∽ Delapan Jam Setelah Penemuan... ∽
Kejadian yang menimpa Rahma, tidak begitu saja Ketua RT diamkan. Ia memanggil Boy dan Elis untuk bicara bertiga. Meminta Boy mengatakan yang sebenarnya dan memastikan alibinya pada Elis. Seperti yang Elis katakan malam itu, keduanya menegaskan mereka tengah bersama. Boy bahkan melamarnya. Tidak cukup sampai di situ, Ketua RT juga membahasnya dengan mengatur pertemuan. Menanyakan pada siapa pun barang kali ada yang melihat orang mencurigakan malam itu.
Nihil.
Selain keterangan dari Rahma yang dibantah oleh Elis sebagai saksi yang menegaskan alibi Boy, tidak ada bukti atau saksi lain yang bisa mendukung keterangan Rahma. Kejadian itu pun berlalu tanpa seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka. Hanya menyisakan kesedihan bagi Rahma. Ketakutan kalau-kalau kejadian yang sama terulang lagi.
Kini, tiap malam saat tidur Rahma tidak pernah lagi membiarkan lampu dalam kamarnya mati. Ia juga tidak lupa menyelipkan pisau dapur di bawah bantalnya. Jika sampai kejadian yang sama kembali terulang, ia bersumpah akan menghukum si penyusup dengan caranya sendiri.
Selain trauma, Rahma kembali menarik diri dari lingkungan. Waktunya hanya dihabiskan dalam rumah. Bu Patemi menjadi satu-satunya orang yang masih sering datang menjenguk Rahma, namun penyambutan sang tuan rumah tidak lagi pernah sama. Ia merasa semua orang sama. Suka menertawakan dan membicarakannya di belakang.
Waktu terus berputar. Hari demi hari berlalu, berganti minggu, beralih bulan. Tidak ada yang berubah. Semua waktu yang dijalani berakhir sama. Seolah hanya jalan ditempat.
Di awal bulan November seorang pria yang terlihat mapan mengunjungi tempat Rahma tinggal. Berganti hari, selanjutnya pria muda yang lebih sering datang. Ketika si pria datang, ia tidak pernah tinggal untuk berlama-lama. Tapi begitu pulang, Rahma akan ikut pergi. Rahma bahkan tidak kunjung kembali hingga 2 sampai 3 hari. Walau kembali ke rumah, esok harinya ia akan dijemput dan pergi lagi sampai beberapa hari. Hal yang sama terjadi, berulang.
Tidak ada yang bertanya, Rahma sendiri tidak merasa perlu menjelaskan apa pun terkait jarangnya ia berada di rumah. Hal itu yang kemudian berubah menjadi desas-desus tidak sedap yang banyak digunjingkan orang. Ponsel keluaran terbaru yang dimilikinya adalah pemicu awal. Orang-orang beranggapan seperti apa yang mereka inginkan. Menduga-duga sesuai batas daya khayal mereka.
Rahma semakin tersingkir dari lingkungan yang awalnya ia kira akan menjadi istana atas lautnya. Yang menetap kebahagiaannya bersama sang suami, selamanya. Angan-angan di awal pernikahan yang sungguh indah. Yang hanya dengan membayangkannya saja ia merasa mendapat kekuatan lebih untuk bisa melalui semua badai kehidupan.
Hanya berdasarkan dugaan dan prasangka yang beredar, warga meminta Ketua RT untuk menindak tegas Rahma. Sebagai wanita yang masih terhitung penduduk tetap berdasarkan identitas di KTP, mereka tidak ingin nama kampung mereka tercemar.
Ketua RT setuju dan mendatangi Rahma ketika ia berada di rumahnya dan berbicara empat mata.
Jarang terlihat, membuat perubahan Rahma sekecil jerawat di keningnya bisa terlihat jelas. Wanita itu semakin bertambah kurus. Tidak ada semangat dari pancaran matanya. Wajahnya kusam dan pucat. Garis hitam tebal di bawah matanya menandakan tidurnya tidak cukup, tidak pulas. Senyum telah seutuhnya lenyap dari sudut bibirnya. Tidak ada kebahagian. Kedatipun begitu, ia tetap mencoba untuk hidup.
