"Sakit, Bang Ren.. sakit.."
"Iya, Lil, sabar ya. Tarik napas, Lil, berjuang buat Dedek."
Gue berlari di sebelah perawat yang mendorong brankar untuk Delila. Belum pernah gue sepanik ini sepanjang hidup gue. Dimulai dari Delila yang nangis waktu liat ketuban dia pecah, perjalanan ke rumah sakit yang menguras kesabaran dan nyaris bikin gue serangan jantung, dan dilanjutin dengan tangisan yang makin keras pas dia ngerasa perutnya kontraksi. Pemeriksaan terakhir dari dokter emang ngelarang Delila ngelahirin normal karena ada masalah dengan posisi bayinya tapi gue nggak pernah nyangka dia bakal kesakitan kayak gini.
"Anda nggak bisa masuk, Pak." Dokter perempuan yang gue kenal memang ngurus kehamilan Delila nahan gue pas mau masuk ke ruang operasi.
"Tapi, Dok—"
"Aaakh!" jeritan Delila memotong kata-kata gue. Dua orang perawat yang bantu gue bawa Delila dari pintu utama rumah sakit terus dorong brankar masuk ke ruang operasi. Gue sekelebat masih lihat wajah pucat dan kesakitan Delila sebelum pintu ketutup.
"Kami akan berusaha sebaiknya, Pak. Mohon Bapak tunggu disini dan berdoa untuk ibu dan bayinya." Dokter itu lalu ninggalin gue dan masuk ke ruang operasi.
Gue jatuh dengan kedua lutut di lantai di depan pintu ruang operasi. Jantung gue berdetak kencang, memukul-mukul dada gue dari dalam sampai nyeri banget rasanya. Tangan gue gemetaran. Saat itu juga gue sadar kalau gue ketakutan.
Gue, Rendra Wistara, takut kehilangan dua orang terpenting dalam hidup gue.
Tuhan, aku tidak pernah meminta banyak sebelumnya, tapi aku mohon kali ini untuk keselamatan mereka. Cukup mereka berdua. Aku tidak akan minta yang lain.
***
Satu setengah jam gue sendirian di depan pintu operasi, duduk di kursi dingin dengan kedua tangan saling menggenggam erat, berdoa dengan bibir gemetar. Nama Delila terus gue lantunkan di doa panjang gue untuk keselamatan dia dan bayi di kandungannya. Hanya untuk mereka berdua.
Ketika dokter keluar dari ruang operasi, gue nyaris jatuh saat bangkit dari kursi.
"Gimana, Dok? Delila—bayinya?"
Agak sulit nebak ekspresi dokter itu karena terhalang masker tapi gue denger jelas dia bilang. "Bayinya sehat, perempuan. Semuanya lengkap."
Rasa lega membanjiri tubuh gue. "Ibunya, Dok?"
Gerak-gerik aneh dokter perempuan itu tidak terbaca oleh gue sebelumnya. Baru saat dia bicara lagi, gue sadar ada yang nggak beres. "Mohon maaf, Pak. Ibu Delila mengalami pendarahan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Ibu Delila sudah tidak tertolong. Saya turut berduka cita, Pak. "
Kalimat itu menghancurkan dunia gue seketika.
***
Bagaimana harusnya mencintai itu?
Melingkup lembut, menjaga tanpa mengekang, mengerti tanpa bicara, memberi tanpa meminta? Atau membelit kuat untuk terus diperjuangkan, agar bisa terus bersama, agar terus dekat, agar terus memiliki selamanya?
Sembilan tahun lalu, gadis itu seenaknya masuk ke hidup gue, mengalihkan dunia gue hanya dengan satu senyuman manisnya. Nggak ada yang memperingatkan gue saat itu, kalau senyum dari seorang wanita yang mencuri napas gue bisa jadi penyebab dari banyak sesak perih, airmata yang tumpah karena tak terbendung, rasa sakit yang berakar kuat di dada, dan kesunyian yang membunuh pelan-pelan sepanjang malam. Nggak ada yang menarik gue dari ujung tebing, hingga gue baru sadar saat gue udah jatuh terlalu jauh.
Wanita itu adalah makhluk paling kejam sejagad raya. Sebegitu rendahkah gue di mata dia sampai dia bahkan nggak pernah kasih gue kesempatan untuk mencintai dia dengan benar. Nggak pernah mengungkapkan cinta gue dan menunjukannya dengan benar. Sekarang, saat gue baru akan melangkah untuk mendobrak dinding batas yang selama ini terlalu takut gue hancurkan, sudah nggak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki yang lalu, nggak ada tangannya yang bisa gue ngenggam, tubuh untuk gue peluk, mata untuk gue tatap, dan hati untuk gue menangkan. Semuanya dingin. Suram. Kelabu menyesakkan.
Lelucon ini terlalu mengerikan. Jagad raya mengolok-ngolok gue kelewatan. Harus sekejam ini cara mereka biar gue tunduk, meringkuk bungkuk, mengaku kalah? Tidak pernah menarik gue terlalu tinggi tapi selalu menghempaskan gue puluhan kali lebih dalam dari yang udah gue capai.
Gue tertunduk bisu. Kelabu menggantung rendah, memenuhi semua dengan warnanya. Hancur sudah semua. Pecah, terpencar ke segala arah. Entah kapan bisa kembali semula. Cuma nyawa yang melekat di badan. Sisanya hilang nggak terlacak.
Delila tersayang, apa memang kita nggak pernah dimaksudkan untuk bersama? Apa aku terlalu menentang takdir untuk berusaha menggapai kamu? Hingga akhirnya jagad raya yang menghukumku. Menahanku di tempat dan menarikmu jauh ke tempat yang tidak bisa aku kejar. Apa aku yang selama ini terlalu buta untuk melihat tanda-tandanya?