Danupun menyetujui usulanku untuk jalan lewat belakang seko;ah. Kamipun kini benar-benar jalan memutar, lewat belakang gedung yang tembusannya adalah kantin. Ternyata aku benar, tidak ada satu orangpun yang ada di sini, aku menghela nafas lega, karena tidak perlu putus dengan pacar tercintaku.
Jendra itu tipikal cowok yang cemburuan, jadi aku tidak mau membuatnya cemburu padaku. Lagi pula sebagai pacar yang baik, aku tidak boleh menyakiti hati pacar. Meski aku tak berkencan dengan Danu namun bila Jendra melihat kami, dia pasti akan salah paham. Aku tidak mau membuat itu terjadi. Lagi pula aku begitu mencintai Jendra jadi tidak boleh menyakiti hatinya.
"Tunggu, eh bentar, ada orang pacaran," kataku, melihat dua sosok manusia yang sedang pacaran di balik semak-semak. Aku penasaran dengan apa yang dilakukan mereka. Aku ingin tahu apa yang dilakukan orang lain saat pacaran, dan siapa tau aku bisa menyonteknya.
Aku bisa memakai trik ATM, Amati, Tiru, dan Modifikasi. Siapa tahu aku bisa sukses dengan ketiga trik ini. Aku terkikik dalam hati memikirkan pemikiran konyolku sendiri.
"Kenapa sih? Dih, kayak gak pernah pacaran aja, norak lo!" kata Danu, seperti tak habis pikir padaku.
Dia terus berjalan, namun aku buru-buru mencekal tangannya. Enak saja memang dia saja yang lapar? Aku juga lapar. Tapi ya untuk saat ini rasa lapar akan penasaranku lebih besar dibanding dengan rasa lapar karena belum makan.
"Gue laper, ahela." kata Danu.
"Gue juga sama. Setia kawan dong sama gue." kataku.
Danu hendak pergi lagi namun aku buru-buru mencekalnya lagi. Aku tak mau kehilangan partner makan. Makan sendirian di kantin itu menyebalkan. Aku tidak suka. Jadi, Danu harus ada di sini, menemaniku. Lagi pula kalau sudah selesai melihat orang pacaran aku pasti akan ke kantin nememaninya makan.
"Nyusahin." kata Danu, mengataiku. Tapi aku tidak tersinggung. Danu memang seperti itu. Jadi, aku tak perlu benar-benar menjaga perasaannya.
"Tunggu kenapa sih!" kataku, menarik tangan Danu yang hendak kabur lagi. Aku mengintip mereka dari celah-celah dedaunan. Ternyata mereka sedang berciuman. Aku langsung menutup mataku, adegan ini masih belum boleh aku liat karena aku belum 17 tahun. Apa yang mereka fikirkan sih? Kenapa harus berbuat tidak senonoh di sekolah?
"Lo gak marah, Sya?" tanya Danu, yang membuatku bingung, aku melepaskan tanganku dari mataku. Lalu menatapnya dengan tatapan bingung.
"Marah kenapa?" kataku, tak mengerti arah ucapan Danu.
"Itu kan Jendra." katanya dengan tampang datarnya. Aku terkejut dengan ucapannya.
"Yang bener aja lo." kataku mencubit lengannya. Aku tau Danu memang suka sekali bercanda namun untuk saat ini sepertinya tidak lucu. Andai dia tau, hatiku jadi tidak tenang mendengar kata-katanya.
Untuk memastikannya aku kembali menolehkan wajahku ke arah mereka yang sedang 'asyik' dengan kegiatan mereka.
Deg!
Yang benar saja! Itu kan.. Jendra dan M-Melody? –batinku.
Pertahananku runtuh seketika. Aku terduduk di tanah. Danu ikutan berjongkok dengan panik. Air mataku tak bisa lagi aku bendung. Aku yakin tak ada kesalahan dalam mataku. Mataku normal. Yang tidak normal itu mereka!
"Sya, maaf, gue.." Danu menggantungkan kalimatnya, kebingungan datang menghampirinya. Kalau kali ini kami berada di saat yang berbeda, aku bisa jamin aku akan menertawakannya dengan segenap jiwa dan ragaku. Tapi tidak untuk saat ini.
"Bantuin berdiri, Dan!" kataku mengulurkan tanganku padanya.