Dari sudut pandang ini tuduhan orang-orang terlihat tidak masuk akal.
Rahma menjelaskan dua pria yang bergantian datang adalah mantan suami dan adik mantan suaminya. Ia bolak-balik ke kota karena ada hal yang harus ia lakukan. Hal penting yang tidak bisa ditunda.
Penjelasan telah diberikan tapi setiap orang telah telanjur berpikir seperti apa yang mereka inginkan. Tidak ada yang berubah.
Hari libur di awal tahun baru.
Cuaca sedang tidak cerah, tapi laut masih cukup bersahabat untuk beberapa waktu. Beberapa nelayan yang hendak melaut telah pergi sejak pagi. Beberapa yang masih di rumah memutuskan untuk melanjutkan tidur dan bangun lebih siang.
Pagi itu sekitar pukul tujuh, Rahma mendatangi beberapa rumah dengan menggedor-gedor pintunya. Air wajahnya menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Ia membutuhkan bantuan. Ia harus segera tiba di kota.
Tidak mudah menemukan orang yang mau mengantarnya ke kota. Gosip-gosip mengenai Rahma adalah salah satu penyebabnya. Alasan lain karena semalam penuh mereka telah begadang untuk menyambut pergantian tahun dan baru tidur selepas subuh. Rahma telah berkeliling kampung dan tetap saja tidak menemukan seorang pun yang mau mengantarnya. Isaknya putus asa. Ia marah karena diabaikan tapi yang bisa dilakukannya hanya mengutuki semua orang dalam hati.
"Bu, tolong! Bu, saya mohon!" pinta Rahma memelas. Air matanya berurai deras membasahi wajahnya. Rahma sesegukan. "Saya minta maaf atas semua kesalahan saya, tapi saya mohon sekali ini saja, bantu saya."
"Aduh gimana ya Mbak, bapaknya enggak bisa dibangunin."
Beralih ke rumah lain, jawaban yang didapatinya pun tidak jauh berbeda. Bahkan ada yang terang-terangan memasang wajah judes dan galak karena tidur nyeyaknya diganggu.
"Sekarang waktu butuh baru datang. Kemarin-kemari ke mana aja!" sengitnya ketus.
Tempat terakhir yang Rahma datangi adalah rumah Bu Patemi. Ia tahu Pak Fadhil sudah tidak pernah lagi melaut karena sering sakit-sakitan, tapi paling tidak ia telah mencoba mendatangi semua rumah. Mengharap iba dan pertolongan dari semua orang.
"Bu..." Rahma nyaris ambruk ketika pintu rumah dibuka. Ia lelah karena telah mendatangi tiap rumah. Mengetuk pintu satu per satu. Air mata yang tidak berhenti tumpah pun menghalangi pandangannya. "Bu, saya harus bagaimana? Saya harus ke kota, anak saya sakitnya semakin parah."
"Iya, iya. Kamu masuk dulu biar Ibu ambilkan minum."
Rahma menggeleng. "Saya harus secepatnya sampai di kota," katanya tidak ingin membuang-buang waktu.
Bu Patemi setuju membantu tapi bukan dengan meminta suaminya mengantar. Kesehatan suaminya benar-benar buruk dan lagi kapal miliknya sedang disewakan pada warga lain yang sejak pagi tadi telah pergi melaut. Bu Patemi menemui beberapa orang, mewakili Rahma meminta tolong mengantarnya ke kota. Keadaan tetap tidak berubah. Pilihan terakhir jatuh pada keluarga Bu Nunik. Memang tidak ada pria yang tinggal di sana, tapi kemampuan Bu Nunik mengendarai kapal dan melaut sudah dikenal seluruh kampung.
"Bu Nunik itu orang yang berpikiran terbuka. Dia pasti mau membantu," kata Bu Patemi yakin.
