara mengusap pantulan dirinya di sana.
"Sangat menyedihkan, bukan?" monolognya.
Membohongi diri sendiri adalah hal yang paling menyakitkan.
Andara tidak bisa mengelak bahwa ia saat ini jatuh cinta pada Algar. Andara hanya melakukan apa yang ia anggap benar.
Ini lebih baik dari pada Andara harus melihat kehancuran sebuah keluarga lagi. Sudah cukup dengan keluarganya saja.
Andara merasakan dadanya yang berdenyut. Sesakit inikah jika ia meninggalkan Algar? Andara menghembuskan napasnya berat kemudian menggeleng kecil. Andara yakin, sangat-sangat yakin jika ini adalah yang terbaik.
Perjalanan, kadang harus dimulai dengan keterpaksaan. Entah ini jalan yang benar, atau jalan yang salah.
Andara melangkahkan kakinya keluar dari toilet perempuan setelah mendengar bel masuk yang berbunyi. Andara melewati tempat duduk Algar dan lelaki hanya menundukkan wajahnya.
Rio dan Revan yang melihat dari kejauhan hanya saling bertatapan. Mereka tahu ada yang tidak beres di antara Algar dan Andara. Apa terjadi sesuatu di antara keduanya?
Andara menatap punggung Algar dengan khawatir. Andara hanya takut jika Algar membencinya. Andara tahu ini egois, tapi ia sangat tidak ingin dibenci oleh Algar. Egois, kan? Padahal Andara sudah mengatakan hal yang sangat buruk pada lelaki itu.
Seandainya saat itu ada bukti, pasti semuanya tidak akan seperti ini. Bajingan licik itu benar-benar tidak punya hati. Bahkan dia hampir membunuh Algar saat itu. Andara tidak mungkin membiarkan hal itu terulang dua kali pada Algar. Andara ingin Algar jauh dari mara bahaya, yaitu Elvan. Andara akan menjauhkan Elvan dari Algar.
Karena Andara tidak ingin kehilangan cahaya karena orang lain.