Chereads / Antologi / Chapter 24 - “Queen of Night”

Chapter 24 - “Queen of Night”

Ada cerita dalam komik Moon Light Dream karya Mitsuki Kaco yang menyebutkan jika bunga Queen of Night mekar saat bulan purama, akan terjadi keajaiban bagi yang berdoa dengan tulus. Yang sakit menjadi sehat, atau impian mereka terkabul.

Bunga Queen of Night adalah tanaman yang berasal dari hutan-hutan tropis Amerika Selatan. Bunga yang mekar pada malam hari itu juga memiliki nama lain Epiphyllum Angulir, atau nama lainnya lagi bunga Wijaya Kusuma.

Hanya sebuah cerita fiksi. Mana ada tanaman yang bisa mengabulkan doa!

Tapi, bagi mereka yang sudah putus asa mungkin akan meletakkan harapan terakhir mereka dengan berdoa pada tanaman yang katanya memiliki kekuatan itu. Barangkali saja keajaiban memang ada, barangkali saja Tuhan menurunkan kuasanya melalui tanaman itu.

Pemikiran itulah yang saat ini sedang terlintas di benak seorang wanita 27 tahun berwajah mungil. Sejak 25 menit lalu ia bergeming di depan sebuah rumah bertipe minimalis elegan. Rumah bercat biru dengan garis-garis gelap itu memiliki taman kecil di pekarangannya. Queen of Night terlihat mencuat ke luar pagar yang dibuat rendah mengelilingi rumah.

Tidak! Dia tidak akan menjadi gila dengan berharap pada tanaman. Dia memang merasa putus asa namun masih cukup waras untuk tidak melakukan itu.

Gadis itu akhirnya beranjak saat ponselnya berdering.

–Lima jam sebelumnya–

"Sakhi!" Seorang dokter berperawakan gagah menyapa. Mereka adalah sahabat akrab saat masih di fakultas kedokteran. Keduanya bahkan pernah magang di rumah sakit yang sama. "Bagaimana kabar ayahmu? Dua hari lalu aku melihatnya di rumah sakit tempatku bekerja. Apa Beliau sakit?"

Sakhi adalah dokter spesialis penyakit dalam dengan sub-spesialis Onkologi Medik. Tidak mudah baginya menyelesaikan sekolah tanpa dukungan orang tua. Meski seperti itu, Sakhi bisa menyelesaikan pendidikannya tepat waktu. Menjadi mahasiswi yang berprestasi.

"Ayah?" Sakhi balik bertanya.

Sudah sejak lama hubungan Sakhi dan ayahnya buruk. Sejak ibu kandungnya meninggal 19 tahun lalu dan menikah lagi tidak lama kemudian. Tidak hanya menikah, ayahnya yang seorang dokter kemudian mengundurkan diri dari rumah sakit.

Bukannya Sakhi tidak suka ayahnya menemukan kebahagiannya dengan menikah lagi, tapi kenapa begitu cepat. Kenapa hanya berjarak dua bulan setelah ibunya dimakamkan.

Laki-laki memang tidak memiliki masa menunggu seperti perempuan, tapi tidakkah dua bulan masih dalam suasana berkabung. Tidakkah ayahnya mau berusaha menjaga perasaannya yang baru saja kehilangan ibu. Bukankah selama ini ayahnya mencintai ibunya, tapi kenapa begitu cepat melupakan.

Sakhi sangat kecewa. Menyadari begitu cepat ayahnya berpaling hati dan melupakan ibunya membuat perasaan Sakhi tersakiti.

Tidak hanya masalah menikah lagi yang membuat hubungan ayah dan anak itu berjarak. Ayahnya bahkan melarang saat Sakhi memutuskan masuk sekolah kedokteran. Tidak ada alasan spesifik mengapa Sakhi dilarang. Sangat tidak masuk akal padahal sebelumnya ayahnya juga dokter.

Tidak tahan dengan kediktatoran ayahnya Sakhi memutuskan keluar dari rumah dan tinggal seorang diri di rumah peninggalan ibu.