Bu Nunik setuju, tapi sejak awal anak-anaknya terus menentang keputusannya. "Jangan, Mak! Paling juga dia mau datangi laki-laki yang tempo hari ke rumahnya. Kita, kan enggak tahu itu suami orang atau bukan. Kalau betul dia jadi simpanan, kita juga bakal ikutan dosa sudah bantuin dia."
"Astaghfirullah," Bu Patemi beristighfar, tidak menyangka Elis akan menuduh Rahma seperti itu.
"Enggak, Mbak, enggak! Saya berani bersumpah. Bapaknya bilang anak saya sekarat, dia kesakitan sekarang. Dia nunggu saya datang. Dia manggil-manggil saya. Tolong, Mbak. Saya mohon!" Rahma berdiri dengan lututnya, menarik-narik tangan Elis.
"Benar-benar enggak tahu malu. Kamu lupa apa yang kamu lakukan terakhir kali ke Mamak?"
"Iya saya memang enggak tahu malu. Saya minta maaf karena engga tahu malu. Saya minta maaf karena bikin marah Mbak, bikin Bu Nunik sakit hati. Maaf, jadi tolong saya sekali ini..."
Ponsel Rahma berdiring. Sebuah panggilan masuk. Ada jeda di mana hanya suara dering ponsel saja yang mengisi kekosongan dalam kediaman keluarga Bu Nunik. Rahma tidak bicara sepatah kata pun saat menjawab panggilan yang masuk. Orang di seberang sana masih berbicara ketika ponsel Rahma merosot dari gengamannya dan jatuh terbanting.
Kabar yang baru diterimanya adalah kabar duka. Rahma masih tidak berbicara saat bangkit dengan menggunakan kakinya. Ia bahkan tidak menangis. Langkahnya pelan berpijak pada papan kayu. Ia terus melangkah sampai ambruk dengan sendirinya ketika melewati rumah kelima.
Kesedihan adalah duka yang tidak bisa digambarkan dengan apa pun. Betapa hancur hati seseorang, betapa ia merasa menderita.
Ketika pertemuan rutin bulanan di minggu kedua digelar, Rahma datang untuk pertama kalinya. Kedatangannya tidak untuk membaur, melainkan mengacau. Melihat orang-orang yang sudah mengabaikannya bisa tertawa bahagia, bisa berkumpul dengan keluarga mereka, tiba-tiba ia merasa luar biasa muak.
Kekacauan yang Rahma timbulkan berakibat pada berantakannya kegiatan yang telah rutin kampung adakan setiap bulan. Tidak ada yang bisa Ketua RT lakukan untuk membuat wanita itu menghentikan tingkahnya selain dengan mengancam akan mengusirnya dari kampung.
***
Masa lalu memang selalu berada di belakang, tapi ia memiliki peran penting setidaknya untuk mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan di masa mendatang. Masa lalu harusnya bisa mendewasakan sudut pandang dan cara berpikir, maka kenanglah ia seadanya.
Tiga jam lalu ketika Ilmi membuka lensa matanya, ia melihat ada begitu banyak benang merah yang melilit leher Rahma. Benang-benang yang terhubung ke setiap rumah, ke setiap orang. Itu sebabnya ia bertanya pada Bu Patemi, pemilik rumah tempat Imam menginap, mengenai masa lalu korban.
"Sudah jam delapan. Semua orang pasti sudah berumpul di aula," kata Imam.
Yang Imam katakan benar. Semua orang telah berkumpul dan kali ini yang datang jauh lebih banyak dibanding saat pertemuan bulanan pagi tadi. Setiap orang tampak bersemangat, tertarik untuk mengetahui kebenarannya. Mereka berharap banyak pada penjelasan yang akan disampaikan.
Ketua RT yang menjadi moderator berbicara pertama kali. Ia mengucapkan kalimat pembuka dan kata-kata sambutan dengan cepat kemudian menyerahkan mik pada Ilmi. Ilmi memiliki kemampuan berbicara lebih baik dan lebih mampu menguasai situasi dibanding Imam.
