∽ Sepuluh Jam Setelah Penemuan... ∽
"Ada puluhan rantai?!" Imam mengulang terkejut. "Apa maksudnya?"
"Hanya ada dua kemungkinan. Dia menyalahkan orang-orang sekelilingnya atas apa yang menimpa dia... atau orang-orang ini memang ikut terlibat sebagai pupuk masalah di akhir hidupnya." Ilmi menjawab namun pikirannya menerawang jauh. "Kejadian seperti ini mirip dengan kasus korban yang meninggal karena kekerasan dalam rumah tangga. Para tetangga mendengar kekerasan yang dialami korban, tapi hanya diam saja, berpura-pura enggak tahu."
"Kekerasan dalam rumah tangga ?" Imam kembali mengulang. Penjelasan Ilmi seperti mengingatkannya pada satu kasus. "Ha! Kasus waktu itu. Pertemuan pertama kita. 'Bukan hanya si Ayah pelakunya. Seharusnya seluruh tetangga juga ikut bertanggung jawab!'" Imam meniru cara Ilmi berbicara kala itu.
Ilmi mengangguk. "Atau orang-orang yang bunuh diri karena kasus intimidasi."
"Korban diperlakukan seperti itu?"
"Tidak secara fisik tapi mungkin iya secara mental. Buktinya adalah pemberian julukan. Sebagian orang tidak memanggil menggunakan namanya, 'kan?"
Imam kembali teringat pembicaraannya dengan Ilmi mengenai apa yang dilihatnya setelah membuka lensa matanya. Semua penjelasannya kemudian menjadi masuk akal setelah mendengar cerita kehidupan korban selama tinggal di kampung ini. Tepatnya sepeninggal suaminya.
Wanitanya itu terkadang memiliki penalaran yang kuat untuk menebak isi hati orang. Tahu cara untuk menarik keluar niat tersembunyinya. Terkadang Imam berpikir apa suatu kali Ilmi pernah melakukan hal yang sama padanya. Apa wanita itu pernah diam-diam mencari tahu hal terburuk dalam dirinya yang tidak seorang pun boleh tahu. Atau, apa jangan-jangan itu alasan sebenarnya wanita itu ingin berpisah darinya. Karena telah mengetahui hal terburuk dalam dirinya.
"Apa saya mempunyai sisi yang seburuk itu?" Imam bertanya pada dirinya sendiri.
Hujan sudah mulai reda namun angin malam dan sisa-sisa hujan yang berembus membuat dingin terasa sampai menusuk ke tulang-tulang. Ia sedang duduk di atas kursi kayu sembari bertopang dagu di depan jendela belakang. Angin yang lewat tanpa permisi membuatnya semakin merapatkan jaket jinsnya dan kembali meluruskan tatapannya. Fokus. Ia tidak boleh melewatkan sedetik saja tanda-tanda yang mungkin akan muncul dalam waktu dekat.
Imam menguap lagi untuk ke sekian kalinya. Para pemilik rumah sudah terlelap. Ia sendiri sudah mengantuk. Berkeliling seharian untuk menanyai orang, mencari saksi mata, berpikir, semua itu terasa begitu melelahkan. Betapa menyenangkannya bisa berbaring santai di atas ranjang dalam cuaca senyaman ini.
Mungkin karena situasinya berbeda, mungkin juga karena tekanan secara tidak langsung dari warga kampung, bebannya terasa melebihi aktivitas fisik rutin yang selalu Imam dilakukan. Imam sedang membayangkan apa yang mungkin sedang Ilmi kerjakan ketika sebuah cahaya terlihat dari kejauhan.
"Itu dia!" Imam melompat dari kursinya dan bergegas ke luar.
Ketika melewati rumah yang Ilmi tempati, Imam berjalan perlahan. Berjingkat-jingkat, begitu hati-hati tapi tidak tahu bagaimana caranya wanita itu tiba-tiba saja mengintip dari jendela, membuka pintu, kemudian keluar. Ilmi melipat kedua tangan di depan dada. Ia terlihat telah menunggu sejak lama.
"Ayo!" Imam tertawa dengan senyum yang dipaksakan.
Padahal Imam sudah memutuskan untuk melakukan sendiri sisa malam ini. Ia yakin Ilmi pasti sudah terlalu lelah untuk kembali dilibatkan. Padahal ia sudah berbisik-bisik dengan Ketua RT agar Ilmi tidak tahu akan ada aksi malam ini. Nyatanya, usaha bergerak sembunyi-sembunyi dari Ilmi sia-sia. Ia memang tidak akan pernah bisa menang dari wanita itu. Salah satu daya tarik terbesar Ilmi yang membuat Imam tidak bisa lepas.
