Chereads / Antologi / Chapter 21 - Prasangka #11

Chapter 21 - Prasangka #11

∽ Dua Belas Jam Setelah Penemuan... ∽

"Saya mau memeriksa TKP sekali lagi."

Imam berkata ketika semua orang hendak pergi, berpindah lokasi ke aula kampung. Mereka bahkan telah mengamankan Boy dan Suryono sebagai bagian terpenting dari kasus.

Setelah menjelasakan mengenai bagaimana situasi Boy saat memasuki TKP untuk pertama kalinya, juga rencana menangkap basah Suryono ketika masuk perangkap, orang-orang setuju untuk mengakhiri semuanya malam ini.

Mereka kemudian memutuskan untuk berpindah posisi ke tempat yang lebih luas.

Begitu semua orang telah pergi, suasana sepi dan sunyi kembali menyelimuti TKP. Hanya ada kesendirian, ruang-ruang yang dipenuhi udara dingin. Jenazah yang tergeletak dan hanya ditutupi oleh kain tipis. Tubuhnya telah membeku dingin. Berada jauh di bawah suhu tubuh orang normal, tapi itu hanya jasad kosong. Tidak ada lagi kehidupan yang bisa merasakan dingin atau hangat, tidak juga kesendirian atau rasa sepi.

Imam dan Ilmi kembali memasuki TKP dengan perlengkapan yang sama. Sarung tangan dan plastik untuk mengamankan bukti. Pemeriksaan dilakukan untuk yang kedua kalinya. Kali ini Imam dan Ilmi berusaha lebih teiti lagi. Satu demi satu ruangan dimasuki. Kolong-kolong dan setiap celah, tidak satu pun tempat yang boleh terlewatkan.

Sampai di teras belakang.

Teras belakang adalah tempat yang terbuka dan menghadap langsung ke laut. Ada bola lampu yang digantung di depan pintu. Lampu tidak mau menyala meski saklarnya telah diketek berulang kali.

"Mungkin sudah lama mati." Imam berbicara pada dirinya sendiri.

Malam telah mencapai puncaknya. Tanpa bulan dan bintang, hanya ada kegelapan di ketinggian di atas sana. Juga sejauh mata memandang di atas hamparan laut. Cahaya-cahaya yang terlihat hanya berasal dari lampu rumah warga sekitar kampung.

Imam menemukan sesuatu. Jejak-jejak samar yang tertinggal di atas papan. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dari saku untuk memastikan. Di jarak satu satu papan mendekati tepi, jejak jari-jari kaki bagian depan menempel. Imam mengambil sampel tanah yang ada di sekitar jejak kaki dan memeriksanya dengan melepas sarung tangannya. Teksturnya tidak pecah, bukan tanah.

Ponsel yang katanya pintar, yang sebulan lalu baru diganti dengan keluaran terkini, di situasi dan tempat ini hanya berfungsi sebagai senter. Imam menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum memasukkan ponselnya ke dalam saku. Sesuatu yang pintar juga punya batasnya sendiri.

Masuk ke dalam rumah, Imam memeriksa kaki korban. Benar. Jejak yang sama juga tertinggal di bawah kuku jari kaki korban yang panjang tak terawat. Walau jejak yang tertinggal di bawah kuku jari itu telah mengering, sementara yang ada di teras belakang basah karena tersiram air hujan seharian, tapi jelas berasal dari sesuatu yang sama. Lumut.

"Apa artinya?" Ilmi bertanya begitu menyadari perubahan ekspresi pada wajah Imam.

"Dia benar-benar merencanakannya. Semuanya," jawab Imam seperti menggumam pada dirinya sendiri.

Pemeriksaan ulang yang dilakukan adalah untuk menemukan ke mana ponsel korban dan tali penjerat berada. Pasti ada jejak yang tertinggal untuk menunjukkan di mana kedua benda terpenting itu disembunyikan. Alhasil, pencarian pun berujung pada tempat terakhir di mana kaki korban berpijak, teras belakang.

Hanya satu kemungkinan yang mendadak terpikirkan di kepala Imam. Ponsel dan tali penjerat tidak akan pernah ditemukan. Kedua benda itu telah hilang. Lenyap. Tenggelam sampai ke dasar lautan.

Kenyataan bahwa seharian ini mereka terus menyelidiki pembunuhan yang direncanakan langsung oleh korbannya adalah sisi paling mengecewakan. Bagain paling menyedihkan setelah segala kebenaran terungkap satu demi satu. Dalam keputusasaannya mungkin hanya ini satu-satunya cara yang terpikirkan oleh korban untuk membalaskan sakit hati serta kemarahannya.

