Chereads / The PHO (Perusak Hubungan Orang) / Chapter 4 - Chapter 1 – Client Baru

Chapter 4 - Chapter 1 – Client Baru

"Sya, bantuin gue, please!" seorang perempuan seusiaku memohon di hadapanku.

Namanya Elvira. Aku baru mengenalnya, dan dia memang sengaja mengajakku bertemu di Café Dia Lo Gue di daerah Jakarta Selatan. Tanpa perlu aku tanyakan langsung padanya maksud tujuan kami bertemu aku sudah tahu kalau tujuannya adalah agar aku mau membantunya untuk merusak hubungan seseorang. Mungkin mentan pacar atau musuhnya. Aku belum tahu persisnya.

Bukan hanya Elvira yang memang sengaja datang kepadaku untuk meminta tolong, aku bukan dukun, aku bukan paranormal atau sejenisnya. Aku hanya seorang PHO (Perusak Hubungan Orang) yang ingin membantu orang-orang untuk membalaskan dendamnya kepada orang yang sudah merusak hubungan kami. Hanya remaja ya yang aku bantu, bukan tante-tante/om-om apalagi nenek-nenek/kakek-kakek, dan yang jelas bukan anak bayi juga.

"Alesan lo?" tanyaku singkat.

Sudah aku bilang kan? Kalo aku hanya akan membantu untuk membalas dendam bukan untuk merusak hubungan orang yang tidak bermasalah. Rasanya tak adil merusak hubungan yang sudah berjalan lurus.

"Penghianatan. Bayangin gue punya sahabat yang udah gue anggep sodara gue sendiri, tapi dia dengan teganya ngerebut cowok gue!" katanya.

Tepat sasaran! O iya, alasanku menanyakan semua alasan clientku adalah aku memang tidak mau salah target. Ini adalah pertanyaan terakhirku, aku rasa cukup sesi wawancaranya, aku yakin elvira adalah client yang tepat. Aku rasa kasus ini bisa aku tangani. Maksudku, aku bersedia menangani kasus ini.

"Apa yang gue dapet kalo gue berhasil ngerusak hubungan mereka?" kataku, to the point.

Ada orang yang bilang di dunia ini tidak ada yang gratis bukan? Dan aku fikir tidak ada salahnya meminta imbalan pada mereka. Kompensasi adalah hal yang wajar dalam duni bisnis, bukankah saat ini aku juga sedang berbisnis dengan Elvira?

"Gue punya uang.." kata Elvira.

Mendengar kata uang membuatku memicing dan aku buru-buru memotong ucapannya. Aku bingung memang aku terlihat seperti orang miskin?

"Gue bukan orang miskin!" kataku datar.

Aku tidak membutuhkan uang, untuk apa? Toh aku setiap harinya di beri uang oleh orang tuaku yang bisa dibilang lebih dari cukup. Aku benar-benar tak menginginkan kompensasi dalam bentuk uang.

"Gadget?" tanyanya lagi. Ternyata dia tidak juga mengetahui apa yang aku inginkan.

"Lo tau gue dari siapa?" tanyaku akhirnya, aku terlalu malas berkelit, namun aku juga tidak mau memberi tahu dia, biarkan dia mencari tahunya sendiri, yang membutuhkan bantuan kan dia bukan aku.

"Dari Anggun." katanya, aku memutar otakku.

Siapa Anggun? Berapa banyak orang yang aku tolong hingga aku tidak mengenal orang yang bernama Anggun itu? Meski aku tak mengingat persis siapa Anggun dan bagaimana rupanya, tapi aku yakin, Anggun pasti mengenalku bila dia pernah menjadi client-ku.

"Tanya dia aja," kataku, aku langsung membuka ponselku.

Aku membuka ponselku yang terus bergetar memunculkan notif medsosku sedari tadi. Aku membalas satu persatu pesan yang masuk untukku di sana.

Maksud tujuanku tak mengacuhkan Elvira adalah aku memberi waktu kepada Elvira untuk menanyakan pada Anggun-anggun itu tentang imbalan yang mesti diberikannya padaku bila ingin aku membantunya.

Aku melirik Elvira sekilas, dia sepertinya pandai membaca kodeku. Kini ku lihat dia sedang mengetikkan sesuatu, dan aku tahu, dia sedang bertanya apa kemauanku pada seseorang yang bernama Anggun itu. Aku hanya tersenyum sekilas. Lalu kembali berkutat dengan ponsel milikku. Terlalu banyak notif. Aku pun memutuskan hanya membalas pesan-pesan penting saja.