Ilmi memulai basa-basi singkat hanya dengan satu, dua kalimat dan segera masuk ke inti pembahasan. Meski pandai dalam berbicara dan mampu menguasai keadaan saat perdebatan terjadi, Ilmi adalah seorang pembicara yang tidak terlalu pandai dalam hal menyusun kalimat basa-basi. Cara bicaranya lebih cenderung serius dan jarang mampu mencairkan suasana.
"Seperti apa yang sudah kami katakan sebelumnya, keberadaan kami di sini malam ini adalah untuk memenuhi janji dan seperti apa yang kami katakan. Informasi yang akan diberitahukan hanya sebatas pada apa yang memang perlu diketahui."
Ketika Ilmi mulai berbicara seluruh orang dalam ruangan fokus mendengarkan. Pandangan tertuju pada satu-satunya orang yang berbicara di bagian terdepan ruangan. Ibu-ibu, bapak-bapak, laki, perempuan. Tidak satu pun anak di bawah umur terlihat berkeliaran atau terlibat dalam ruangan. Orang-orang yang diperbolehkan masuk ke ruangan dan mengikuti jalannya rapat adalah mereka yang minimal berada di usia 20 tahun.
Selagi fokus perhatian tertuju pada Ilmi yang sedang berbicara, tatapan mata Imam awas ke seluruh ruangan. Satu dari mereka adalah pelakunya. Ia memperhatikan seluruh orang yang hadir dalam ruangan yang sama dengannya. Bagaimana ekspresinya dan seperti apa gerak-geriknya. Termasuk pria yang berada di bagian paling belakang ruangan. Suryono.
Suryono juga merupakan bagian dari orang-orang yang berada dalam aula. Tidak ada yang mempedulikan keberadaannya. Tapi kini pria itu menjadi satu-satunya orang yang berdiri di depan pintu yang tertutup. Ia tidak fokus seperti yang lainnya karena tangannya sedang sibuk melipat dan membongkar kertas origami yang ada di pegangnya.
"Saya akan mulai menyebutkan informasinya," Ilmi kembali melanjutkan kata-katanya setelah memeriksa catatan yang diberikan Imam ketika masih di rumah. "Korban meninggal karena mati lemas. Dalam hal ini penyebabnya adalah leher yang tercekik. Perkiraan waktu kematian sekitar pukul 06.00-08.00 pagi."
Meski Imam yakin korban masih hidup sampai kira-kira pukul 07.00, ia tidak ingin menyampaikan waktu kematian yang ia persempit agar saling curiga antar warga tidak pecah dan semakin meluas. Pukul 06.00 pagi kesibukan masih sepenuhnya berada dalam rumah, dan beberapa orang bahkan belum bangun dari tidurnya. Hal itu membuat semua orang memiliki alibi yang lemah. Sementara jika diberitahukan perkiraan waktu kematian dimulai pukul 07.00, orang-orang akan menyerang mereka yang tidak hadir dalam pertemunan rutin pagi tadi.
Alasan yang diberikan kepada Ketua RT sebagai orang ketiga yang tahu kebenarannya, diterima dengan baik. Ketua RT adalah orang yang paling ingin menjaga ketentraman warganya melebihi siapa pun sehingga Imam percaya ketua RT tidak akan membocorkan informasi rahasia itu. Dalam hal ini, juga terkait kedudukan Ketua RT sebagai pengawas mereka.
"Ini kasus pembunuhan." Kalimat Ilmi selanjutnya menimbulkan keributan. Bisik-bisik resah penuh kekhawatiran. Ilmi sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi dan telah membuat persiapan. "Tapi..." Ilmi menaikkan suaranya sehingga, meski setiap orang sibuk resah dan berbicara sendiri, mereka tetap dapat mendengarkan apa yang Ilmi katakan "Saya berani bertaruh tidak akan ada korban selanjutnya. Kita semua akan tetap aman."
Berhasil. Ilmi kembali menjadi satu-satunya fokus, satu-satu yang didengar, satu-satunya yang berbicara.
