∽ Sehari Setelah Penemuan... ∽
Hujan hanya berlangsung dua jam dan ketika kapal para petugas merapat. Langit telah kembali biru. Matahari malu-malu mengintip. Tidak hanya polisi yang datang dengan membawa beberapa petugas, tapi warga yang sebelumnya tertahan di kota juga menyusul pulang. Ada Elis, suami Bu Eko, dan warga yang lain.
Para petugas kepolisian segera mengambil alih tugas. Petugas dari unit Inafis melakukan olah TKP, sementara para petugas yang berada di tim investigasi mengamankan pelaku utama dan dua orang lainnya untuk diselidiki lebih lanjut, juga meminta pernyataan mereka. Termasuk pernyataan lengkap dari Imam, Ilmi, dan Ketua RT.
Selagi seorang petugas masih mencatat semua keterangan Ilmi, Imam yang telah selesai memberi keterangan, berbicara pada polisi dengan pangkat yang lebih tinggi, yang ditugaskan untuk memimpin penyelidikan. Mereka berbicara dengan akrab.
"Dengan memeriksa kuku pelaku seharusnya kita bisa mendapat bukti yang cukup. Entah itu jaringan kulit atau darah korban, pasti ada yang tertinggal. Yang akan menjadi bukti tak terbantahkan."
Imam mengangguk mengerti. Ia sering mendengar hal seperti itu sebelumnya dan akan ia catat baik-baik untuk tambahan pengetahuan.
Menyimpan dengan baik segala yang didengar dan dilihatnya adalah cara Imam belajar selama ini. Pun mengenai kehidupan. Karena pengalaman pahit seseorang adalah pengalaman berharga untuk manusia lainnya.
"Bagus pelakunya sudah mengaku. Dengan begini penyelidikan akan berakhir lebih cepat." Petugas itu berkata lagi pada Imam. Imam membusungkan dadanya, terlihat bangga. "Tapi kamu tidak sampai mengacak-acak TKP, 'kan ?"
"A... kalau itu..." Imam berubah ragu. Ia teringat kekacauan yang terjadi dalam TKP sewaktu menangkap basah Suryono. Tidak mungkin tidak teracak-acak kalau seperti itu.
"Emak!!"
Elis memaksa masuk ke kerumunan orang-orang yang memenuhi pintu aula. Seorang petugas berhasil menahannya tapi begitu Elis tenang dan pegangan si petugas mengendor, Elis memanfaatkan kesempatan uantuk melepaskan diri. Elis berlari menghambur ke arah ibunya. Air matanya yang berurai deras menunjukkan kesedihannya yang dalam.
Sebelumnya, begitu Elis sampai di rumah, adiknya menangis tersedu-sedu sembari mengucapkan kata ibu berulang-ulang kali. Bu RT yang menemaninya kemudian menjelaskan pada Elis apa yang menimpa ibunya secara garis besar.
Bu RT meminta Elis agar tenang dan menunggu, tapi kemudian Elis lepas kendali dan berlari mencari ibunya. Ia tidak percaya apa yang didengarnya. Tidak sebelum ia melihat sendiri bagaimana keadaan ibunya. Tidak sebelum ibunya sendiri yang berbicara.
Apa yang baru didengar adalah sebuah kebohongan. Apa yang orang-orang bicarakan tidak nyata. Hanya mimpi buruk. Semua akan berakhir begitu ia bangun, begitu melihat ibunya tersenyum dan menawarkan sarapan nasi goreng seperti pagi-pagi sebelumnya. Seperti sebelumnya ia juga akan mengeluh dan merasa bosan karena hampir setiap hari sarapan dengan menu yang sama.
Semua akan baik-baik saja...
Seandainya Elis tetap berada di rumah, sudah pasti Rahma akan menargetkan wanita itu sebagai bagian dari rencananya. Ia memiliki motif paling besar untuk mencelakai Rahma. Orang-orang akan mencurigainya bersekutu dengan Boy karena mereka saling membenci.