"Ayah!" Sakhi langsung masuk kamar tanpa permisi.

Mengetahui ayahnya menemui Dokter Lukman dan melakukan beberapa tes kesehatan membuat Sakhi merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Kecurigaannya semakin menjadi-jadi karena Dokter Lukman yang coba ia introgasi di telepon tidak mau menjawab pertanyaannya. Privasi pasien, alasannya. Bahkan meski ia anak dari pasien itu, ia tetap tidak berhak diberi tahu.

Sakhi sebagai salah satu dokter utusan rumah sakit tempatnya bekerja seharusnya masih mengikuti seminar, tapi ia pergi sebelum acara sempat dimulai. Ia merasakan firasat buruk. Ia harus memastikan sendiri. Ia harus mencari tahu semuanya baik-baik saja atau ada yang disembunyikan darinya.

"Apa-apaan kamu!" Ayah yang terkejut dengan kedatangan Sakhi meninggikan suaranya. "Datang bukannya memberi salam malah berteriak!"

"Adam melihat Ayah menemui Dokter Lukman di rumah sakit tempatnya bekerja. Kenapa? Apa Ayah saki ?" Sakit tidak memedulikan kemarahan ayahnya. Ia menyampaikan maksud kedatangannya tanpa basa-basi.

"Apa yang salah dengan menemui Dokter Lukman? Dia teman Ayah saat sekolah."

"Kenapa harus di rumah sakit dan kenapa Dokter Lukman?!"

"Sakhi jangan teriak-teriak, nanti adikmu dengar." Ibu tiri Sakhi yang sejak awal duduk di atas ranjang menemani ayah, angkat bicara. Suaranya lembut dan sangat keibuan.

"Bibi apa ayahku sakit?"

Meski telah menikah dengan ayahnya, Saki tidak pernah memanggil ibu tirinya dengan sebutan ibu. Tidak sekalipun. Sakhi bukannya tidak menyukai ibu tirinya. Ibu tirinya sangat baik, bahkan terhadapnya yang tidak pernah bisa memanggilnya dengan sebutan ibu. Hanya saja, bagi Sakhi kehadiran wanita yang sekarang telah menikah dengan ayahnya itu tidak tepat.

Kenapa harus datang begitu cepat.

"Sudah Ayah bilang, Ayah ke sana sebagai teman cuma untuk menyapa!" Ayah mengambil alih menjawab pertanyaan Sakhi untuk istrinya. Nadanya meninggi untuk menegaskan jawabannya.

Berbicara dengan saling meninggikan suara bukan hal baru bagi Sakhi dan ayahnya. Sudah sangat sering. Mungkin bisa dibilang selalu seperti itu. Ayah dan anak itu tidak pernah bisa bicara baik-baik tanpa akhir pertengkaran.

"Bohong!" Sakhi menimpali datar.

Sakhi melempar tatapan ke meja samping ranjang. Ada segelas air yang telah kosong setengahnya. Jika dugaannya benar, ayah baru saja meminum obatnya, dan jika instingnya setepat Sherlock Holmes, obatnya pasti disimpan di laci meja itu.

Sakhi melangkah mendekat. Semakin dekat, ia semakin memercepat langkahnya. Tangannya sudah pada pegangan laci, namun gerakan ayah tidak kalah cepat. Sebelum Sakhi berhasil menarik laci, tangan ayahnya sudah lebih dulu menahan.

"Kamu ini kenapa?! Apa Ayah tidak boleh menemui teman Ayah di rumah sakit? Apa Ayah harus meminta izin dulu padamu jika ingin bertemu teman Ayah?!"

"Masalahnya bukan itu! Masalahnya adalah kenapa Dokter Lukman," sengit Sakhi. Suaranya tercekat di akhir kalimat. "Ayah tahu Dokter Lukman itu speasilis kanker. Jadi kenapa harus Dokter Lukman?" Sakhi nyaris terisak.

"Sakhi jangan seperti ini." Ibu tiri Sakhi berusaha menenangkan. Ia ingin menyentuh Sakhi, namun Sakhi mundur memberi jarak.

