Resta memeluk Andara dan menenangkan perempuan itu. Algar memberikan Andara sebotol minuman. Andara menerimanya dengan ragu. Andara merasa sangat bersalah pada Algar. Lelaki itu bahkan tetap berbuat baik padanya meskipun Andara sudah menyakitinya.
"Ra, lo tenang, ya. Kalau lo ada masalah, lo bisa cerita ke gue. Jangan sampe lo salah ambil keputusan," tutur Resta. Andara mengangguk kecil.
Algar menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 14. 45, Algar harus bersiap untuk menjemput Lidya sekarang. Sejujurnya Algar masih ingin di sini, bersama Andara. Algar masih ingin mengungkapkan perasaannya lagi karena Algar tahu jika Andara memutuskan hubungan mereka karena ancaman dari Elvan.
"Gue balik dulu, ya. Gue masih ada urusan." Andara menundukkan wajahnya. Perempuan itu berpikir jika Algar marah padanya. Andara tidak berani menatap mata Algar.
"Oke. Hati-hati," jawab Resta.
Algar mengangguk kemudian kembali mengendarai motornya menuju rumah Shelvi. Jika Algar telat pasti Lidya akan mengoceh padanya. Algar malas sekali mendengarkan ocehan bocah kecil itu.
Sesampainya di sana, Lidya sudah menunggunya di depan rumah temannya itu. Lidya langsung berpamitan dan langsung menaiki motor Algar. Di perjalanan, Lidya terus bercerita. Algar hanya menanggapi dengan menganggukan kepalanya, karena saat ini pikiran Algar juga sedang bercampur aduk.
Sesampainya di rumah, Lidya langsung turun dari motornya Algar dan berkacak pinggang. Algar hanya menatap bocah kecil yang sepertinya tengah marah saat ini.
"Abang gak seru, ah! Cuma ngangguk-ngangguk doang!" Lidya kemudian langsung berlari kecil memasuki rumahnya.
Algar hanya membuang napas berat kemudian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Padahal Lidya masih kecil, tapi dia sudah seperti perempuan remaja saja. Algar jadi pusing sendiri menghadapinya.
Sementara itu, Andara menatap benda pipih yang sedang ia genggam. Saat ini perempuan itu berada di rumah Resta. Andara mengacak surainya kesal, Andara merasa jika dirinya sangat plin-plan dan gelisah.
Resta yang melihat Andara sangat gelisah segera menghampiri perempuan itu. Mungkin Resta bisa membantu Andara, pikirnya.
"Lo kenapa? Gelisah banget kayaknya," ucapnya. Andara terdiam menatap ponselnya yang sudah menampilkan kontak Algar. Resta mengikuti arah pandang Andara dan menaikkan satu alisnya.
"Lo mau nelepon Algar?" Andara tertegun dan menggeleng tegas.
"Gue masih takut," jawabnya.
"Takut?" Andara mengangguk kecil.
"Gue takut kalau dia marah sama gue. Kemarin gue bicara buruk banget dan itu pasti ngebuat dia kesel." Resta menaikkan dua alisnya.
"Tapi lo ngomong gitu buat ngelindungin dia, kan? Lo gak mau dia kenapa-napa, makanya lo mutusin buat ngeakhirin hubungan lo supaya Elvan gak nyakitin dia." Andara menatap Resta lama kemudian mengangguk kecil. Apa yang dikatakan Resta tidak meleset dan sangat tepat.
"Kalau gitu kenapa lo harus takut? Lo tinggal jelasin semuanya sama dia. Gue yakin dia pasti ngerti, kok. Ini saat yang tepat untuk lo bilang perasaan lo yang sebenernya ke dia," lanjut Resta. Andara meremas ponselnya.
"Perasaan gue yang sebenernya?" Resta tersenyum kecil pada Andara.
"Lo suka, kan, sama Algar?" Andara tertegun dan langsung salah tingkah. Suka atau tidak suka, itu bukan urusan dia, kan? Andara jadi malu sendiri.
"Lo gak perlu ngebohongin perasaan lo lagi, ra. Udah saatnya lo jujur sama Algar dan diri lo sendiri. Lo harus terima kalau lo itu jatuh cinta sama Algar, lelaki yang selalu ada di samping lo."
