Chereads / The PHO (Perusak Hubungan Orang) / Chapter 6 - Chapter 3 – Penciuman Tajam Kak Rian

Chapter 6 - Chapter 3 – Penciuman Tajam Kak Rian

Akupun menyeret mereka berdua ke dalam kamarku. Lalu meninggalkan mereka ke kamar mandi untuk mandi lalu mengganti pakaianku. Aku tak membedakan antara Kak Ria yang perempuan dan Kak Rian yang laki-laki.

Setelah selesai ganti baju. Akupun kembali kepada mereka.

"Eh, Kak, ngomong-ngomong kalian kapan dateng? Jahara lo-lo pada gak ngasih tau duluan." kataku.

"Sebenernya si mau ngasih surprise tapi elonya lama banget ditungguin dari pagi, ke mana aja si lo?" kata Kak Ria.

"Iya-iya maaf gue kan sekolah, trus ada urusan hehe. Eh, Kak gue tau resep baru dong, gue masakin sekarang deh buat kita, kalian belom makan kan?" kataku.

Aku memiliki hobby memasak sesuatu yang absurd menjadi sesuatu yang wah dan enak di makan. Memasak itu seni, apalagi saat proses pemberian garnish tuk mempercantik, oh aku seakan sedang mengukir hatiku sendiri. Fokus Marsya Fokus!

"Ya gimana mau makan coba kalo kokinya aja belom pulang-pulang." kata Kak Rian. Akupun tertawa mendengarnya.

"Yaudah lo berdua diem-diem dah tuh di kamar gue, gue mau masak dulu." kataku langsung pergi ke dapur. Baru sampai di depan kamar, aku sudah mendengar suara teriakan cempreng dari Kak Ria untuk Kak Rian. KAk Rian itu usirl. Aku berani bertaruh kalo Kak Ria sedang menjadi masngsa kejailan Kak Rian. Aku pun tertawa. Lalu berjalan menuju dapur.

"Kamu baru pulang, Sya? Emang pulang sekolah jam berapa si, Sya?" kata mamaku yang ternyata sedang ada di dapur dengan gelas air minum di tangan kanannya.

"Marsya ekskul mah," kataku berbohong. Keluargaku sangat mementingkan pendidikan jadi ini aku manfaatkan untuk alasan berbohongku setiap harinya.

"Oh, emangnya ekskul setiap hari ya? Emang berapa jam si eskul kamu itu? Sampe jam 8 malam gini?" cecar mamaku lagi.

"Sekalian ngajarin temen mah" kataku.

Mama, mengangguk. Mama harus percaya padaku.

"Mama udah masak, jadi kamu gak usah masak lagi." kata mamaku saat aku hendak menyalakan kompor. Akupun akhirnya mengurungkan niatku untuk memasak.

"Iya, Mah." kataku, aku tidak berani bantah beliau.

"Mama ke atas dulu panggil Ria sama Rian buat makan." kata mamaku langsung pergi ke kamarku. Akupun berniat untuk ke ruang makan namun tiba-tiba ada Kak Rian di hadapanku, kapan datangnya? Dasar hantu.

"Ayo, Kak makan." kataku mengamit lengan Kak Rian. Berniat untuk menariknya ke ruang makan juga.

"Sejak kapan lo ngerokok?" kata-kata itu dengan mulus keluar dari bibir Kak Rian. Wajahnya yang biasanya jahil, sekarang sedang menatapku dengan serius.

Aku melepaskan tanganku dari lengannya dan mulai salah tingkah, aku bingung harus mengatakan apa. Ternyata Kak Rian lebih peka, harusnya aku tahu itu! Mengapa aku selalu ceroboh seperti ini sih?

"Eh, bukan Kak, inimah temen gue." kataku mencoba berkelit. Aku berusaha tenang namun tatapan itu benar-benar mengintrogasiku.

"Gak percaya gue, trus gue juga nyium.." Kak Rian meggantungkan kata-katanya. aku menggeleng pasrah.

"Sumpah, Kak. Kalo yang itu enggak! Gue gak pernah sekalipun nyobain itu." kataku, takut Kak Rian mengiraku sudah jadi pecandu atau sebagainya.

"Sejak kapan lo ngerokok?" tanyanya, dengan tatapan mata yang sama.