Siapa yang benar-benar korban dan siapa pelaku sebenarnya adalah pertanyaan lain yang kemudian muncul.

Lelah, kantuk, dan perasaan kecewa menumpuk sekaligus pada titik ini. Putus asa dan balas dendam. Betapa mengerikannya kedua perasaan.

"Aku mungkin tahu siapa pembunuhnya." Ilmi berkata ketika Imam menutup pintu TKP. "Lebih tepatnya orang yang coba Suryono lindungi."

Tatapan keduanya bertemu. Ini kabar baik tapi tidak seperti kemenangan yang ditunggu-tunggu dengan perasaan suka cita.

***

"Jadi, Mas Imam kalau bukan Suryono atau Boy, siapa pembunuhnya?" Ketua RT segera menodong Imam dengan pertanyaan inti begitu memasuki aula.

Selain Ketua RT, Boy, dan Suryono, ada 7 orang lagi yang mengisi aula. Pak Basuki dan istrinya, Pak Pramuka dan istrinya, Pak Jalal, Bu Eko, dan Bu Nunik. Warga tidak bertambah seorang pun begitu Imam dan Ilmi meyusul ke aula. Itu artinya, mereka melakukannya dengan tenang. Dengan tidak menyebabkan kegemparan sehingga warga yang lain terusik dan ikut terbangun.

Ketua RT, Boy, dan Suryono berkumpul di bagian depan ruangan. Ada lantai papan yang dibuat lebih tinggi menyerupai panggung –dan memang sering difungsikan sebagai panggung. Boy dan Suryono masing-masing duduk di tepinya. Ketua RT memilih tetap berdiri. Warga lain menjaga jarak, beberapa mengambil kursi yang ditumpuk di pojok ruangan dan duduk tidak jauh, beberapa tetap berdiri.

"Saya tahu siapa orang yang coba kamu lindungi." Ilmi berdiri di depan Suryono. Suryono mengangkat wajahnya sesaat kemudian kembali tertunduk sebab menganggap kalimat Ilmi hanya gertakan. "Sekarang kamu lebih pendiam, ya, sejak orang itu datang."

Suryono bereaksi lebih cepat dari yang Ilmi harapkan. Bola mataya bergerak ke samping kiri Ilmi. Melirik.

Sebelumnya, ketika perkelahian terjadi antara Imam dan Boy yang ingin menyerang Suryono, Ilmi menyadari perubahan ekspresi pria itu. Ekspresi ketika tatapannya tertuju pada salah seorang di antara beberapa warga yang berkumpul di luar pintu.

"Kalau kamu tidak mau bicara juga, biar saya yang bantu." Ilmi mengajukan penawaran terakhir. Suryono tetap bungkam meski tatapan matanya menunjukkan pendar-pendar khawatir. "Lihat baik-baik apa saya salah menunjuk orang."

Tangan kiri Ilmi bergerak searah tubuhnya yang berubah serong 30 derajat. Telunjuknya lurus tertuju pada seorang ibu bertubuh kurus dengan gambaran wajah yang telah matang dalam menjalani pahit-manisnya hidup. Tatapan Ilmi tidak mengikuti ke arah jari telunjuknya tertuju. Ia masih lekat mengamati wajah Suryono yang perlahan terangkat dan tertuju pada orang yang ditunjuknya. Setiap perubahan dari ekspresi yang pria itu tunjukkan, Ilmi tidak melewatkannya sedikit pun.

"Bagaimana, Anda ingin mengakui perbuatan Anda?" Imam mengambil alih bagian untuk bertanya langsung pada si pelaku.

Pada Bu Nunik, yang berada di barisan paling depan, berdiri bersandar di dinding. Semua orang terkejut, menatap tidak percaya ke arah wanita yang terkenal suka berbagi dan baik hati itu. Wanita itu pun seperti sama terkejutnya. Wajahnya pias, tatapannya kehilangan fokus. Ia tidak percaya akan tertangkap.

"Enggak mungkin." Bu Eko membungkam mulutnya sendiri yang mengaga terlalu lebar. Ia spontan menjaga jarak dan merapatkan jaketnya seolah ada aura berbeda ketika berdiri di belakang seorang pembunuh.

"Bu Nunik itu bohong, 'kan?" Pak Basuki menimpali.

Tidak ada jawaban. Bu Nunik masih mematung bisu. Dalam kediamannya ada banyak hal bercampur baur memenuhi kepalanya. Termasuk kejadian itu. Kejadian ketika cengkramannya diarahkan ke leher Rahma dan ia tekan dengan sekuat tenaga. Kejadian yang terlampau cepat dan tiba-tiba. Yang ketika sadar, satu kehidupan telah berakhir.

