Chereads / Delilaku / Chapter 4 - Akar Kita

Chapter 4 - Akar Kita

Terakhir kali gue melihat Delila rasanya sudah bertahun-tahun lalu. Mencari-cari dia nggak semudah yang gue kira. Gue menghubungi teman-teman lama gue lagi, minta bantuan, di mana pun perempuan satu itu berada saat ini, harus ketemu. Harus dalam keadaan hidup dan sehat. Walau pastinya nggak baik-baik aja.

Sejak mulai mencari Delila, gue terbiasa keingat sama semua kenangan kami di masa lalu. Delila dari dulu selalu cantik tapi kayak kebanyakan perempuan dia selalu sensi masalah berat badan. Delila emang bukan tipe perempuan kurus, sejak pertama gue ketemu dia badannya udah berisi. Gue nyebutnya proporsional, dia bilangnya gemuk. Padahal kagak. Seberapa pun dia berusaha buat kurus badannya bakal balik lagi ke bentuk semula sampai akhirnya Delila nyerah. Nyerah selama sebulan sebelum bulan berikutnya mulai diet lagi. Cuma buat gagal lagi. Kalau udah begitu, gue yang kena apes harus traktir dia somai di kantin sambil dengerin dia ngomel.

Delila selalu begitu. Pipi chubby dan badan montok.

Dan sekarang semua itu tinggal potret masa lalu.

Beban yang menghimpit dada gue selama tiga minggu lebih nyari Delila makin terasa berat, hati gue mencelos, dan tubuh gue mendadak berasa nggak bertenaga. Oh, Delila...

"Lil," suara gue bergetar untuk manggil namanya.

Mata perempuan itu yang dulu selalu membuat gue jatuh semakin dalam, kini kosong. Binar matanya hilang. Belum pernah gue lihat dia sekurus ini sebelumnya padahal kalau cerita Ara benar, ada janin yang sekarang tumbuh di perutnya. Rona wajah yang biasa terlihat di wajah Delila nggak bisa gue temukan, malah wajahnya kusam dan rambutnya banyak yang mencuat keluar dari kunciran yang gue yakin cuma asal-asalan dia ikat.

Delila kacau. Perempuan kesayangan gue itu sedih dan menderita.

Gue raih tangannya. "Pulang bareng gue ya, Lil?" ajak gue lembut.

Alih-alih anggukan atau gelengan, yang gue dapat malah Delila yang nangis. Pundaknya yang sudah jatuh saat gue lihat dia buka pintu kontrakan kecil tempatnya melarikan diri selama ini berguncang bersamaan dengan isakan. Refleks, gue tarik dia ke pulukan gue, melilit erat tubuhnya dengan kedua tangan gue. Gue rindu dia. Menjauh dari dia setelah tahu dia bakal bertunangan justru membawa kami pada kondisi mengenaskan begini. Seandainya waktu bisa gue putar...

"Gue.. gue nggak—hiks—gue nggak mau... pulang.. hiks." Tangan Delila di dada gue meremas kemeja yang gue pakai. "Gue—gue gak sanggup.."

Gue melepas pelukan kami lalu memegang kedua pundak Delila, maksa dia buat berhadapan sama gue. "Lila, kalo lo emang nggak mau pulang, gue nggak bakal bawa lo ke rumah lo. Tapi lo harus tetap ikut sama gue. Gue akan jaga lo. Ikut sama gue, ya?"

Tangis Delila makin keras. Dia sesengukan, menyandarkan keningnya di dada gue. "G—gue.. hiks—gue ha—hamil.."

"Gue tau." Delila mendongak, kaget. Sebisa mungkin gue kasih dia senyum gue, meski tipis. "Kita akan rawat sama-sama, Lil. Lo jangan takut, ya, kita laluin ini sama-sama. Lo enggak sendirian, ada gue di sini."

Masih dengan wajah yang belepotan airmata, Delila menatap gue dengan emosi bercampur aduk, lalu mengangguk dan membenamkan wajahnya di dada gue. Tangannya udah nggak ragu-ragu buat melingkar di punggung gue. Dia mendekap gue erat seolah gue bisa hilang kapan pun dan nggak akan balik lagi.

Sekali lagi gue lingkarin kedua tangan gue di tubuh Delila, mengecup puncak kepalanya kemudian menumpukan sebelah pipi gue disana.

Selamanya, Delila. Selama gue nggak akan pergi lagi.

***

"Masih ngambek?"

Gue mengaduk segelas susu di tangan gue lalu duduk disamping Delila. Di usia kandungannya yang kedelapan bulan, gue ngelarang dia banyak aktifitas. Kasihan campur ngeri gue lihat dia jalan-jalan dengan perutnya yang tergolong super gede. Tapi emang dasarnya keras kepala, si perempuan satu ini malah keluyuran ke taman teh dari siang sampai sore. Kalo enggak gue susulin mungkin dia lupa pulang.

Delila melirik gue kemudian melengos.

Masih ngambek, berarti.

"Nih, minum dulu. Si dedek butuh nutrisi." Gue menyodorkan gelas susu yang gue bawa. Dengan sikap ogah-ogahan Delila ngambil gelas susu dari tangan gue lalu meminumnya sampai tandas. Dia kemudian ngasih lagi gelasnya ke gue, masih dengan wajah yang nggak dihadapkan ke gue.

Nih perempuan ngambek tapi tetap ngegemesin.