Karena sinyal ponsel belum sepenuhnya stabil, mereka melakukannya dengan cara lama. Memberi sinyal dengan menggunakan sinar senter. Jika sinar senter yang berkelip dua kali sudah terlihat, artinya waktunya bergerak. Untungnya posisi rumah yang Imam tempati strategis untuknya bisa melihat sinyal yang diberikan. Hal tersebut membuat segalanya berjalan tanpa hambatan yang berarti.
"Sambutlah kunci terpenting dari kasus ini," Imam berujar. Gaya bicaranya dimirip-miripkan dengan detektif dalam novel-novel klasik. Ia dan Ilmi masuk melalui pintu depan.
"Suryono? Dia pembunuhnya?" Boy yang berjaga di jendela menimpali begitu melihat siapa yang berada dalam TKP.
Boy adalah orang yang ditugaskan untuk mengawasi TKP dan yang memberi Imam sinyal jika sudah saatnya bergerak. Rumah Pamannya yang berada dekat dengan TKP membuatnya cocok untuk mengemban tugas penting ini.
"Bukan. Tapi dia tahu siapa pelakunya," jawab Imam.
Suryono, pria itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti pagi tadi saat berteriak keliling kampung mengabarkan kematian Rahma, jandanya Amran. Suryono tidak berekspresi banyak. Ia menekan-nekan remot televisi tapi televisi tidak menyala.
"Percuma remot yang asli sudah diamankan," Imam berkata lagi.
Suryono tetap tidak berbicara untuk membela diri atau membantah tuduhan yang Imam arahkan padanya. Ia melempar dan menangkap remot, kemudian duduk berjongkok memeluk lutut. Suryono mengeluarkan suara tapi hanya berupa gumaman-gumaman tanpa arti. Tangannya bergerak memelintir ujung taplak meja televisi yang sudah lama tidak diganti.
"Kamu yakin orang gila ini tahu?" Melihat tingkah Suryono yang masih seperti biasanya, Boy berubah ragu. "Kalau pun dia tahu, bagaimana cara membuat orang gila agar mau bekerja sama dan memberitahu kita siapa pembunuhnya."
"Dia tidak gila, dia hanya pura-pura. Saat di aula tadi, saya baru sadar. Beberapa kali orang ini terlihat mengikuti saya dan Ilmi. Dia sedang mengamati gerak-gerik kami," Imam mulai menjelaskan. "Tingkahnya yang mencurigakan membuat saya teringat cerita Bu Nunik yang menyebutkan kebiasaanya masuk ke kolong-kolong rumah untuk mengambil bintang laut. Saat berkeliling kampung dan berteriak 'Jandanya Amran mati,' ada tanda-tanda kalau sebelumnya celananya basah kuyup padahal hujan saat itu baru mulai turun. Dugaan saya, dia tanpa sengaja menyaksikan pembunuhan ketika berada di kolong rumah."
"Brengsek!" Boy mengumpat kesal. Ia kembali dan masuk melalui pintu depan. Mencengkeram kerah baju Suryono dengan kuat. "Gara-gara kamu diam saja orang-orang jadi mencurigaiku," tambahnya geram. Boy hendak melemparkan bogeman panas tapi Imam menahan tinju Boy yang sudah terangkat.
"Anda juga melakukan kesalahan yang sama, ingat!" Imam berkata tegas pada Boy.
"Cih!" Meski masih kesal, Boy terpaksa melepaskan cengkeramannya dengan kasar hingga punggung Suryono membentur dinding. "Kalau begitu buat dia mengaku. Kalau tidak bisa dengan cara baik-baik biarkan aku yang turun tangan."
Suryono tetap tidak peduli. Ekspresinya sama sekali tidak berubah. Entah untuk menunjukkan perasaan takut atau marah. Dia sedang sibuk dengan apa yang ada benaknya, dengan pikirannya sendiri untuk mengelabui seluruh dunia.
Suryono berjalan pelan ke arah pintu tapi Boy menghalanginya. Tidak akan ia biarkan pria gila itu pergi. Boy mendelik tajam dan menarik baju bagian belakangnya hingga jatuh terduduk. Mungkin jika Imam tidak memperhatikan, Boy akan melemparkan bogeman ke rahang Suryono yang sebelumnya gagal dilepaskan.
"Sebagai anak yang pemalas dan terbiasa menegadahkan tangan, kehilangan kedua orang tua membuatmu tidak akan mampu menghadapi hidup. Bagaimana aku akan makan, bagaimana aku harus bekerja, bagaimana orang lain akan memperlakukanku. Ketakutan-ketakutan pada hal seperti itu yang akhirnya membuatmu memilih jalan ini. Berpura-pura gila." Ilmi yang sejak tadi hanya diam mengamati, akhirnya bersuara.