"Bukan!" Suryono memekik tegas. Ia berdiri dan dengan lantang menunjuk ke arah orang lain. "Bukan Bu Nunik tapi Boy, dia pembunuhnya!"

"Sial!" Boy meradang. Emosinya kembali tersulut. "Bicara sekali lagi, aku akan merobek mulut sialmu!"

"Iya, kamu! Aku melihatnya. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri."

Emosi Boy yang mudah tersulut, Suryono yang tetap bersikukuh mempersalahkan Boy, keributan kembali terjadi. Boy berang. Amarahnya tidak lagi bisa ditahan. Kekesalannya telah mencapai puncak. Tatapannya tajam seolah akan memangsa Suryono saat itu juga jika ada kesempatan. Imam dan Ketua RT yang menahan kewalahan. Keduanya bahkan terkena sikut saat Boy mulai memukul dengan tidak terkendali.

"KALAU BEGITU..." Ilmi berbicara dengan meninggikan suaranya agar tidak terendam oleh keributan yang Boy dan Suryono timbulkan "Apa kamu mau memikul kesalahan Bu Nunik? Kalau mau melindungi seharusnya dilakukan sekaligus bukannya melemparkan kesalahan pada orang lain!" Suara Ilmi terdengar bergetar karena menahan marah. "Kamu mau menanggung kesalahannya?"

"Itu... aku..." Suara Suryono yang sebelumnya lantang, penuh percaya diri, berubah menciut ragu. Kata-katanya bahkan nyaris tak terdengar.

"Kamu... pria manja, pengecut, selamanya akan selalu sama," ketus Ilmi. "Melarikan diri, berpura-pura gila, melemparkan kesalahan pada orang lain, sepertinya memang keahlianmu." Ilmi tersenyum sinis. "Hei, hei yang aku bilang itu benar, 'kan? Marah? Merasa harga dirimu diinjak-injak? Ah, harga diri, ya. Apa masih bersisa?" Imam menggengam lengan Ilmi, mengingatkannya untuk tidak berbicara lebih kasar lagi. "Orang tuamu, selama ini mungkin sudah menyesal karena melahirkan seorang pecundang yang tidak berguna."

Plak– Kesabaran Suryono dalam menerima semua hinaan Ilmi juga telah berada di puncaknya. Tangannya melayang. Pukulannya telak, kuat. Melihat wanitanya dipukul, refleks Imam bergerak ke depan dan mendorong Suryono dengan kasar hingga terduduk di atas tempat yang ia duduki sebelumnya.

"Kamu enggak apa-apa?" Imam memeriksa wajah Ilmi. Selain memar merah, ada darah di sudut bibirnya.

Wanitanya dipukul, tentu saja harga diri Imam sebagai pria terusik. Tidak peduli apa alasannya, memukul wanita adalah sebuah pantangan. Hal yang paling dibencinya. Ia telah bersiap untuk membuat perhitungan, Boy pun dengan senang hati akan maju untuk menumpahkan segala kekesalannya tapi lagi, Ilmi berhasil menahan langkahnya sebelum berubah tidak terkendali.

"Aku sudah menerima hukuman untuk mulut kasarku. Bukankah semua orang juga sama, harus menanggung konsekuensi atas apa yang diperbuat." Kali ini kalimat Ilmi terdengar menenangkan. "Aku... bukannya tidak tahu apa alasanmu melindungi Bu Nunik. Beliau mungkin satu-satunya orang yang tulus, yang tidak pernah memandangmu dengan tatapan merendahkan. Yang tetap selalu mengkhawatirkanmu meski kamu selalu abai. Yang sering menanyakan keadaanmu. Tapi Rahma, seharusnya kamu yang paling mengerti perasaannya melebihi siapa pun. Tidakkah seharusnya kamu peduli barang sekali saja pada apa yang menimpanya."

"Dia... bukan pembunuhnya!" Suryono tetap tidak merubah pernyataannya. Bedanya kalimatnya terdengar putus asa dan frustasi. Air mata yang sudah memenuhi kelopaknya tumpah.

"Bu, Bu Nunik bicara sesuatu!" Istri Pak Jalal menarik-narik baju Bu Nunik "Mau sampai kapan Ibu hanya diam dan berpura-pura seperti ini?"

"Saya... hanya ingin melindungi anak saya. Apa itu salah?" tanya Bu Nunik datar.

"Dengan membunuh? Dan masih bertanya apa itu salah?" Istri Pak Jalal berujar tak habis pikir.

