Hai, namaku Marsya Meiliana. Jujur menurutku nama belakangku sedikit sulit di ucapkan. Namun apa dayaku, nama itu adalah pemberian orangtuaku. Oh iya, aku bukan jelmaan dari tokoh kartun Marsya and The Bear, Aku The Real Marsya, ya walaupun keimutan kami sama, tetapi tetap saja aku lebih unggul dalam hal kecantikan, kecerdasan, dan lain-lain. Katakanlah aku terlalu percaya diri namun sayangnya itulah yang terjadi.
Aku masih kelas 9 SMP. Dan apa kau tau apa artinya itu? Yap, aku akan segera merasakan indahnya masa putih abu-abu. Aku sangat tidak sabar menunggu hal itu terjadi. Meski sebenarnya di sinipun hari-hariku sudah sangat bahagia karena aku memiliki 2 orang istimewa di sekolah, tetap saja aku ingin mencoba hal baru. Dua orang istimewa itu adalah sahabat dan pacarku tentun. Nama sahabatku adalah Melody Margareta dan pacarku tercinta bernama Rajendra Putra Prawira.
Kalian tau apa itu love at the first sight? Aku yakin kalian pasti tahu. Nah, bisa dikatakan aku koban dari kalimat itu. Aku mencintai Jendra pada pandangan pertama. Hanya Jendraku yang mampu membuat jantungku berdegup kencang pada saat aku pertama menatapnya. Hanya Jendraku yang mampu membuatku terbang mengudara. Hanya Jendraku yang mampu membuatku terus melakukan sport jantung setiap harinya. Hanya dia yang mampu mengendalikanku untuk terus memikirkannya. Hanya Jendra.. Oh, Stop it! Stop it! Novelku akan berakhir berisi kekaguman dan rasa cintaku pada Jendra bila tak di hentikan.
"Sya, kata aku ni ya, Jendra itu bukan cowok baik-baik. Percaya deh sama aku, aku kemarin liat dia jalan sama cewe yang lain lagi." kata Melody.
Aku memandangnya kesal. Beberapa hari belakangan ini dia terus-terusan menyebut Jendra sebagai pria tidak baik. Alasannya karena dia sering melihat Jendra jalan dengan perempuan yang berbeda-beda.
"Enggak mungkinlah Mel, kamu kenapa si akhir-akhir ini jadi begini? Kayaknya gak seneng banget kalo aku pacaran ama Jendra?" kataku, sambil mengerucutkan bibir.
"Kamu harus percaya sama aku Sya, aku gak mau kamu sakit nantinya," aku mengerti apa yang dirasakan oleh Melody, dia hanya mencemaskan aku, dia tidak mau melihatku sakit. Karena dilihat dari pengalaman, dia jauh berpengalaman soal laki-laki dibandingkan aku. Yups, bisa di bilang dia seorang Playgirl.
"Enggak kok, aku gak bakalan ngerasain sakit, kamu mungkin cuma salah liat, dan bisa jadi kalo dia lagi jalan sama sepupunya kan?" kataku.
"Kamu polos banget si Sya, jadi bingung aku." katanya. Aku memeluknya seperti anak kecil, lalu kamipun tertawa.
***
"Hallo, My Honey!" sapa Jendra. Orang yang selalu aku tunggu di kelas saat istirahat datang.
Sejak kami jadian dulu dia selalu bilang 'tunggu aku di kelas setiap jam istirahat! Jangan ke kantin duluan!' so sweet banget kan dia? Dia sangat ahli membuatku meleleh seperti lilin.
"Hai!" kataku balik menyapanya, dengan mata yang aku rasa berbinar-binar. Aku jadi bingung sendiri mengapa dia selalu mampu membuat aku tergila-gila padanya. Oh, My Perfect Jendra!
���Oh, jadi Marsya doang yang disapa? Gue enggak?" kata Melody, sambil mengerucutkan bibir. Pura-pura kesal.
"Jangan Bee, ntar dia PHO-in aku." kataku bercanda. O iya aku melupakan sesuatu. Merusak hubungan orang adalah hobby dari Melody, jadi tak jarang cewek-cewek di sekolahku membencinya, namun aku rasa dia tak pernah menanggapinya. Dan aku salut kepadanya. Dan aku percaya padanya, dia tidak akan mungkin melakukan itu padaku.
