Tanah basah jejak hujan siang tadi nggak menyurutkan langkah anak kecil yang menggenggam tangan gue menyusuri pemakaman di kota Bogor menuju sebuah makam berkeramik putih yang familier. Udara dingin seolah nggak ngaruh ke semangat anak ini buat narik gue untuk ketemu ibunya. Gue nggak bisa nahan senyum gue lihat dia menyapa riang dan meletakkan karangan bunga yang dia paksa untuk bawa sendiri, di depan makam bernuliskan nama wanita yang nggak akan pernah gue lupakan.
Delila Afriani Supraja
Lahir : 09 Januari 1983
Wafat : 23 November 2009
Tujuh tahun lalu, Delila yang meninggal setelah melahirkan putrinya dimakamkan disini. Hanya sedikit kenalan dan penduduk sekitar yang mengantarkan Delila ke kuburnya. Keluarga Delila tidak pernah tahu keberadaan Delila sejak dia kabur dari rumah. Ketika menetap di villa di Bogor pun dia minta gue bersumpah nggak kasih tahu keluarganya. Dan sampai sekarang nggak ada satupun anggota keluarga Delila yang tahu tentang kematian Delila atau anaknya yang sudah terlahir ke dunia. Ini adalah rahasia yang akan selalu gue simpan rapat-rapat.
Kematian Delila merupakan pukulan berat buat gue. Beberapa hari gue nggak bisa ngapa-ngapain, semua memori tentang Delila berputar di kepala gue lebih parah dibandingkan pas dia hilang dulu. Gue nyaris gila dan hilang harapan kalau aja nggak ada malaikat kecil yang sekarang asik melakukan monolog di depan makam di samping gue. Kalau bukan karena dia, gue nggak tahu lagi bakal kayak gimana hidup gue. Sejak hari itu sampai sekarang, malaikat inilah alasan gue untuk hidup.
Nggak lama setelah Delila meninggal, gue memutuskan buat nerima tawaran perusahaan untuk menempatkan gue di kantor pusat yang berada di Inggris. Gue butuh suasana baru—awal yang baru. Tinggal di Indonesia kerap bikin gue sesak, terlalu banyak kenangan bersama Delila menghantui gue. Semua mengingatkan gue pada wanita itu dan rasa sakit kehilangan Delila kembali menyerang gue. Jadi gue memboyong malaikat kecil gue ke Inggris. Memulai kehidupan baru disana bersama-sama.
Kami cuma pernah balik ke Indonesia dua kali—termasuk hari ini. Kali pertama adalah dua tahun lalu, saat gue pikir gue sudah cukup kuat untuk mengenalkan malaikat gue pada ibunya tanpa harus kembali hancur berkeping-keping di hadapan pembaringan terakhir wanita yang gue cintai lebih dari satu dekade. Wanita yang mungkin selamanya nggak bakal terganti dalam hidup gue. Dua tahun lalu, gue melawan masa lalu dan semua rasa sakit gue demi malaikat kecil yang mulai bertanya, 'Where is my Mum, Dad?'.
"... and Daddy said we will go there again next winter. Right, Daddy?" malaikat gue mengerling ke gue untuk melengkapi ceritanya. Kebiasaannya sejak dulu, dia selalu mengajak ngobrol foto Delila yang gue bingkai di rumah kami di Inggris dan sejak tadi dia sudah menceritakan kegiatan-kegiatannya seolah Delila berada disini dan benar-benar mendengar ceritanya. Malaikat kesayangan gue, selalu penuh cinta untuk ditebar ke dunia.
Gue menarik kepala malaikat gue itu dan mengecup keningnya lembut. "Of course, sweetheart. We will go to wherever place you wanna go."
Malaikat yang gue beri nama Prisha Delila Wistara ini adalah hadiah terindah Tuhan untuk gue. Benar, gue ngambil nama Delila untuk disematkan di nama malaikat gue untuk mengenang ibunya. Alasannya agak melankolis, gue hanya berharap dengan malaikat gue juga menyandang nama ibunya, seenggaknya gue merasa Delila nggak benar-benar pergi ninggalin kami. Dia selalu ada. Seperti namanya yang melekat di nama putrinya. Dan sejauh ini Prisha benar-benar mengingatkan gue pada Delila. Sikap dan sifat keduanya mirip. Selain itu, Prisha juga mewarisi senyum Delila. Hampir setiap Prisha nunjukin senyumnya, gue harus menahan kerinduan gue pada wanita lain dengan senyum yang sama.
