"Mau aku anterin sampe gerbang?" tawarnya, boleh aku mengoreksi sikapnya? Dari yang sudah-sudah, dia akan mengantarkanku jika dia mau, tanpa bertanya dulu padaku, karena dia tahu kalo aku pasti menolaknya jika dia bertanya terlebih dahulu.
"Gak usah Bee, orang cuman gerbang doang heheh," kataku.
"Oh, yaudah, gakpapa ni? Serius?" tanyanya lagi.
"iya, aku duluan ya!" kataku, berlalu meninggalkannnya. Kenapa si dia gak peka? Aku tahu dia bukanlah cenayang yang harus tahu apa yang aku mau, tapi aku ingin dia mengejarku dan mengantarkan aku walaupun sampai gerbang. Kode apa lagi yang harus aku keluarkan agar kamu peka Bee?
Memikirkan tidak ad acara lain untuk memberikan kode pada Jendra membuat aku terus-terusan melangkah.
Sesampainya di depan gerbang aku membalik badanku dan berharap Jendra sedang mengejarku, namun harapan hanya harapan, dan itu artinya dia memang benar-benar tidak mengejarku dan ini membuat mood ku buruk.
Aku takut naik angkutan umum sendiri. Jadi aku bingung harus berbuat apa. Apalagi melihat awan yang sedikit mendung.
Tiba-tiba Ponselku bergetar tanda ada pesan masuk. Aku melihat nama Kak Rian dan wajah kakak sepupuku itu dengan senyuman lebarnya terpampang jelas di layar.
'Dek, gue mau ke rumah lo nih.'
'Bener, Kak? Jemput aku dulu please Kak, aku takut nih naik angkot,'
'Yakin lo mau nungguin gue? Lo tahu jarak dari rumah gue ke rumah lo kan?'
'Iya serius aku, Kak. Pokoknya aku tunggu di warung pop ice yang ada di depan sekolah aku ya. Titik.'
'Gue gak tanggung jawab ya kalo lama,'
'Iya makanya buruan berangkat'
'Iya bawel!'
Aku pergi ke Warung Pop Ice yang kumaksud dalam percakapan. Akupun memesan pop ice rasa coklat kesukaanku. Aku tidak peduli jika kondisi saat ini sedang hujan. Bagiku pop ice bisa kuminum kapanpun dan dalam situasi apapun. Sungguh, aku hanya menyuarakan apa yang aku rasakan saja bukan iklan.
Hampir 1 jam berlalu, tapi Kak Rian masih belum juga muncul, aku tak bisa menyalahkan Kak Rian sepenuhnya karena memang aku yang memintanya. Lagi pula Kak Rian sudah mengatakan kalau dia akan lama di perjalanan.
Mataku terpaku pada motor yang baru saja keluar dari gerbang sekolah. Itu motor Jendra! Tapi, bukannya Jendra sedang ada latihan untuk besok tanding? Dan siapa cewek yang di boncengnya? Dan sadarku berkata orang itu adalah Melody, kukatakan sekali lagi kalo cewek itu adalah Melody! Sahabatku sendiri! Amazing! Bedebah!
Apa Melody benar-benar ingin merusak hubunganku dengan Jendra? Bukankah dialah yang dulu bilang bahwa Jendra selingkuh dan sebagainya? Apa itu hanya triknya saja untuk menjauhkanku dengan Jendra? Ah, dasar PHO!
Ingin sekali aku meneriaki keduanya, namun aku mengurungkan niatku ini, aku takut kalau ini hanya salah faham belaka. Dan aku benar-benar tidak mau kehilangan Jendra. Dia cinta pertamaku. Dan aku sangat mencintainya.
Apa aku hanya salah lihat? Tapi plat nomor itu ditambah wajah Melody yang sedang tertawa di bawah guyuran hujan membuktikan semuanya. Jadi ini, alasan Jendra tidak mau mengantarku pulang dengan berbohong ingin latihan untuk pertandingan besok?
Air mataku sudah tak bisa lagi aku kendalikan. Rasa sesak di dada ini datang. Rasanya miris. Dan sakit yang ku rasa benar-benar menyiksaku.
Dari kejauhan aku melihat motor Kak Rian datang menghampiriku. Aku menatap ke atas mencoba menahan air mataku agar tidak turun.
"Lo kenapa, Dek? Lo nungguin guenya kelamaan ya?" tanya Kak Rian, panik.
Aku menggeleng. Aku tak mengerti bagaimana cara menjelaskan ini semua pada Kak Rian.