"Maksud saya, saya bisa menjamin kalian semua tetap aman selama kalian mematuhi ketentuan selanjutnya yang akan saya sebutkan."
"Apa benar pembunuhan? Bukan bunuh diri?" Seorang Ibu mengacungkan tangannya ke udara.
"Tidak mungkin ada orang yang bisa melakukan bunuh diri dengan mencekik leher sendiri. Rasa sakit pada kematian akan mengalahkan kekuatannya. Kami tidak menemukan tanda-tanda adanya tempat untuk menggantung diri di langit-langit rumah. Pun posisi tali penjerat tidak sesuai seandainya korban memang bunuh diri dengan tali yang tergantung," jelas Ilmi.
Tampaknya istri Pak Basuki, seseorang yang sebelumnya mengintrupsi, merasa kecewa dengan hasil yang Ilmi sampaikan sebab tidak sesuai seperti yang ia pikirkan dalam kepalanya.
"Jika kalian bertanya mengenai siapa pelakunya, jujur sampai saat ini kami sendiri masih belum tahu siapa, tapi kami akan tetap mencari tahu dan kalian serahkan saja masalah pencarian ini pada kami atau polisi yang akan datang besok. Untuk ketentuan yang saya sebutkan sebelumnya," Ilmi kembali pada pembahasannya yang sempat terputus "Adalah dengan tidak memprovokasi pelaku. Salah satunya dengan ikut-ikutan menemukan siapa pelaku sebenarnya atau menyebar rumor. Jika ada hal mencurigakan kalian cukup melaporkan pada kami atau Pak Nasir."
Begitu penyampaian informasi selesai, sesi selanjutnya adalah tanya-jawab. Di sesi ini Ilmi lebih banyak menggunakan kata 'maaf,' karena pertanyaan yang diajukan berhubungan dengan informasi yang tidak bisa dibocorkan.
Walau informasi yang disampai tidak begitu memuaskan seperti apa yang ingin didengar, paling tidak malam ini mereka bisa tidur dengan tenang. Jaminan keamanan yang Ilmi sampaikan adalah hal paling penting dari serangkaian informasi tidak seberapa yang disampaikan.
Saat semua orang ramai-ramai membubarkan diri, Imam, Ilmi, dan Ketua RT, berbicara dengan suara-suara yang hanya mereka bertiga saja yang bisa mendengarnya. Setelah beberapa instruksi selesai disampaikan, Imam dan Ilmi pergi lebih dulu. Ketua RT bersama dua yang lainnya tinggal paling akhir untuk merapikan kursi dan mengunci pintu aula.
"Apa maksudnya dengan jejak tertinggal?" Ilmi bertanya begitu keduanya meninggalkan aula. Melanjutkan pembicaraan lain mereka yang belum selesai.
"Remot televisi," jawab Imam dengan suara rendah. Keduanya melewati Suryono yang sedang berteduh di teras aula yang luas. Hujan yang mengguyur seharian belum juga berhenti. "Ingat waktu saya bilang korban menyalakan televisi dan mengeraskan volumenya? Sewaktu korban ditemukan, Bu Nunik tidak menyebut televisi yang menyala. Itu artinya ada kemungkinan sidik jari pelaku tertinggal di sana sebagai orang yang mematikan televisi."
"Kenapa kamu yakin pelaku yang mematikan televisi bukannya korban?"
"Karena pembunuhan terjadi tanpa direncanakan oleh pelaku. Pelaku datang hanya untuk berbicara."
Menurut Imam, sejak awal korban memang telah menyakiti dirinya sendiri. Mungkin ia memang memiliki rencana untuk membalas warga kampung. Mungkin juga segalanya telah korban rencanakan. Termasuk memanggil pelaku hingga semuanya terjadi.
Pembunuhan yang terjadi bukanlah rencana pelaku melainkan korban sendiri. Jika pelaku memang datang untuk menghabisi nyawa korban, maka akan lebih aman jika televisi dibiarkan menyala. Suara ribut dari televisi akan meredam suara-suara mencurigakan yang terjadi akibat pembunuhan. Pelaku datang hanya untuk mengajak korban berbicara, itulah kenapa sidik jari yang tertinggal di remot televisi kemungkinan besar adalah sidik jari pelaku. Pelaku mematikan televisi agar mereka bisa leluasa berbicara.
