Tiga hal yang gue suka tentang Delila adalah senyumnya yang mampu mendesirkan hati gue, matanya yang nyaris tertutup setiap kali ketawa denger joke gue nggak peduli seberapa garingnya joke itu buat orang lain, dan suara manjanya yang selalu sukses ngebuat gue nurutin seluruh permintaan dia. Dia adalah Delila, gadis pertama yang mampu buat gue bertahan jadi gebetannya lebih dari enam bulan. Ini jadi rekor sendiri buat gue karena biasanya gadis lain nggak ada yang nggak bikin gue bosen mandanginnya setelah dua bulan. Inilah hebatnya Delila, mungkin dia bisa buat gue jadi setia.
Tapi sayangnya, diluar keistimewaannya Delila, ada juga tiga hal yang nggak dia berikan ke gue. Ironisnya, tiga hal ini sangat krusial bagi perkembangan hubungan kami kalau gue mau penuhin salah satu resolusi tahun baru gue, yaitu jadi pacar Delila. Tiga hal yang nggak dia kasih ke gue adalah kesempatan untuk dipandang sebagai lelaki bukannya abang, rona pipinya yang selalu gue lihat saat dia bareng pacarnya, dan waktu buat ungkapin perasaan gue.
Trust me man, di-brotherzone-in lebih parah dari pada di-friendzone-in. It's worse.
Kenapa Delila nggak bisa lihat gue lebih? Capek batin rasanya denger dia jawab ucapan "gue sayang sama lo" dari gue dengan jawaban "gue juga sayang sama lo" tapi dengan makna yang berbeda. Jauh beda. Gue lihat dia sebagai wanita, utuh dari anatomi sampai psikologi, tapi di mata dia, gue akan selalu jadi Rendra, mantan temen SMA yang dijadikannya "abang" sejak jadi teman sebangku di kelas sebelas.
But tell me, did you really think that was fair for me?
***
Gue masih sibuk meriksa karya tulis adek kelas di ekskul ketika hape gue bunyi dengan dering panggilan masuk. Dengan enteng tanpa ngalihin pandangan dari halaman KTI ke hape atau muka grogi dua orang adek cewek yang takut kena semprot gue karena tolol bener salah berulang-ulang di bagian yang sama, gue angkat panggilan yang masuk. Tapi seketika gue nggak lagi merhatiin halaman di depan gue pas denger suara aneh di ujung sambungan telepon. Baru saat itu gue ngejauhin hape dari telinga buat mastiin siapa yang nelpon gue.
"Lil?" gue manggil orang yang nelpon gue tapi suara aneh itu lagi yang ngejawab gue. "Lila!" panggil gue lagi, lebih keras dan semakin panik. Suara aneh diujung sambungan juga semakin keras. "Lila, lo kenapa?"
Jilid KTI di tangan gue langsung gue taruh gitu aja di meja, gue berdiri dan berjalan keluar ruangan. Delila masih nggak ngejawab pertanyaan gue dan suara aneh itu kedengeran berkali-kali. Gue jalan semakin nggak tentu arah.
"Bang Ren.." suara Delila parau. Shit. Dia nangis.
"Lo dimana?" desak gue. Suara aneh itu—isakan Delila, malah yang menjawab pertanyaan gue lagi. Dia masih terus nangis tanpa jawab gue. Gue sudah ada bertanya lagi pas dia tiba-tiba menjawab.
Masih dengan suara parau yang sama, dia bilang, "Gue di kafe deket sekolah."
Hanya ada satu kafe yang dibuka deket sekolah gue, jaraknya nggak terlalu jauh dan udah jadi langganan anak sekolah gue kalo mau nongkrong. Setahu gue Delila emang sering kesana bareng teman-teman atau pacarnya. Tanpa ba-bi-bu gue matiin sambungan telepon dan langsung balik ke ruangan ekskul buat ambil tas—sebodo amat dengan dua adek kelas gue yang cuma diem pas gue pamit pergi, sama sekali belum kelar ngoreksi karya tulis mereka. Yaelah kayak gue nggak tahu dalem hati mereka girang lolos dari gue hari ini.