"Enggak papa Kak. Ayo, pulang, Kak." kataku, langsung membonceng di belakang Kak Rian.
"Tapi ini ujannya deres banget, Sya. Kita neduh dulu aja ya, ntar lo sakit." kata Kak Rian lagi.
"Enggak mau, Marsya mau pulang!" kataku. Mengeratkan pelukanku ada Kak Rian. Karena mungkin bingung dengan apa yang terjadi, Kak Rian pun melajukan motornya di tengah-tengah hujan.
Sesampainya di rumah aku langsung berlari meninggalkan Kak Rian. Mama menghampiriku dengan panik, namun aku yang sudah tak tahan, lebih memilih untuk berlari ke kamarku. Efek baju basahkupun membuat aku tambah menggigil. Aku mengganti bajuku dan mengunci diriku sendiri di dalam kamar. Rasanya mengingat apa yang aku lihat tadi seperti ada tamparan keras yang menerpaku, hariku runtuh.
Rasanya dikhianatin oleh sahabat sendiri itu menyesakkan. Benar-benar menyesakkan. You have to know that!
***
Setelah 2 hari aku tidak masuk sekolah karena terus membayangkan apa yang akan dilakukan Melody lagi dengan Jendra, akhirnya aku menyerah. Aku bukan pengecut yang harus lari dari masalah yang belum jelas kebenarannya.
Aku harus terus berfikir positif! Iya, aku harus begitu.
"Pagi, Mel!" sapaku pada Melody yang sudah berada di mejanya. Tidak biasanya dia datang sepagi ini. Biasanya dia selalu datang terlambat dengan alasan tidak bisa bangun terlalu pagi.
"Pagi, eh Sya aku pindah ke depan ya, tadi katanya Si Mbakteng minta di ajarin matematika, kasian dia," kata Melody. Aku hanya mengangguk dan dia langsung mengemasi buku-bukunya ke dalam tas.
"Dan, duduk sini kek!" kataku, memanggil Danu sambil cemberut. Aku malas duduk sendiri.
Aku jadi bingung, bukannya si 'Si Mbakteng' itu jago matematika ya? Aku kembali harus berpikir positif, mungkin maksud Melody dialah yang minta diajari, atau malah Melody sebetulnya ingin menyontek PR matematika Dian
Tapi aku merasakan ada yang aneh pada Melody, sudah jelas aku tidak masuk 2hari, tapi basa-basi menanyakanku kabarpun tidak. Biasanya dia adalah orang bawel pertama di sekolah yang akan mengisi hari-hariku dengan omelan-omelannya karena aku tidak bisa menjaga kesehatanku. Tapi lihatlah, dia biasa-biasa saja. Bahkan, terkesan tidak peduli. Ah,mungkin dia sibuk.
Istirahatpun datang, namun Jendra belum datang juga ke kelasku. Dan saat aku ingin menghampiri Melody yang sekarang duduk di barisan paling depan dengan Dian. Dia sudah pergi keluar kelas, tumben (lagi) tidak mengajakku.
Aku merasakan perutku semakin lapar dan Jendra tidak juga datang seperti biasanya.
"Sya, Jendra mana? Tumben banget dia gak dateng?" kata Danu, sambil mengacak-acak tasnya seperti mencari sesuatu.
"Gak tau ni, mana laper banget lagi." kataku, sambil memegang perutku yang lapar benar-benar lapar karena aku tidak sempat sarapan tadi pagi.
"Yaudah kantin aja yuk, memelas banget muka lo hahaha." kata Danu, menertawakanku. Setelah menemukan apa yang dicarinya, wajahnya sangat senang, aku hanya bisa meliriknya ternyata sedari tadi dia mencari dompet, lalu dia menyelipkan dompetnya pada saku belakang celananya.
"Ayo deh, tapi jangan lewat koridor ya, males rame." kataku. Sebenarnya aku takut bertemu dengan Jendra di koridor, aku tidak mau dia salah paham hingga akhirnya hubungan kami kandas, membayangkan kami putus saja aku tak mampu. Bagaimana jika benar-benar terjadi? Bisa matilah aku. Jadi, kuputuskan mencari jalan aman.
"Bilang aja nggak mau ketemu Jendra." katanya mencibir kearahku. Aku hanya menanggapinya dengan mengerucutkan bibirku. Lalu mendorong bahunya agar terus jalan.
"Udah deh, jalan aja ke depan." kataku.
"Ya, kalo ke belakang mundur, Neng. Hahahaha." kata Danu.
"Gak lucu. Krik." kataku. Danu hanya terkekeh.