♡♡♡
Algar menyipitkan matanya. Perlahan sinar matahari mulai menembus jendela kamarnya. Algar terkejut ketika melihat jam yang sudah menujukkan pukul 06.20. Algar langsung bergegas menuju kamar mandi, jika tidak ia akan terlambat ke sekolah.
Lidya tertawa renyah ketika melihat Algar yang baru saja akan memulai sarapan, sementara dirinya sudah selesai sedari tadi. Lidya memang sangat senang jika menjahili Algar karena Algar pun sering menjahilinya.
Setelah selesai dengan aktivitas paginya, Algar langsung berpamitan dengan Dita untuk berangkat ke sekolah.
Kalau dipikir-pikir, kejadian kemarin pasti akan membuat dirinya dan Andara canggung. Kemarin Algar tidak sempat berbicara lebih banyak dengan Andara karena harus menjemput Lidya, apa hari ini Algar bisa kembali berbicara dengan Andara seperti biasanya? Algar berharap seperti itu, Algar berharap hubungannya dengan Andara akan membaik.
Sesampainya di sekolah, Algar memergoki Andara tengah menatapnya, namun hanya sebentar, setelah itu Andara langsung menundukkan wajahnya dan memutuskan kontak mata keduanya. Algar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Apa hubungan keduanya akan benar-benar membaik?
Algar melanjutkan langkahnya menuju kelas, Rio dan Revan langsung menyambutnya. Kedua lelaki itu mengejeknya karena Algar tidak terlihat galau lagi.
"Udah gak galau lo, gar? Kemaren muka lo kayak mau mati banget, sih!" candanya. Algar menghembuskan napasnya berat. Pagi-pagi sudah bertemu dengan kedua teman laknatnya ini sangat membuat kepala Algar terasa nyeri.
"Seperti yang lo liat aja," jawabnya acuh. Semakin Algar meladeni mereka, mereka akan semakin jadi menjahilinya. Lebih baik jika Algar acuhkan saja teman-teman laknatnya itu.
Pelajaran dimulai seperti biasa dan tanpa gangguan apa pun. Algar dan Andara juga tidak saling bertatapan atau berbicara.
Hingga jam istirahat tiba, Andara masih memikirkan apa yang dikatakan Resta kemarin. Haruskah Andara melakukan itu dan meminta maaf pada Algar?
Andara mengepalkan tangannya, menguatkan tekadnya. Andara harus berbicara pada Algar. Andara harus meminta maaf pada Algar. Semoga saja lelaki itu tidak marah padanya.
Andara mengikuti Algar dan teman-temannya menuju kantin, tentunya tanpa sepengetahuan para lelaki itu. Andara mengendap-endap hingga ketiga lelaki itu duduk di pojok kantin. Andara memberanikan dirinya demi berakhirnya kecanggungan di antara dirinya dan Algar. Andara tidak suka rasa canggung ini.
Andara melangkahkan kakinya. Perempuan itu berhenti tepat di hadapan Algar dan teman-temannya. Andara berdehem kemudian menatap mata Algar.
"Gue mau bicara sama Algar sebentar, boleh?" Rio menampilkan cengiran polosnya.
"Boleh, dong. Apasih yang enggak buat neng Andara." Andara tersenyum kecil pada Rio.
"Makasih," balasnya. Andara menatap Algar yang masih tidak berkutik di depannya.
"Gue tunggu di halaman belakang sekolah." Andara kemudian berlalu meninggalkan ketiganya.
Andara langsung menuju halaman belakang sekolah dan mengatur kembali napasnya, rasanya jantung Andara mau berhenti. Andara masih tidak yakin jika Algar ingin menemuinya karena lelaki itu tidak menjawab apa-apa tadi.
Andara duduk di kursi. Perempuan itu masih menunggu Algar meskipun ia tidak yakin. Andara menatap tanaman yang berjejer di depannya dengan tatapan yang kosong.
"Kenapa?" Suara bariton itu sukses membuat Andara terkejut dan langsung menoleh. Andara mendapatkan Algar sudah berdiri di sampingnya. Algar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Apa yang mau lo bicarain sama gue?" Andara menghembuskan napasnya perlahan kemudian mulai membuka mulutnya.
"Gue ...