Sialnya hari ini gue nggak bawa motor. Si putih—panggilan sayang gue buat motor ninja putih gue, masuk bengkel setelah nabrak pohon jambu demi putar balik menghindari razia polisi. Bukan gue. Sekali lagi gue tekankan, bukan gue yang melakukan ketololan nista macem itu. Cecunguk itu nggak lain dan nggak bukan adalah—gue rada nggak ikhlas ngakuinnya—adek kandung gue sendiri. Dia minjem motor gue buat pergi main futsal bareng temennya. Pulang-pulang motor gue udah bonyok dan si cecunguk satu itu cuma ngasih kertas tilang dengan muka kayak kucing pejantan peliharaan nyokap gue yang lihat kucing tetangga idamannya disetubuhi kucing jalanan yang suka keliaran ngeong-ngeong di taman komplek. Kalau nggak ingat nyokap gue sayang banget sama dia, gue udah mengutuk hari dia dilahirkan sebagai adek gue.
Nunggu mikrolet buat sampai ke kafe bakal lama dan gue udah terlalu panik buat disuruh nunggu di pinggir jalan, jadi gue lari sekuat tenaga dari gerbang sekolah ke kafe tempat Delila nangis sesungukan di telepon. Nggak peduli jaraknya mampu bikin betis gue nangis-nangis pas pulang nanti.
Gue langsung lihat Delila begitu gue sampai di kafe karena dia duduk di kursi ruangan outdoor. Dia nunduk tapi setelah hampir tiap hari mandangin dia duduk disamping gue, gue bisa dengan cepat ngenalin dia. Gue panggil dia dan begitu dia mendongak dengar suara gue—shit, man—gue bisa lihat mukanya kacau jelas banget abis nangis. Kacau dalam artian, hidung dan mata merah serta muka basah gara-gara airmata.
Sedetik gue lihat muka lega dia. Serius man, cuma sedetik, soalnya abis itu tiba-tiba bibir Delila melengkung makin kebawah dan dia mulai nangis lagi. Gue—yang awalnya udah memperlambat langkah pas lihat keberadaan dia—seketika kaget dan buru-buru mempercepat langkah gue lagi sampai berhenti di samping meja Delila dengan napas ngos-ngosan dan kemeja basah keringat gara-gara lari tadi. Dia masih membenamkan wajah dia ke kedua telapak tangan, pundaknya getar dan suara aneh yang tadi gue denger di telepon sekarang kembali terdengar.
"Lil, kenapa lo kayak gini?" gue pegang pundak Delila, berusaha nenangin dia dan buat dia mau nengok ke gue. Tapi seperti yang sudah-sudah, gue gagal. Gue dikacangin.
Peribahasa "Airmata musuh pria" itu nggak salah. Contohnya gue, gue nggak suka lihat perempuan nangis. Bukan karena muka mereka jadi kacau, tapi lebih karena efek airmata perempuan yang bikin otak gue jadi bego. Ini bukan pertama kalinya Delila nangis di depan gue, tapi efek lumpuh otaknya sama kayak pertama kali gue lihat dia nangis. Gue jadi nggak tahu musti ngapain, dan gue nggak suka apa yang gue rasain. Lihat Delila nangis bikin kayak ada api di dada gue, rasanya bukan cuma sakit tapi juga ada gemuruh buat ngehajar seseorang detik itu juga. Gue merasa lemah sekaligus defensif disaat yang sama.
Man, perempuan satu ini bakal jadi penyebab kejatuhan gue.
"Lil, look at me." Dia nggak juga respon. "Please.."
Kata "please" selalu berhasil buat bikin Delila menatap gue. Gue nggak tahu sejak kapan atau kenapa, tapi setiap gue bilang "please", Delila pasti bakal noleh ke gue. Salah satu momen itu adalah saat ini, akhirnya Delila menoleh pada gue.
Gue senyum lemah. Bukan sengaja, tapi selalu cuma ini yang bisa gue lakuin setiap lihat kondisi dia begini. "Ayo pulang, gue anterin. Nanti lo bisa cerita semuanya sama gue." Gue tarik dia supaya berdiri, dia nggak perotes. Gue ambil tas dan kunci motor punya Delila yang ditaro di atas meja lalu gandeng tangannya ke parkiran kafe. Tangan Delila dingin tapi dia balas genggaman gue erat dan dalam hati gue nggak berhenti mengeluh penuh ironi,
Tuhan, kenapa hanya disaat tersedih dalam hidupnya Kau berikan aku sedikit kebahagiaan?
Gue pakein helm ke Delila sementara gue pake helm kecil cadangan yang selalu dia bawa di jok belakangnya, lalu mengendari motornya meninggalkan kafe tongkrongan menuju rumah Delila. Sepanjang perjalanan gue berusaha mengusir kekecewaan pada diri gue sendiri karena berani-beraninya sempet bahagia saat Delila justru nangis karena hal yang gue belum tahu alasannya.