"I finished my story, Daddy. Now your turn!" Prisha menyandarkan kepalanya di pundak gue. Kami berdua duduk disamping pusara Delila, sama-sama mencoba melepas kerinduan pada wanita yang kami cintai. Dibandingkan makam lainnya, makam Delila termasuk paling bersih dari rumput-rumput liar. Gue memang menyewa orang untuk merawat makam Delila karena hanya sedikit orang yang tahu tempat wanita ini dimakamkan.
"Hai, Lila, apa kabar?" gue bahkan masih menanyakan ini setiap gue ke makam Delila. "Putri kamu udah laporan semua kegiatan kami di Manchester dan liburan kami di Wina jadi aku sedikit kehabisan bahan cerita," gue tertawa kecil. Prisha mengerucutkan bibirnya, dia kurang bisa berbahasa Indonesia, salah gue emang yang jarang ngajak dia bicara pakai bahasa Indonesia. "Aku rindu kamu. Prisha makin mirip kamu, apalagi sifat manjanya. Aku kadang ngebayangin kalau kamu ada bersama kami mungkin aku akan kewalahan gara-gara kalian. Tapi seenggaknya, aku akan sangat bahagia. Dan maaf karena baru bisa datang hari ini. Pekerjaanku dan jadwal sekolah Prisha agak sulit disinkronkan tapi aku langsung pesan tiket begitu ada waktu kosong."
Banyak hal yang sebenarnya ingin gue sampaikan pada Delila. Banyak permintaan maaf yang menggantung di bibir gue dan tangisan yang nggak bisa gue tunjukkan di depan Prisha. Doa-doa yang hanya bisa gue panjatkan secara pribadi. Gue ingin Prisha hidup bahagia selamanya, tanpa memikirkan latar belakangnya. Dia nggak perlu tahu semua keburukan orangtuanya ataupun terbebani karenanya. Cukup dia tahu sampai saat ini pun, hanya satu wanita yang namanya berada di hati gue. Nama yang sama yang terukir di batu nisan di depan gue saat ini. Nama ibunya yang juga sangat mencintai dia.
Dia dicintai, cukup itu saja yang harus Prisha tahu.
"Selamat ulang tahun, Delila sayang," kata gue akhirnya. "Aku dan Prisha sayang sekali pada kamu. Kamu tidak perlu khawatir pada kami. Aku akan menjaga Prisha dan memastikan semua yang terbaik untuk dia dan kebahagiannya. Aku mohon kamu juga bantu aku menjaga dia dari sana. I love you endlessly and I always miss you, My Delila."
Hari sudah hampir sore saat gue dan Prisha keluar dari pemakaman. Prisha menggenggam tangan gue erat, langkahnya mengayun seolah sedang menari menuju mobil gue yang terparkir diluar area pemakaman.
"Are we going to Grandma's house, Daddy?" tanyanya antusias.
Kami baru mendarat kemarin dan menginap di apartemen gue, belum sempat mengabari keluarga gue di Jakarta kalau gue pulang bersama Prisha. Nggak kebayang betapa hebohnya Mama gue nanti lihat malaikat kecil ini muncul di depan pintu rumahnya. Belum lagi omelan buat gue karena gue nggak ngabarin sama sekali kepulangan kami kali ini.
Prisha duduk disamping gue dan gue mencondongkan tubuh untuk bantu dia pasang sabuk pengaman. Mata hitam Prisha penuh binar menunggu jawaban gue. Rambut panjang hitam ikalnya bergoyang searah dengan gerakan tubuhnya, sedikit menyulitkan gue yang ingin memasang sabuk pengaman.
"Prisha, behave honey."
"Are we going to Grandma's house?" dia ulang pertanyaannya.
Gue mendesah lalu menatap malaikat gue lekat.
Matanya, rambutnya, bahkan bentuk wajahnya. Meski sifat dan sikap Prisha kebanyakan mewarisi sifat dan sikap Delila namun rupa Prisha kebanyakan adalah duplikat gue. Kombinasi sempurna, malaikat kami.
"Yes, honey. We are." []