"Ee, itu, anu se-sejak kejadian waktu itu." kataku jujur. Taka da alasan lagi untuk berbohong pada Kak Rian.

"Lo gak mikir apa?! Kalo misalnya bokap ama nyokap lo tau bakal gimana?" kata Kak Rian lagi, dengan suara marah. Nyaliku ciut, benar-benar ciut.

"Iya makanya itu, please Kak. Gue mohon jangan bilang sama mereka, ya?" kataku, dengan memohon.

Aku sangat takut bila Mama dan Ayahku tau bagaimana kelakuanku. Cukup mereka tahu kalau anaknya adalah anak yang rajin dan selalu mendapatkan rangking 10 besar di sekolahnya. Apa jadinya aku jika kedua orang tuaku tahu? Mereka pasti akan memarahiku dan bahkan lebih parah lagi dari pada itu.

Raut wajah Kak Rian belum juga berubah, membuatku semakin takut jika Kak Rian benar-benar melaporkan sikapku pada ayah ataupun mama. Okelah aku adalah seorang pemberani dengan siapapun bahkan preman sekalipun. Tapi aku masih memiliki rasa takut kepada orang tuaku dan Yang Mahakuasa tentunya.

Aku masih memohon dengan tampang memelasku. Aku tidak peduli lagi bagaimana tampang pelo-ku saat ini, yang jelas aku akan terus meminta Kak Rian agar tidak membocorkannya kepada siapapun.

"Tapi lo harus janji ikutin syarat dari gue." kata Kak Rian lagi. Aku mulai berfikir untuk mengiyakannya hanya untuk saat ini saja, untuk besok siapa yang tahu? Tapi bukankan janji adalah hutang? Ah, berhutang sekali tidak apa-apa mungkin.

Akupun mengangguk.

"Janji apa, Yan?" tanya mamaku. Aku panik bukan main karena raut wajah Kak Rian yang masih dingin. Aku mendekati Kak Rian lalu memejamkan mataku pasrah. Lalu membukanya lagi.

"Oh, ini, Tan. Dia tadikan janji sama Rian buat masakin Rian sama Ria tapi gak jadi, yaudah dia harus nepatin janjinya besok." kata Kak Rian yang membuatku lega dan hampir kehilangan keseimbanganku.

"Oh, yaudah ayok kita makan dulu!" kata mamaku, kami berempat pun menuju ruang makan.

Belum sampai kami ke ruang makan, Ayahku datang, dan kamipun makan malam berlima. Awalnya aku diam saja karena syok dengan ancaman Kak Rian, namun Kak Rian seperti bisa membaca fikiranku hingga dia membawaku untuk bersikap seperti biasanya.

"Ayah sama bunda kalian apa kabar?" tanya ayahku di sela-sela makan malam kami.

"Baik, Om, bunda sama ayah juga rencananya mau ke sini om, cuman ya gitu, lama jadinya kita tinggal deh." kata Kak Ria. Kami semua tertawa.

"Padahalkan Marsya kangennya ama Tante Elsa sama Om Adrian tau, eh yang dateng duluan malah mereka, Yah, males banget kan, Yah?" kataku yang dihadiahi tatapan-tatapan sinis yang sangat kompak dari Kak Ria dan Kak Rian.

"Yaudah abis makan kita pulang yok, Ri, biarin aja tuh Marsya, sendirian." kata Kak Rian. Aku tertawa, begitu juga dengan mama dan ayahku. Sementara Kak Ria membela kembarannya. Tumben mereka akrab.

"Yaudah gih sana pulang." kataku lalu memeletkan lidahku pada mereka berdua.

"Ya, entarlah makan dulu." kata Kak Rian lagi. Yang spontan meledakkan tawa semua orang yang ada di ruangan ini.

Beginilah sikap asliku. Alasan dari sifat jutekku selama ini hanya karena aku ingin menjaga jarak dengan teman-temanku, agar mereka tak bisa masuk dalam zona pribadiku. Cukup keluargaku yang tahu bagaimana kemanjaanku.

Aku takut terluka dan aku takut kecewa lagi. Untuk menghindari itu semua aku selalu meyakinkan pada diriku sendiri untuk tidak berteman dengan hati.

Kita memang tidak boleh mendahului takdir, namun taka da salahnya kan untuk berjaga-jaga? Biarlah segalanya terjadi begini adanya.