"Dia bilang sampai kapan pun tidak akan membiarkan Elis menikah sebelum Boy dipermalukan. Dia bilang sudah mengatur Boy agar datang dan rencananya telah diatur dengan baik. Dia bilang saya harus melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana Boy dipermalukan dan pernikahan Elis dibatalkan." Bu Nunik menggigit bibir. Suaranya bergetar.

Bu Nunik yang sendari tadi hanya menunduk ternyata menyembunyikan air matanya yang telah lama berurai. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan membunuh orang sebelumnya, tidak juga berpikir bahwa ia memiliki keberanian untuk itu tapi, ketika itu kemarahan mengambil alih dirinya. Kebencian mendengar kata-kata Rahma membuatnya lupa diri. Kemarahan sekejap yang mengubah segalanya.

Ketika menerima pesan singkat dari Rahma sebenarnya ia dipenuhi keragu-raguan. Terlebih Elis pasti akan sangat marah kalau sampai tahu. Meski keragu-raguan yang menyerang merupakan peringatan bawah sadarnya, Bu Nunik tetap pergi. Berharap tidak ada hal buruk yang terjadi. Berpikir Elis tidak akan pernah tahu kalau ia tidak bicara. Nyatanya, penyesalan memang selalu berada di belakang.

Bagi seorang ibu yang selama bertahun-tahun berusaha membesarkan anak-anak perempuannya seorang diri, tanpa peduli letih dan peluh, bekerja sepanjang hari, siang dan malam. Setiap waktu. Segala beban ia tanggung tanpa peduli apa. Anak adalah prioritas, kebahagian merekalah yang utama.

Kemudian, orang luar datang dan berkata akan menghancurkan kebahagian anak yang selama ini dengan susah payah berusaha ia jaga. Orang luar yang berkata seenaknya tanpa tahu betapa banyak hal sudah dikorbannya, berapa ribu tetes air mata telah ditumpahkan, orang luar itulah yang membuatnya menjadi murka dan lupa diri.

"Bu, Mba Elis masih bisa dapat laki-laki yang jauh lebih baik dari Mas Boy."

"Perempuan yang baik... selalu bisa mendewasakan laki-laki. Itu yang sebelumnya Bu Basuki bilang ke saya." Bu Nunik menatap penuh harap pada istri Pak Basuki yang duduk tepat di depan suaminya yang hanya berdiri dengan punggung membungkuk. Wanita yang biasanya sangat suka berbicara itu hanya diam saja, tertunduk.

"Kenapa Bu Nunik kembali ke TKP dan berpura-pura mengantar makanan?" Imam mengajukan pertanyaan yang sejak awal sudah mengganggunya. Sebagai seorang pelaku, Bu Nunik seharusnya tidak lagi mendekati TKP untuk menghindari kecurigaan.

"Karena saya melihat Mas Boy masuk. Seperti apa yang wanita itu ancamkan sebelumnya. 'Mengatur Mas Boy agar datang.' Saya ingin memperingatkan Mas Boy, meski saya akan dicurigai. Toh, sebentar lagi Mas Boy akan menikah dengan Elis, jadi saya putuskan untuk percaya. Tapi..." Air mata Bu Nunik tumpah lagi. Tatapannya tajam tertuju pada Boy. Ada perasaan kecewa dan marah dari bibirnya yang bergetar dan mengatup rapat. "Seharusnya dia segera berlari ke luar dan melapor. Tapi... apa yang dilakukannya di dalam sana, berlama-lama..."

Ada niat membiarkan saja Boy di dalam sana. Jika Boy menyentuh tubuh Rahma, sudah pasti kecurigaan akan mengarah pada pria itu dan ia setidaknya bisa bernapas lega. Tapi... bagaimana dengan Rahma yang malang. Apa yang akan terjadi pada tubuhnya.

Bentrok pun terjadi antar realitas diri dan egonya. Sebelum keputusan disepaki oleh kedua belah pihak dalam dirinya, Bu Nunik sudah bergerak. Masih ada keragu-raguan, perasaan takut, tangannya pun tidak henti-hentinya bergetar ketika sendokan demi sendokan kolak berpindah ke mangkok kaca bening tapi ia tidak boleh hanya diam saja, tidak boleh berpikir terlalu lama.

Anak perempuan keduanya adalah saksi betapa aneh sikap ibunya ketika itu. Gumaman tidak jelas, ekspresi ketakutannya. Tidak ada yang bisa dilakukan anak itu selain hanya mengamati saja di balik pintu.

Dengan langkah cepat dan berpikir semuanya akan berjalan lancar, Bu Nunik masuk ke TKP untuk kedua kalinya. Berteriak dan kehebohan pun menimpa seluruh kampung.