Diapun mengambil tanganku dan menarikku untuk berdiri. Aku merasa lemas, dan kakiku terasa sangat berat. Hatiku panas dan sakit. Tapi aku tidak boleh lemah.
Aku pun mengahampiri Jendra dan Melody yang baru saja selesai melakukan 'aksi'nya. Aku memang pernah melihat adegan ini di drama korea namun aku tidak pernah menyangka akan menyaksikannya secara langsung dengan pemeran utama pacar dan sahabatku.
"Udah?" kataku, sinis. Air mataku sudah menganak pinak namun setidaknya aku masih punya harga diri. Aku tidak mau dibodohi lagi. Tak akan pernah.
Jendra dan Melody terkejut melihat kedatanganku.
"Marsya?" tanya Melody seakan tak percaya kalau orang yang sedang berdiri di depannya adalah aku, Marsya.
"Meili?" Jendrapun melakukan hal serupa.
"Marsya sama Meili udah mati." Kataku, asal berbicara. Aku benar-benar kesal dan membenci kedua orang ini.
Aku sudah tak tahan dengan semua ini, ingin rasanya aku bunuh kedua orang ini karena dengan mudahnya mematikan hatiku, dan juga harapan-harapanku, terlebih kepercayaanku. Andai saja membunuh adalah cara yang dilegalkan, aku ingin membunuh mereka secara legal sekarang juga.
Aku menatap Melody, yang selalu ku kenalkan sebagai sahabat terbaikku. Dia memang sahabat terbaikku. Sahabat terbaik dalam menghancurkan kepercayaaanku. Dia adalah sang penggoda terbaik. Menjijikan.
"Mel, aku kira tuh kamu beneran sahabat aku, tau-taunya kamu cuma sampah yang sukanya godain cowok orang. Oh, ya ampun! Aku lupa kan kamu itu kan emang penggoda, gadis PHO, dan sekali PHO ya akan selamanya jadi PHO, gak mandang sahabat. Good job, Girl!" kataku, di tengah isakku, air mata ini sudah tak terbendung lagi. Mataku kini dipenuhi kebencian.
Melody menatapku dengan perasaan tak enak hati. Dia memandang Jendra, meminta cara untuk menjelaskan padaku.
"Cuma karena seorang cowok, Mel. Kamu khianatin aku, bahkan gak ngelawan aku katain sampah. Oh, kayaknya kamu emang ngakuin kalo diri kamu sampah, sampah penggoda." kataku, sarkas pada Melody.
Melody diam saja.
Aku membenci Jendra. Aku juga membenci Melody. Kedua orang itu sangatlah tak bermoral. Selain menghancurkan kepercayaanku, mereka berbuat tak senonoh di sekolah. Beruntung mereka melakukannya di belakang sekolah yang tak terawasi kamera CCTV.
"Hai Jendra, makasih tadi adegannya hot banget lho, aku sampe terharu." kataku pada Jendra.
"Mei.." kata Jendra.
Aku buru-buru memotong kata-katanya. "Kita putus!" kataku pada Jendra sambil menatapnya penuh kebencian.
Dalam hati aku merutuki air mata sialan ini tidak juga mau berhenti.
Aku mohon, kuatlah, Marsya. Kamu nggak boleh cengeng cuma karena bedebah-bedebah ini. –batinku.
"Mei!" panggil Jendra. Aku tidak memperdulikannya, aku terus berlari tanpa arah kemanapun, tujuanku hanya menjauh dari dua manusia nan menjijikan itu. Danu mengejarku.
"Sya, tunggu!" teriak Danu.
Aku mempercepat langkahku. Rasa laparku sudah hilang ntah ke mana. Aku tak mampu menatap Danu. Aku pasti terlihat begitu menyedihkan di matanya.
"Sya, udah dong nangisnya." kata Danu, dengan setia mengikutiku. Aku terus menangis, rasanya aku tidak memiliki kekuatan untuk menjawab pertanyaannya.
Coba saja kalian bayangkan. Bagaimana perasaanmu ketika kamu memiliki satu sahabat terbaik di dalam kehidupanmu, dia adalah seseorang yang selalu ada bersamamu, selalu mengerti kondisimu, selalu menghiburmu, selalu mengingatkanmu, selalu menasihatimu dan selalu memberikan hal-hal baru dalam hidupmu. Namun dalam hitungan detik dia mengancurkanmu. Menghianatimu tanpa peduli sesakit apa rasanya dikhianati. Hingga hatimu mati.