Ilmi berjongkok di depan Suryono agar tinggi mereka sejajar. Ia mengambil remot televisi dan menggantung dengan tangannya di depan wajah Suryono. Ia amati lekat-lekat ekspresi pria itu.
"Bukankah sebenarnya kamu merasa putus asa terhadap masa depan yang selalu kamu takuti itu ?" tambah Ilmi menyelesaikan kalimatnya.
Gerakan Suryono terhenti, tatapannya bereaksi.
Bola mata Suryono bergerak perlahan dan berhenti begitu lurus menatap Ilmi. Wajah Ilmi yang menyeringai menjadi satu-satunya gambaran yang memenuhi penglihatannya. Suryono merampas remot televisi yang ada di tangan Ilmi kemudian mendorongnya.
Siapa yang tidak kesal dengan orang yang sok tahu mengenai hidupmu. Tahu apa mereka!
Imam membantu Ilmi berdiri. Wanitanya diperlakukan kasar membuat emosi Imam tersulut. Ilmi cepat-cepat mengangkat tangannya menghalangi. Ia tidak ingin Imam menyentuh Suryono atau caranya yang sudah setengah jalan akan gagal. Suryono sendiri masih bertingkah konyol. Tidak peduli kalau ada dua pria yang siap menghajarnya kapan saja. Tampaknya Suryono sudah siap bonyok dan mengubur kebenaran yang ia sembunyikan.
"Tidakkah kamu merasa kalau kalian mirip?" Kali ini Ilmi berbicara lebih lembut. Bukannya takut Suryono kembali mengamuk, melainkan basa-basi singkatnya memang telah selesai. Kini ia memasuki tahapan yang lainnya. "Kalian berdua merasa putus asa. Iya, 'kan?"
"Dia wanitamu?" Boy berbisik pada Imam. "Sepertinya dia wanita yang mengerikan." Imam mendelik pada Boy, kemudian mengangguk tanpa bisa membantah.
Ilmi yang melihat gerakan kepala Imam saat mengangguk, menyikut ulu hatinya dengan keras. Wajah Imam memerah menahan sakit.
Ilmi melanjutkan. "Kalian sama-sama putus asa karena kehilangan. Ditinggal pergi untuk selamanya. Bedanya dia memilih jalan yang lebih mengerikan. Tahu kenapa? Karena bahkan untuk mengharap simpati dan belas kasih orang lain dia tidak mempunyai tempat di sini."
Suryono tahu itu benar. Setelah beberapa kejadian yang menimpa Rahma, ia dikucilkan. Berlari ke sana-kemari sembari menangis pun tidak satu pun orang yang tergugah hatinya. Suryono menyaksikan segala yang Rahma alami. Dia adalah saksi itu, yang seolah bisu.
Awalnya kasus terlihat rumit. Beberapa jejak terlihat saling bertolak belakang. Kenapa ada bekas alat penjerat di leher korban kalau pada akhirnya korban dibunuh dengan cara cekikan tangan. Kenapa keningnya terluka dan pipinya memar seolah ia adalah korban kekerasan tetapi bekas kuku pada pakaian korban menunjukkan ia sendiri yang berusaha membuka paksa pakaiannya.
Sampai cerita perjalanan hidup korban diperdengarkan. Segalanya jadi berhubungan dan masuk akal. Cocok dengan apa yang Imam lihat sebelum korban mengembuskan napas terakhirnya. Ini murni sekenario. Menyiksa diri sendiri untuk balas dendam dan membiarkan seseorang membunuhnya karena putus asa.
"Kasihan... Anak laki-laki satu-satunya, yang sebelumnya angkuh dan pemalas akhirnya bersikap semenyedihkan ini. Orang-orang yang memberimu makan itu, diam-diam mengutuk dan menertawakanmu." Ilmi menatap jijik, merendahkan. "Jika semasa hidup orang tuamu hanya bisa menahan kesal melihat kelakuanmu, saat meninggal pun mereka masih harus terus dibuat malu oleh anak laki-laki mereka yang seorang pe-cun-dang."
Brak !!!
Suryono melempar remot yang ada di tangannya hingga membentur dinding. Baterainya lepas dari remot dan terpental kearah yang berbeda. Kali ini Suryono benar-benar marah. Ia tidak lagi berusaha menutupi kemarahannya dengan berpura-pura. Inilah ekspresi yang sebenarnya. Ekspresi orang putusasa dan memilih berpura-pura gila.
"Apa yang salah dengan pilihanku?! Toh aku tidak mencuri. Mereka menyuruhku melakukan ini-itu dan sebagai imbalannya mereka memberiku makan. Aku tahu mereka selalu menertawakanku di belakang, mengasihaniku tapi di waktu yang sama juga mengumpatiku. Masa bodoh dengan harga diri selama perutku bisa terisi!"
