Badan gue pegal banget setelah lembur di kantor, pundak gue panas dan gue ngantuk. Gue kangen kasur. Tapi gue justru mengarahkan mobil gue ke rumah Delila. Ini gara-gara pas gue lagi di tengah-tengah meeting dengan atasan dan rekan divisi gue di kantor dia tiba-tiba nelpon, teriak-teriak heboh minta gue ke rumahnya saat itu juga. Gue bilang gue nggak bisa karena masih jam kantor dan dia bilang gue musti dateng setelah pulang kantor, tapi jam pulang gue malah molor gara-gara lembur. Gue udah telpon Delila lagi, atur janji ulang besok tapi dia ngotot gue harus ke rumah dia jam berapa pun gue pulang.
Dan apa lagi yang bisa gue lakukan? Gue nurut. Dateng ke rumah dia bersama seluruh pegal linu dan asam urat.
Rupanya Delila benar-benar megang kata-katanya. Gue bahkan bisa liat dia duduk di teras rumahnya buat nunggu gue. Dia langsung berdiri saat mobil gue masuk ke pekarangan rumahnya. Tumben banget.
Gue keluar dari mobil, berjalan lambat yang bukan karena disengaja tapi murni karena gue emang capek, dan melihat ada sedikit keanehan dari Delila. Dia kayak nahan diri sabar nunggu gue padahal dari mukanya gue tahu dia pengen buru-buru meluk gue. Ge-er? Emang bener kok bukannya gue ge-er.
Dan pikiran gue langsung jadi nyata saat Delila lompat meluk gue erat. "Bang Reeennn.." jeritnya girang dengan kepala yang dibenamkan di pundak gue. Gue bisa merasakan kebahagian memencar dari wajah Delila walaupun malam ini gelap.
"Hei, ada apa?" tanya gue, tangan gue melingkar sempurna di pinggang dia. Sumpah ini nyaman banget. Pegel linu sama asam urat terlupakan seketika.
"AKU DILAMAR ALAM!!"
***
Kadang gue lupa alasan selama ini gue selalu mengangkat tangan dan menekannya di dada, hanya untuk menahan sakit. Alasan gue selalu duduk di kafe sendirian sambil menatap hape, hanya untuk menunggu panggilan. Alasan gue berdiri di tengah-tengah pesta dengan mata yang menatap ke segala arah, hanya untuk melihat apa dia datang. Alasan gue selalu bisa menolak perempuan-perempuan yang hatinya terebut tanpa sadar, hanya untuk kecewa setelahnya. Kadang gue lupa, kalo seluruh masalah, kekecewaan tanpa akhir, dan sesak di dada gue selama bertahun-tahun hanya berpusat di satu nama. Satu orang yang mampu mencabik-cabik gue tanpa seujung kuku menyentuh kulit gue. Satu perempuan yang menari-nari di antara jemari gue tanpa pernah berhasil gue genggam.
"Lepasin ajalah, Dra,"
Lo pikir gue nggak mau?
"Tinggalin aja tuh cewek."
Otak gue udah bilang gitu ribuan kali dalam satu hari.
"Lo ngeharepin apa dari cewek kayak gitu? Move on, Bro!"
HELL! RATUSAN RIBU KALI UDAH GUE COBA!
Gelas vodka ditangan gue meluncur di udara, pecah berkeping-keping. Hancur lebur, bersama keping-keping hati gue yang jatuh menggema di lubang tergelap.
***
Dari semua panggilan yang pernah masuk ke hape gue, panggilan masuk di suatu siang panas pas meja gue lenggang setelah semua deadline kelar sehari sebelumnya adalah panggilan yang nggak akan pernah gue lupakan seumur hidup. Terjadi tepat tiga bulan setelah gue menerima kabar Delila dilamar.
Sahabat dekat Delila yang nelpon gue, bilang kalo Delila kabur dari rumah dan belum ditemukan di mana pun. Gue langsung panik dan izin pulang cepat dari kantor, memacu mobil gue ke rumah sahabat Delila ini karena dia ngelarang gue buat dateng ke rumah Delila langsung. Begitu mobil gue masuk ke komplek rumahnya, dia udah berdiri di depan pagar. Gue turun dari mobil dan membombardir dia dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Kita masuk dulu, Ren." Muka sahabat Delila ini—yang gue akhirnya ingat namanya Ara—sama kalutnya kayak gue. Bedanya dia masih bisa tenang dan gue enggak. "Gue ceritain semuanya ke lo di dalem."
Ara menggiring gue masuk dan kami duduk di ruang tamu. Dia natap gue lama sebelum menyebutkan sebaris kalimat yang buat gue mengerti maksud orang-orang dengan "terasa tersambar petir seketika" karena itu yang gue rasain saat dia bilang, "Delila hamil."
Just, what the fuck?
"W—what?"
Ara cerita kalau nyaris dua bulan lalu Delila diperkosa seseorang sepulang dia dari pesta ulangtahun teman satu jurusan mereka di sebuah klub malam di daerah Kemang. Delila ketakutan karena dia nggak tahu siapa yang memerkosa dia dan nggak berani bilang ke orangtuanya. Kemudian dua minggu lalu dia mulai ngerasa ada yang aneh sama tubuhnya dan baru minggu lalu memberanikan diri buat beli tespack. Hasilnya positif. Delila hamil.
"Dia nelpon gue kemaren bilang kalo dia mau kasih tau orangtuanya." Suara Ara bergetar, matanya berkaca-kaca setelah membongkar semuanya ke gue. "Tapi tadi pagi dia tiba-tiba nelpon gue lagi, nangis-nangis, dia bilang kalau ayahnya ngamuk semalam dan dia nggak berani liat muka ibunya." Isakan pertama Ara keluar bersamaan dengan airmatanya yang mulai jatuh. Gue tetap bisu, dengerin ceritanya tanpa nyela meski kuku-kuku gue terasa akan menembus daging saking kuatnya gue ngepalin tangan. "Lila bilang dia udah nggak kuat. Dia sempet bilang ke gue kalo dia mau mati aja. Gue takut, Ren. Gue takut dia beneran mau bunuh diri. Sebelum gue nelpon lo, ibunya Lila nelpon gue bilang kalo Lila kabur dari rumah. Gimana dong, Ren? Gue takut banget."
Gue berdiri dari bangku gue. "Makasih udah ngabarin gue, Ra. Gue pamit dulu."
"Lo mau kemana?" Ara mendongak, pipinya udah basah.
"Nyari Lila." Gue keluar dari rumahnya dan langsung masuk ke mobil gue. Ara manggil-manggil nama gue dan berhasil nahan pintu mobil gue sebelum gue tutup. Gue menoleh, natap dia tanpa ekspresi.
"Lo mau cari kemana?" tanya Ara.
"Kemana pun." Gue mendorong tangan Ara dan nutup pintu mobil gue, "Ampe dia ketemu." Lalu melajukan mobil gue keluar dari komplek rumahnya.