Tahan, Ren.. santai.

Seperti yang biasa gue lakukan saat gue ngunjungin Delila di vila temen gue yang jadi tempat persembunyiannya setelah gue bawa dari kontrakan kecilnya dulu, gue narik sebelah kaki Delila ke atas pangkuan gue lalu mulai memijat. Gue pertama kali ngelakuin ini saat Delila ngeluh kakinya sering bengkak dan pegel sejak hamil. Gue yang saat itu nggak ngerti musti gimana langsung cari beberapa artikel tentang kehamilan di internet dan akhirnya dapet solusi dengan memijat kaki si ibu hamil.

Nggak ada satu pun diantara kami yang bicara. Gue sibuk mijitin kaki Delila dan Delila yang sibuk dengan semua alasan ngambeknya dia. Gue tahu Delila itu manja, tapi sejak hamil dia jadi jauh lebih manja dan makin hobi ngambek. Padahal gue cuma bisa nyamperin dia ke vila dua minggu sekali bahkan pernah cuma sebulan sekali dan itu pun gue besoknya harus udah balik lagi ke Jakarta. Harusnya sekarang kami punya quality time buat tukar kabar kek, ngobrol kek, bercanda-canda kayak dulu, atau apa gitu. Dari dulu kami nggak pernah kehabisan stok bahan pembicaraan atau agenda to do list buat bareng tapi sekarang lihat, jarang ketemu dan sekalinya ketemu dia malah mogok ngomong.

Selesai mijit kedua kaki Delila, gue meletakkan tangan gue di atas perut Delila. Untungnya dia nggak nolak.

"Dedek," ucap gue lembut. "Mama kamu jelek hari in—Adouw! Sakit, Lil!"

Protes gue dibalas dengan prototan mengerikan dari Delila. Gue ketawa.

"Oke, sorry." Gue berdeham lalu melayangkan mata gue ke perut besar Delila lagi. Serius deh, perutnya Delila itu gede banget sekarang. Gue nggak berani ngomong ke orangnya langsung, takut dia tersinggung dan ngusir gue malem-malem—gue nggak khawatir tanpa alasan, gue pernah komentar dia tambah gembukan sedikit aja gue dilempar pake talenan kayu dan hampir juga kena sabetan pisau yang waktu itu lagi dia pegang—tapi untuk ukuran wanita yang hamil bukan anak kembar perutnya Delila emang tergolong gede. "Dek, mama kamu cantiiiikkk banget hari ini." Gue lihat Delila mengangguk-angguk setuju. "Tapi boong."

"Bang Ren!"

"Ssst, La. Berisik banget sih ini udah malem."

"Lagian lo sih!"

"Astaga gue ngapain sih emangnya? Gue cuma mau ngobrol sama si dedek. Lo aja yang nyela mulu. Emaknya dari tadi gue ajak ngobrol nggak mau, nah ini gue mau ajak ngobrol anaknya malah disela mulu. Serba salah mulu Rendra. Bunuh aja, tenggelamin di rawa-rawa!"

Tawa Delila pecah. Gue mendengus meski diam-diam lega lihat dia akhirnya nggak nyuekin gue lagi.

"Kan, kan, malah ketawa lo." Gue pura-pura marah.

"Lagian mulut lo tuh ya.." Delila masih ketawa.

Gue diam-diam nyembunyiin senyum gue saat sekali lagi mencoba bicara pada janin yang tumbuh di dalam perut Delila. "Dek, mama kamu tadi sukses bikin Om jantungan. Pas Om dateng mama kamu malah ilang. Om cari kemana-mana dan kata Bi Harti dia jalan-jalan ke kebun teh. Bener-bener deh, Dek, mama kamu tuh ya nggak pernah sekali aja dengerin omongan Om. Udah tau hamil gede tapi hobinya masih aja keluyuran. Kalo dia capek kan kamu juga yang kasian, Dek."

Delila sama sekali nggak komentar apa-apa atas semua aduan gue, jadi gue lanjutin bicara. "Kalau dia jalan-jalan ditemenin orang lain sih nggak apa-apa tapi tadi dia pergi sendiri, Dek. Apa dia nggak mikir kalau tindakan dia itu bisa bikin kalian dalam bahaya?" gue diam sejenak. "Mama kamu tuh, kadang suka banget nyari masalah. Mangkanya Om nggak bisa berhenti cemas ke mama kamu. Kamu tolongin Om ya, Dek, kalau mama kamu mulai bertingkah lagi, tolong kamu hentiin. Bilang ke mama kamu kalau dia harus jaga diri dia, pastiin dia dan kamu aman, biar Om nggak jantungan lagi."

Tawa kecil Delila mengiringi akhir curhatan gue lalu tangannya terangkat, mencubit pipi gue. "Duh, si Om ganteng. Maafin mamanya dedek ya."

Gue cemberut. "Alay lo, Lil."

"Eh si kampret muncul." Delila menghela napas.

"Hush, Lil! Dedek denger!"

Delila cemberut.

Gue ketawa lalu menunduk untuk mencium perut Delila yang membuncit. Dalam hati gue merangkai doa untuk anak dalam kandungan Delila. Sesalah apa pun alasan kehadirannya, tapi dia tetap malaikat bagi gue dan Delila. Seperti ibunya, dia udah bawa kebahagiaan tersendiri untuk gue.

Sehat selalu, Dek, sampai kamu lahir ke dunia..