Mata Suryono berkaca-kaca. Meski berkata 'masa bodoh', tapi tidak seperti benar-benar masa bodoh. Selama ini ia hanya menahannya. Berlalu sehari, dan sehari lagi. Tapi dipandang rendah sampai kapan pun tetap menyakitkan, tetap terhina. Mengatakan pada diri sendiri akan terbiasa pada akhirnya bukan berarti ia telah terbiasa.
"Dasar orang gila, masih juga berlagak kau!" Boy yang naik pitan, kembali mencengkram kerah baju Suryono.
Suryono tersenyum sinis. "Aku melihatmu... kamu adalah orang yang telah membunuh wanita itu. Kamu... si pembunuh." Senyum Suryono bertambah lebar, sesaat kemudian ia tertawa puas.
"Omong kosong! Dasar gila!"
Sebelum Imam sempat menahan, bogeman panas sudah mendarat di rahang Suryono. Boy akan menambahkannya lagi di pelipis, tapi Imam keburu menahannya. Ia meronta dan akhirnya justru terlibat perkelahian dengan Imam. Tawa Suryono semakin keras, pecah. Membahana hingga sudut-sudut ruangan.
Pintu TKP terbuka dan Ketua RT memburu masuk, membantu Imam menenangkan Boy. Dari pintu yang terbuka terlihat ada lebih dari 5 orang yang berdiri di sana. Meski pintu ditutup dan sebelumnya orang-orang telah tidur, suara ribut-ribut yang terdengar mengundang rasa ingin tahu mereka.
Perkelahian terhenti dengan sendirinya. Tatapan semua orang kini tertuju pada Boy. Tatapan menghakimi, jijik, ngeri. Mereka sudah mendengar apa yang perlu didengar. Sudah cukup untuk berspekulasi. Tawa Suryono juga berhenti. Tatapannya tertuju pada salah satu orang yang juga ada di antara kerumunan itu.
"Suryono!! Akan kubunuh kau. Lihat saja nanti!" Boy kembali memberontak. Orang-orang melemparinya dengan tatapan sebagai seorang pembunuh tidak lain karena omong kosong Suryono dan dia bersumpah akan membalasnya.
"Apa ini masuk akal?" Ilmi berbicara pada Suryono. "Kalau memang Mas Boy adalah pelakunya kamu tidak akan sampai seperti ini untuk melindunginya. Tidak akan diam-diam masuk ke TKP untuk menghapus sidik jari pelaku yang ada di remot." Ilmi tertawa dingin. "Jangan bercanda. Berpura-pura gila dan membuat kesaksian palsu itu berbeda, kamu tahu!"
"Lalu apa?!" Suryono menyalak pada Ilmi. "Bukannya kamu sendiri yang percaya aku melihat pembunuh itu. Aku berbicara seperti apa yang kalian mau tapi kalian tetap menganggapnya omong kosong!"
Ilmi tidak peduli dengan pembelaan diri Suryono. "Kamu bebas berpura-pura seperti apa pun jika untuk dirimu sendiri. Tapi berpura-pura dalam membuat kesaksian itu bisa mengubah hidup orang lain lebih dari apa yang kamu pikirkan. Kamu bisa menghancurkannya lebih dari yang kamu harapkan."
"Aku harus apa agar kalian percaya?" Suryono mengacak-acak rambutnya. "Kamu tahu apa tentang si berengsek ini?! Dia orang yang malam itu masuk ke kamarnya, yang berniat melakukan hal tak senonoh. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kamu tahu itu? Apa kamu tahu?!!"
"Kalau kamu tahu kenapa kamu diam?" Suara Ilmi berat. Matanya serasa panas. Tenggorokannya mendadak kering. "Seandainya... seandainya saja ada satu orang yang mengatakan itu sebelumnya, kamu pikir semua akan berakhir sama? Kamu pikir dia akan tetap seputus asa ini?"
Suryono mendadak terdiam, tidak berkata-kata. Boy kembali tenang.
"Seorang wanita yang nyaris mengalami pelecehan seksual tidak akan menerima pria dengan mudah masuk ke rumah. Kedua, ada jejak perlawanan yang artinya kekuatan pelaku terbatas. Artinya pelakunya bukan pria, pelaku wanita." Imam memberikan bocoran informasi yang menjadi acuannya penyelidikannya.
"Tapi dia masuk TKP?" Suryono bersikeras.
"Saya tahu," jawab Imam. "Tetap saja itu berbeda dengan kenyataan bahwa Mas Boy adalah pembunuhnya. Lebih dari itu kami sudah mengintrogasi Mas Boy. Pak Nasir saksinya."
Ketua RT mengangguk.
***