Chereads / Delilaku / Chapter 2 - Tahun-tahun Tanpa Musim Semi

Chapter 2 - Tahun-tahun Tanpa Musim Semi

"Happy birthday, Rendra!"

Gue senyum sambil ngebalas pelukan dan jabatan tangan teman-teman satu jurusan yang ngebuat kejutan ulangtahun di rumah gue. Sama sekali nggak kepikir sebelumnya oleh gue kalau alien-alien ini akan menunggu gue pulang dengan kue ulangtahun, pita-pita aneh, dan topi kerucut konyol di kepala mereka. Seringai di wajah mereka bahkan terlihat lebih konyol dari topi-topi bergambar badut itu. Tapi diatas itu semua, senyum gue yang paling lebar.

"Bang Ren!" satu seruan itu sedikit tenggelam dengan suara teman-teman gue yang nggak puas hanya dengan pelukan meremukan tulang tetapi juga ngasih gue ucapan selamat dengan teriakan di kuping, namun saking familier dan spesialnya, gue langsung menolehkan kepala buat ngelihat kedatangan si pemanggil.

Delila, cantik seperti biasa. Wajahnya cerah sekali saat nyaris berlari dan melompat ke pelukan gue. Pas. Dia benar-benar pas di pelukan gue.

"Happy birthday," dendangnya di telinga gue, dengan kedua lengan yang memeluk leher gue. Belum sempat gue bilang apa-apa, dia udah ngelepas pelukannya duluan. Matanya—masih tampak berbinar-binar—menatap gue seolah menunggu reaksi gue.

Kenapa lo nggak nunggunya sambil tetap di pelukan gue?

Gue berdeham, "Thanks. Lo kesini sendiri?" Delila bukan satu jurusan sama gue jadi gue sempet kaget lihat dia juga disini, gue juga nggak yakin dia kenal sama teman-teman satu jurusan gue karena dia bukan tipikal orang yang sering bersosialisasi sama orang-orang dari jurusan yang beda sama dia. Gue sempet kira gue salah denger.

Tapi dari sekian banyak orang yang kenal gue, cuma dia yang manggil gue "Bang Ren". Nama panggilan itu tercetus begitu aja di akhir semester kelas sebelas SMA. Delila seneng banget pas nemu nama panggilan yang dia bilang gue banget tapi gue justru melihat hari itu sebagai hari diresmikannya ke-brotherzone-an gue. Setiap denger nama panggilan itu bukan cuma kuping gue yang sakit, tapi hati gue juga. Nama panggilan itu kayak dijatuhinya hukuman mati buat gue. Like she told me, "This is your place. Special, but untouchable."

Yes, girl. Posisi gue sangat tidak tersentuh dari kepekaan lo.

Wajah Delila yang awalnya gue kira udah sangat cerah justru terlihat tambah cerah. Senyumnya makin lebar. "Gue bareng Alam."

Damn.

"Oh," gue berusaha menutupi kekecewaan gue. "Mana dia?"

Delila menoleh ke balik punggungnya, kepalanya celingak-celinguk. "Lho mana ya? Tadi dia di belakang gue deh. Tunggu bentar gue cari dia dulu, ya!"

Gue nggak sempet nahan Delila yang keburu ngacir, dengan jagonya menghindari teman-teman gue yang berdiri di sekitar kami dan menghilang gitu aja dari hadapan gue. Berani taruhan, Alam—pacar Delila yang baru setelah dia terakhir pacaran pas SMA dan diputusin di kafe deket sekolah—seperti pacar-pacar Delila sebelumnya, nggak ingin berada deket-deket dengan gue. Dulu Delila pernah kasih tahu gue, pacar dan mantan-mantannya merasa kalau gue seperti menyulitkan hubungan mereka dengan Delila. Gue nggak ramah, sering melontarkan ucapan menyebalkan, dan sialnya selalu ngerjain mereka.

Gue ingat waktu cerita itu Delila ketawa dan bilang ke gue kalo dia bilang ke pacarnya bahwa yang bikin gue kayak gitu adalah naluri keabangan gue dan tindakan gue yang suka ngerjain mereka adalah ujian buat ngeliat kesungguhan mereka.

Waktu itu gue cuma bisa natap dia yang ketawa. Gue fokus denger suara ketawa dia, berusaha mengalihkan perhatian dari rasa sakit yang tiba-tiba berdenyut di dada gue.

Hey, girl. Did you really that blind?

***

"Lepasin aja lah, Dra," adalah ucapan pertama Duta, salah satu sahabat gue di kampus waktu gue sama dia sama-sama nongkrong di kantin dalem kampus.

Gue kaget. Ini anak kagak ada hujan kagak ada apa tiba-tiba nyeletuk kayak begitu. "Maksud lo apaan?" tanya gue, pura-pura bego.

"Noh si adek-adek-an lo." Dia mengedikkan dagu ke arah Delila menghilang setelah tadi lari-lari lucu ngejar gue cuma buat ngancem agar gue nggak lupa nganter dia pulang. Dia kapok minggu lalu nunggu gue jemput malah gue tinggal main futsal sama teman-teman gue. Sumpah, waktu itu gue lupa dia minta jemput.

"Lo kira dia anjing liar suruh dilepas."

"Nggak usah pura-pura bego lo, Bego."

Gue ngakak, tapi kali ini buat nutupin rasa nggak nyaman gue. "Yayaya, apa kata lo aja."

"Udah berapa tahun lo nunggu dia? Empat? Lima? Tujuh?" tanya Duta songong. Mukanya mulai nyolot, nantangin gue.

Gue melengos. "Enam." Gue nggak bermaksud buat ngomong bisik-bisik tapi kadang kenyataan kalau gue udah selama itu berharap Delila lihat gue dengan kacamata yang beda terasa meruntuhkan rasa percaya diri gue. Shit, Nyet. Udah hampir enam tahun stuck ama perempuan nggak berperasaan itu.

"Enam!" Duta—si kampret—membeo dengan suara tinggi. "Apa hebatnya tuh cewek sih, Bro? udahlah tinggalin aja. Cari cewek lain! Banyak cewek lain diluar sana. Lo mau yang kayak gimana? Yang lebih seksi ada, lebih pintar? Ada! Lebih manis? Ada! Lebih kaya juga ada! Lo mau yang mirip Margot Robbie? ADA!"

Gue ngakak lagi, tapi tersenyum pahit setelah itu, "Mereka nggak kayak Lila."

Duta langsung mukul meja. Gue seketika waswas nih anak berubah gila. Di kantin kampus cui, nggak lucu banget kalo gue terlihat duduk bareng orang gila. "Itu, Bro! itu lo yang bego! Di otak lo, tuh cewek lo anggep segalanya. Buka mata lo," gue menatap gerakan kepalan tangan Duta yang terbuka menunjukkan telapak tangannya. "Ubah mindset lo. Dia nggak sempurna. Kalo lo belum dapetin dia sekarang, artinya lo harus cari yang lain. Ngelepasin inceran lo setelah bertahun-tahun emang nggak enak tapi lo nggak perlu gengsi. Harga diri lo masih ada. Mending mundur sekarang dari pada tuh cewek keburu injek-injek lo. Cewek kalo dikasih hati suka ngelunjak, Bro."

Gue biarkan Duta berorasi panjang, berkoar lebar-lebar, mulut megap-megap kayak ikan mas koki di akurarium adek gue pas SD, tapi enggak satu pun gue perhatikan. Gue lebih peduli sama orang-orang di sekitar kami yang mulai curi-curi panjang ke arah meja kami, saat itulah gue sadar suara Duta dan omongannya telah didengar seisi kantin.

Shit, man.