"Hahaha, Biarin deh Honey, biarin aja dia lagi jadi jones, jadi gak ada yang nyapa." kata Jendra, aku ikut-ikutan menertawakan Melody yang semakin mengerucutkan bibirnya seperti biasanya setiap dia kesal.
"Tau gitu gak usah!" kata Melody, pura-pura marah.
Melihat gaya Melody berbicara pada Jendra membuatku melayang kepada suatu rasa curiga. Akhir-akhir ini Melody dan Jendra semakin dekat. Aku sering menepis perasaan ini karena merasa kalau aku hanya sedang cemburu buta. Semoga saja seperti itu adanyya.
"Jangan ngambek-ngambek gitu dong, sini-sini-sini gue minta maaf sini." kata Jendra menghampiri Melody dan mengusap kepalanya.
Oh No! Kenapa hati aku panas ya?
Tidak! Tidak! Tidak boleh begini. Aku tahu Jendra dan Melody hanya bercanda, dan mungkin mereka tidak menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Akupun menepis prasangka-prasangka yang ada di kepalaku. Kini untuk menyembunyikan rasa kesalku, aku hanya bisa memaksakan diri untuk tersenyum.
Lagi-lagi aku merasa Jendra lebih dekat dengan Melody dibanding aku. Aku harap ini hanya perasaanku. Semoga saja.
Seperti saat ini Jendra malah bercanda gurau dengan Melody tanpa memberiku kesempatan untuk ikut di dalam obrolan mereka. Mengapa semuanya jadi begini?
"Lo tau gak si Jen, masa gue kemaren di godain sama kakek-kakek," kata Melody, masih melanjutkan cerita asyiknya.
Aku diam saja mendengarkan.
"Terus-terus lo godain balik gak?" tanya Jendra, yang dihadiahi timpukan oleh Melody, aku hanya bisa memandang sinis kepada mereka. Hatiku panas! Namun, diantara keduanya tidak ada yang peka terhadap perasaanku.
Menyebalkan sekali.
"Eh, aku ke kamar mandi dulu ya." kataku.
Aku sudah tidak tahan melihat tingkah mereka. Hatiku benar-benar panas. Aku tahu mereka hanya bercanda jadi daripada aku harus marah-marah pada mereka, aku pergi saja.
"iya." jawab mereka kompak.
Ecieee! Mereka hanya menghentikan aksinya sebentar setelah aku sudah lumayan jauh merekapun melanjutkan aksi mereka dan Jendra tertawa lepas. Hariku miris, sakit, dan dongkol.
***
Sepulang sekolah aku melihat Jendra berjalan untuk menghampiriku di kelas. Aku tahu dia ingin mengajakku pulang bersama. Karena memang itu kebiasaan yang dilakukannya setiap hari. Di kelasku sudah sepi, Melody juga sudah berpamitan pulang padaku. Padahal, biasanya dia selalu menungguku sampai Jendra datang. Ini aneh sekali, ah tapi mungkin dia sedang buru-buru.
"Meili, maaf aku gak bisa anter kamu pulang hari ini. Aku disuruh langsung latihan sama Kak Robby buat tanding besok." katanya, dengan wajah tampak gusar seperti orang yang sedang berbohong. Kak Robby adalah alumni yang sudah menyandang sebagai pelatih Futsal Cowok di sekolahku.
Ada hal lain yang aku lupa ceritakan, Jendra selalu memanggilku dengan sebutan Meili, dan tidak pernah memanggilku dengan Marsya seperti yang lainnya. Menurut pengakuannya saat aku tanya, alasannya karena dia menyukai namaku itu, dan terkesan lebih manis (masih menurutnya).
Mengingat itu, hatiku kian menghangat. Mudah betul rasanya hatiku luluh padanya.
"Oh yaudah gakpapa, lagian aku lagi buru-buru kok, Bee, tadi aku disuruh pulang cepet sama mama." kataku, sambil tersenyum. Namun rasanya aneh saat dia beralasan seperti itu. Biasanya saat dia sedang ada ekskul seperti ini, dia pasti meminta izin kepada Kak Robby hanya untuk mengantarku pulang, lalu kembali lagi ke sekolah untuk melanjutkan kegiatannya.