Baik Imam maupun Ilmi tidak ada yang menyebutkan mengenai skenario pembunuhan. Bahwa apa yang telah terjadi sepenuhnya telah diatur oleh orang yang justru menjadi korban. Bahwa sepenuhnya merupakan keputusasaan dan keinginan korban untuk membalaskan sakit hatinya pada lingkungan yang sudah mengabaikannya.

Korban menyakiti dirinya sendiri dengan membenturkan kening, menampar wajah, dan menjerat leher dengan menggunakan tali rafia. Membuat kesan seolah penganiayaan dilakukan sebelum pembunuh menghabisi nyawa korbannya. Juga kesan adanya percobaan pemerkosaan. Begitu selesai, korban megirim pesan pada Bu Nunik dan mengatur pesan otomatis untuk memanggil Boy.

Pembunuhan yang menimpa Rahma akan menimbulkan kegemparan di seluruh kampung. Perasaan was-was, tidak tenang, dan saling curiga. Kesan adanya percobaan pemerkosaan yang ditambahkan adalah untuk menjerat Boy. Agar pria itu juga dicurigai dan agar orang-orang kembali mengingat kejadian malam itu. Bahwa seseorang benar-benar telah menyusup ke dalam kamarnya.

Tujuannya berhasil. Setiap bagian yang Rahma inginkan tercapai.

Segala yang dikatakannya pada Bu Nunik hanyalah provokasi untuk membuatnya marah. Korban mampu menguasai kondisi psikologis Bu Nunik sebagai orang tua tunggal yang selama ini telah berkorban banyak dan rela melakukan apa pun demi kebahagian sang anak. Kemungkinan korban akan menjalankan segala ancamannya jika Bu Nunik tidak bereaksi seperti apa yang diinginkannya adalah kecil, nyaris tidak mungkin. Dalam artian, segala rencana dan keputusan terakhir yang dibuatnya juga merupakan pertaruhan peruntungannya.

"Percaya atau tidak, saat seseorang meninggal dunia dia akan meninggalkan perasaan terakhirnya pada atmosfer disekitarnya." Ilmi berbicara entah pada siapa. "Perasaan-perasaan negatif itu biasanya berupa kemurkaan atau perasaan tidak terima terhadap orang-orang yang paling dipersalahkan secara pribadi atas apa yang menimpanya."

"Apa maksudnya ?" Boy menyipitkan matanya tidak mengerti. "Dia ngomong apa?" tambahnya bertanya pada Imam.

"Di setiap pintu rumah di kampung ini, masing-masing Rahma tumpahkan sisa-sisa kemurkaan terakhirnya. Perasaan tidak terima dan marah atas perlakuan yang orang lain berikan padanya. Juga keputusasaan atas ketidak mampuannya bertahan."

"Apa itu?" Pak Basuki bicara untuk pertama kalinya. "Apa artinya kami bertanggung jawab atas segala hal yang menimpanya? Sampai saat terakhirnya?" tambahnya dengan nada tidak senang.

"Iya." Ilmi menghela nalas. "Kenapa orang lain harus bertanggung jawab, kenapa meski sudah meninggal manusia tetap egois, menyalahkan segala hal yang menimpanya pada orang lain. Kenapa? Aku juga ingin tahu kenapa," katanya. "Jika tidak mampu memikul beban dari segala keputusan yang diambilnya, seharusnya dia mengurung diri saja dalam rumah. Masa bodoh dengan lingkungan sekitar. Masa bodoh dengan teori yang mengatakan kalau manusia adalah makhuk sosial. Seharusnya dari awal dia tidak perlu mengenal orang lain dan hidup hanya sendiri saja."

Hening. Tidak ada lagi yang berbicara, tidak ada kata-kata. Setiap orang sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentang apa yang telah terjadi seharian ini.

Begitu terlahir ke dunia, manusia dicekoki dengan teori-teori mengenai kehidupan bersosial. Bahwa manusia satu membutuhkan manusia lainnya. Bahwa ada saling ketergantungan. Begitu sesuatu terjadi, entah itu penderitaan, kemalangan, atau kesedihan, tanggung jawab penuh berada di tangan si penderita. Setiap keputusan dalam hidup seseorang, seseorang itulah yang menentukannya. Begitu dijalani, risiko secara otomatis turut ikut di dalam gengamannya.

Hujan untuk kedua kalinya kembali membasahi segala penjuru kampung. Hujan kali ini tidak akan berlangsung lama. Hanya datang untuk menggenapkan sisa-sisa gelap di sudut cakrawala.

***