"Ayo, kita ke rumah sakit! Aku akan memeriksa Ayah sendiri."

"Ayah tidak sakit untuk apa diperiksa. Kamu ini keras kepala sekali!"

"Ayah!" Sakhi lebih membentak.

"Seandainya Ayah benar-benar sakit apa kamu bisa menyembuhkan Ayah? Kamu hanya dokter pemula. Bukan berarti setelah kamu memiliki surat izin praktik kamu bisa menyembuhkan semua orang!"

Sakhi menghela napas. Ia mengusap wajahnya, frustrasi. Tidak tahu lagi bagaimana cara meminta ayahnya agar mau memberitahu penyakit apa yang deritanya. Agar mau ikut dengannya ke rumah sakit untuk diperiksa.

"Ayah menganggapku apa? Kenapa untuk hal sepenting ini aku tidak boleh tahu. Apa ayah sudah terlalu nyaman dengan keluarga baru Ayah?! Ayah sudah tidak menginginkanku lagi. Ayah benar-benar sudah melupakanku seperti Ayah melupakan ibu!!" –Plak.

"Pa..."

"Bukannya kamu sendiri yang memutuskan pergi dari rumah? Jadi jangan berteriak pada Ayah." Suara ayah merendah, dalam. Menyimpan penyesalan. "Ayah tidak apa-apa. Lebih baik kamu pulang." Dengan suara yang lebih rendah lagi. Ayah mengalihkan wajahnya dan kembali keranjang, bersiap untuk istirahat siangnya.

Sakhi kehabisan kata-kata. Ia memegangi pipi yang memerah panas dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya meremas rok hitam lipat panjang yang dikenakannya. Kelopaknya sudah penuh dengan air, tapi ia bertekad untuk tidak menangis. Sakhi berjnji pada dirinya sendiri.

Sakhi memandangi atap-atap sesaat sebelum akhirnya meninggalkan rumah.

"Pa, apa tidak lebih baik kita beritahu Sakhi semuanya dari awal?" Ibu tiri Sakhi berkata dengan suara rendah.

"Bagaimana, bagaimana bisa aku meminta anakku memberi fonis hukuman mati untukku?" Ayah berkata sembari membelakangi istrinya yang duduk di tepi ranjang. "Aku orang yang tahu bagaimana menderitanya melakukan itu lebih dari siapa pun. Meski ada di sisinya sepanjang waktu, meski melakukan semua usaha siang dan malam, tapi pada akhirnya aku hanya bisa melihat sinar kehidupan meredup dari matanya. Hari demi hari."

Ayah memejamkan mata, tangannya mengepal. Perasaan tidak berdaya saat melihat orang yang dicintainya menderita, terengut karena penyakit ganas membuat lukanya kembali berdarah.

***

Suara brankar dorong dan kepanikan saling beradu di lorong rumah sakit. Langkah-langkah cepat saling mengisi hingga masuk ke ruang gawat darurat.

"Bibi, ayahku kenapa?"

"Bibi tidak tahu. Saat Bibi akan membangunkan ayahmu karena hari sudah sore, ayahmu tidak bergerak juga. Jadi, Bibi memanggil ambulans dan segera menelponmu."

Keduanya tidak lagi bicara. Hanya menyesap kecemasan masing-masing. Dokter tidak kunjung keluar meski sudah setengah jam waktu berlalu. Hanya doa yang tidak henti-hentinya mereka panjatkan. Berharap yang terbaik.

Meski tahu seperti apa prosedur seorang dokter, Sakhi tetap tidak bisa menunggu dengan sabar. Ia terus berjalan mondar-mandir. Ibu tirinya pun tidak jauh beda. Duduk di kursi tunggu dengan menggoyang-goyangkan kakinya. Keduanya benar-benar diserang kecemasan yang luar biasa ketika menit demi menit berlalu dan dokter belum juga keluar untuk memberi kabar.