"Novel?" nada bicaranya terdengar sangat aneh, seakan bertanya kenapa hanya novel? Aku memaklumi keterkejutannya. Hampir semua client-ku menanyakan hal serupa dengan cara yang berbeda-beda.

Aku mengangkat bahu.

"Kenapa Cuma novel?" tanya Elvira.

"Ya, karena gue maunya cuma novel." kataku, malas menjelaskan lebih jauh pada Elvira.

Lagi pula siapa dia? Dia hanyalah satu dari banyak client-ku, yang taka da istimewa-istimewanya untukku. Pertemuan kita pasti hanya singkat saja. Selesai berbisnis, selesai pula hubungna kita.

Sebetulnya, aku bisa saja membeli novel sendiri dengan meminta uang dari ayahku. Hanya saja menurutku rasanya berbeda. Aku lebih suka membaca novel orang lain. Saat membeli novel tentu seorang pembeli akan menyesuaikan dengan seleranya. Nah, aku ingin mengetahui selera client-clientku. Bila aku membeli sendiri, aku cenderung membaca novel yang itu-itu saja. Berbeda dengan mereka yang tak saling mengenal dan pasti punya penilaian tersendiri terhadap novel.

Noebl-novel yang mereka kumpulkan sering kali bagus, bahkan jauh di luar ekspektasi. Ini yang membuatku semakin semangat saat mendapat novel.

Dan masalah kenapa novel.. Hmm.. anggap aja ini pelarianku, karena sejak kejadian itu aku sudah tidak mau lagi membuka hatiku untuk orang-orang baru. Teman-temanku memang banyak namun aku hanya menganggap mereka teman, tak lebih! Temanku yang benar-benar tulus hanyalah novel. Dia bisa menjadi sahabatku, temanku, bahkan kekasihku. Bukankah sebagai benda mati, Novel tak bisa berkhianat?

Sejak kejadian waktu itu, hanya novel teman sejatiku, dengan membaca novel aku merasa bisa mengalihkan dan melupakan sejenak ingatanku dari kejadian itu. Dan selain novel, aku juga melarikan diriku ke kebiasaan-kebiasaan lainnya yang kau pasti akan tau sendiri nantinya.

"Iya, yaudah mana data-datanya? Untuk pertama lo harus temenin gue ke tempat dia nongkrong." kataku, rasanya aku sudah sangat malas berada di sini, sebenarnya client ku ini tidak terlalu membosankan hanya saja mood-ku sedang jelek hari ini.

"Yaudah ntar gue kabarin lo deh ya waktunya." katanya sambil menyodorkan sebuah amplop yang aku yakin berisi data-data yang aku minta.

Dia memamerkan senyuman manisnya, aku hanya tersenyum singkat. Lalu pamit pulang setelah dia mengucapkan banyak terima kasih. Taka da gunanya berlama-lama di sana bersama seseorang yang bahkan tak bisa ku sebut sebagai teman.

***

"Hei, Sya, kenapa lo? Kusut banget muka lo?" kata Bang Andri.

Kali ini aku pergi ke tempat nongkrong yang biasa aku datangi bersama teman-temanku. Sudah aku bilang bukan? Kalau aku tidak kekurangan teman? Tapi tetap saja ada yang kosong di hati ini. Mungkin karena saking banyaknya temanku membuatku semakin merasa tak ada yang istimewa.

"Diem lo ka, lagi males ni gue!" kataku ketus.

Yang lainpun menertawai Bang Andri, karena preman tampan seperti dia baru saja aku ketusi, dia memang ditakuti di sini namun apa peduliku?

Nyatanya aku tidak takut padanya, bahkan aku sering berpikir bisa jadi malah dia yang takut kepadaku, karena dia tidak pernah marah ataupun apalah padaku padahal aku selalu bersikap seperti ini pada semua orang tak terkecuali dia.

"Apa lo pada ketawa-ketawa?!" kata Bang Andri pada Tomy, Silvi, Derry, Wibby, Anji dan pacarnya a.k.a Winda. Umurku dengan yang lain hanya berbeda beberapa bulan saja, berbeda dengan Bang Andri dan Kak Winda yang punya umur 2 th di atas kami.