Segalanya mungkin berjalan sesuai naskah yang korban tulis, hanya kedatangan Imam dan Ilmi saja yang tidak bisa korban prediksi.
Meski sejauh ini segalanya masih hanya sebatas hipotesa.
Imam dan Ilmi tidak langsung kembali ke tempat masing-masing. Mereka masih memiliki misi yang harus diselesaikan. Misi yang sama seperti yang sudah disampaikan pada Ketua RT sebelum meninggalkan aula.
Misi yang akan dilakukan masuk dalam ranah rahasia sehingga mereka pergi secara terpisah agar tidak terlihat mencolok dan mencurigakan.
"Kamu sudah tahu pelaku utamanya?" Ilmi bertanya. Selama satu jam ini Imam terlihat lebih serius dan lebih banyak diam berpikir.
Imam menggeleng. "Tapi saya sudah melempar beberapa umpan. Kalau yang saya pikirkan benar, harusnya berhasil. Jika tidak, kita hanya akan menyerahkannya pada petugas yang datang besok." Ilmi mengangguk. "Kamu kedinginan? Baju bagian bahumu kebasahan. Ah, seharusnya saya membawa jaket agar bisa memakaikannya ke badanmu seperti dalam drama-drama," tambahnya merasa menyesal.
Imam mengenakan atasan sweter rajut tebal berlengan panjang. Pakaian lengan panjang Ilmi juga terlihat tebal dan hangat. Hanya saja bagian bahunya basah karena terkena tampias air hujan ketika berlari menuju aula.
Ilmi tertawa geli. "Kamu pikir ini waktunya sutradara mengambil adegan romantis? Di tengah malam yang dingin, hujan yang tidak henti-hentinya mengguyur, dan pembunuhan baru terjadi?"
Imam juga tertawa. "Itukan adegan di drama Korea yang pernah kita tonton. Saya jadi ingat waktu pertama menikah, kamu suka sekali nonton drama Korea."
"Sekarang juga masih suka."
"Tapi lebih ke genre pembunuhan dan misteri bukan lagi romance."
Pembicaraan terhenti ketika mereka sampai di rumah Ketua RT. Sesuai apa yang disepakati sebelumnya, Imam dan Ilmi akan menunggu sampai Ketua RT datang bersama seseorang yang akan mereka tanya-tanyai untuk kedua kalinya.
Tidak perlu menunggu lama. Ketua RT datang bersama seseorang pria yang dimaksud 15 menit kemudian. Ketua RT masuk ke dalam rumah lebih dulu. Sementara si tamu pria masih menutup payungnya di teras dan meletakkannya di pojokan dekat rak sandal. Ia melangkah masuk menyusul Ketua RT yang mengajaknya mampir tanpa tahu untuk apa sebenarnya ia diundang datang.
Begitu menyadari tidak hanya dirinya yang diundang sebagai tamu, ia segera mengerti situasinya. Istri Pak Nasir sejak beberapa menit lalu telah masuk ke kamar menidurkan anak-anak, mereka bisa memulainya sekarang.
"Anda... apa Anda orang yang telah membunuh korban?" Kalimat Imam dingin, tatapannya mengintimidasi.
Boy, si tamu yang awalnya hanya datang karena diajak bicara hal-hal ringan oleh Ketua RT akhirnya masuk perangkap. Boy melebarkan matanya terkejut, tidak menyangka. Alisnya terangkat, tapi ada juga ekspresi marah yang diperlihatkan oleh bibirnya yang mengatup rapat dan rahangnya yang mengeras.
"Adakalanya orang menjadi banyak bicara dan melemparkan tuduhan-tuduhan tidak berdasar ke orang lain hanya untuk menutupi perbuatannya," Ilmi menimpali sinis. Boy semakin disudutkan.
"Omong kosong macam apa ini!"
***