"Dokter Lukman bagaimana ayahku?" Sakhi bertanya memburu begitu melihat dokter yang bertanggung jawab, keluar dari UGD.

"Kita bicarakan di ruanganku!"

Dokter Lukman memulai dengan meminta maaf karena sebelumnya tidak bisa segera memberitahu Sakhi begitu hasil pemeriksaan keluar. Ayahnya yang meminta penyakitnya agar tidak diberitahukan. Dengan begitu, dia bilang akan bisa menjalani pengobatan dengan tenang.

Saat diketahui mengidap kanker, ternyata penyakitnya sudah kronis. Pengobatan jalan yang diikuti pun tidak berpengaruh. Sel kankernya sudah menyebar dalam jangka waktu yang terlalu cepat. Dua hari yang lalu ayah Sakhi seharusnya sudah menjalani perawatan dari rumah sakit tapi ia terus-menerus mengulur waktu.

"Padahal Ayah seorang dokter, tapi bagaimana bisa dia terlambat menyadari penyakitnya," sunggut Sakhi setelah mendengar penjelasan Dokter Lukman.

"Kamu tahu sendirikan sifat ayahmu. Dia tidak ingin membuat siapa pun khawatir makanya tidak pernah menanggapi serius setiap keluhan yang dideritanya." Ibu tirinya menanggapi.

Air mata Sakhi yang baru mengering mulai menggenang lagi. Meski sama sedihnya, ibu tirinya jauh lebih kuat. Mengetahu kondisi suaminya lebih awal membuatnya lebih bisa menguasai perasaannya. Keduanya sama-sama menatap orang terkasihnya, yang hanya terbaring saja tanpa daya.

"Tetap saja," Sakhi bersikeras "Memangnya dengan tidak memberitahuku keadaan Ayah akan sembuh. Jika iya itu lebih baik. Tapi ini..."

"Jangan bicara seperti itu," ucap ibu tirinya dengan suara khas yang meneduhkan. "Sebenarnya... ayahmu sangat mencintai ibumu. Bahkan sampai sekarang." Sakhi mengalihkan pandangannya, menatap ibu tirinya tidak mengerti. "Saat tidur dia sering menyebut nama ibumu. Akhir-akhir ini menjadi lebih sering. Dia mengundurkan diri dari rumah sakit karena menyalahkan dirinya sendiri. Menyesal, karena ia seorang dokter tapi tidak bisa menyelamatkan ibumu. Ayahmu juga tidak ingin kamu sampai merasakan hal yang sama. Itu alasannya tetap diam."

Airmata Sakhi menitik lagi. Kali ini lebih deras. Penuh penyesalan.

***

"Queen of Night?" Sakhi berkata pada Adam ketika malam harinya ia datang membesuk dengan membawa pot berisi bunga Ratu Malam.

"Bunga misterius yang katanya memiliki kekuatan." Adam meletakkan pot bunga yang dibawanya di meja.

"Jangan bilang kamu percaya hal seperti itu. Kita ini, kan dokter. Kita yang lebih tahu bagaimana keadaan pasien. Jika tanaman bisa mendatangkan keajaiban..."

"Aku tahu," Adam memotong "Bagi orang-orang seperti kita, semua bisa dijelaskan degan ilmu pengetahuan. Tapi.. jika hal-hal baik diletakkan di sekitar orang yang kita sayangi itu artinya kita ingin yang terbaik. Hanya sebagai hiasan, bukan musyrik atau semacamnya. Tidak apa-apa, kan?"

Ingin yang terbaik.

Pada akhirnya ayah Sakhi tidak pernah membuka matanya lagi. Penyesalan Sakhi karena ia bertengkar dengan ayahnya di hari terakhir ia bisa melihat ayahnya baik-baik saja. Menyesal karena terlambat mengetahui penyakit ayahnya. Menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa. Kesedihannya dalam, menggunung tapi mengetahui ayahnya masih mencintai ibunya bahkan sampai akhir, membuat bagian lain dari dirinya lega. Bagian yang selama ini paling menyakitkan.

=Selesai=

(Bontang, 27/04/16).