Meski ada bagian dari rencana Rahma yang tidak terwujud, Rahma telah memutuskan siapa yang akan menggantikan peran Elis. Dampaknya tidak jauh berbeda. Rahma terbunuh seperti keinginannya dan, meski Elis pada akhirnya bukan pelaku, wanita itu tidak akan berakhir baik-baik saja.
Mengetahui bahwa sang ibu adalah pembunuh dan harus menjalani hukuman dalam waktu yang panjang sudah pasti membuat Elis sedih. Terlebih mengetahui fakta mengenai apa yang hendak Boy lakukan saat menemukan jenazah Rahma. Elis akan kecewa dua kali, terluka dua kali, ditinggalkan, dikhianati.
"Maafkan Emak, Elis. Maaf karena Emak tetap pergi ke tempat Rahma padahal sudah Elis larang, padahal Emak sudah janji." Tangis Bu Nunik yang sebelumnya telah mengering kembali tumpah.
Ini sepenuhnya bukan sekadar mengenai janji dengan Elis, tapi mengenai kekecewaan pada diri sendiri. Bahwa mulai detik ini Bu Nunik tidak akan bisa lagi menjaga anak-anaknya, melihat mereka tumbuh menjadi lebih dewasa. Menghadiri pernikahannya dan melihat langsung anak gadisnya bahagia. Setelah ini ia akan pergi untuk menebus segala perbuatannya. Pergi dalam waktu lama.
"Kenapa, Mak? Bukannya dari awal sudah kuperingatkan agar Mak jangan dekat-dekat wanita itu lagi." Elis mengelap ingusnya yang ikut keluar tanpa persetujuan. Membayangkan bagaimana hari-hari yang akan dijalaninya tanpa ibu, ia jatuh terduduk tak berdaya.
Bu Nunik yang diberi kelonggaran mendekat ke arah Elis dan memeluk anak perempuan tertuanya. Meski keras kepala dan suka membantah, ia sangat menyayangi anak-anaknya melebihi apa pun.
Bu Nunik memberi beberapa petuah sebelum polisi membawanya pergi untuk menjalani proses selanjutnya. Petuah mengenai keyakinannya bahwa anak-anaknya akan baik-baik saja meski tanpanya. Mereka akan tetap menjalani hidup dengan baik. Elis telah dewasa untuk menjaga adiknya. Ibu meminta Elis agar jangan terlalu keras kepala, meminta keduanya agar selalu akur dan saling menjaga.
Diakhir kalimatnya, Bu Nunik menekankan mengenai menjaga kesehatan, mengatur pola makan, dan memilih pria yang baik untuk menikah. Tangis Elis semakin pecah, begitu juga dengan tangis adiknya yang ada bersama Bu RT di depan pintu aula.
Prosedur yang berlangsung di TKP telah lengkap dan semua pernyataan juga telah selesai dicatat. Imam hendak kembali bersama para petugas ketika ia menyadari Ilmi tidak ada di mana pun. Sebagai seorang petugas, Imam masih harus mempertanggungjawabkan beberapa hal dan memberi laporan langsung pada atasan.
***
Seperti kebiasaan ceroboh Ilmi yang biasanya, membiarkan pintu depan terbuka lebar sementara ia sedang berada di teras belakang merendam kaki. Ada tangga untuk turun di teras belakang. Ia duduk di sana sembari mengayun-ayunkan kakinya. Cipratan air laut membasahi hingga ke betis.
"Sedang memikirkan sesuatu?" Imam muncul dengan membawa segelas air dan memberikannya pada Ilmi.
Ilmi meneguknya hingga setengah kemudian meletakkanya tidak jauh dari jangkauannya. "Aku... sedang memikirkan apa yang menjadi akar semua masalah ini," katanya sembari melempar tatapannya hingga di kejauhan tengah laut.
Imam duduk di tepi papan. Memilih menemani Ilmi sebentar lagi. "Prasangka, bukan? Makanya kamu bisa melihat benang itu di mana-mana," katanya berpendapat.
Ilmi tidak yakin.
Alasan kenapa ia bisa melihat rantai-rantai itu Ilmi tidak tahu. Pun penyebabnya.
Pertama kali penglihatannya muncul ketika kakak laki-lakinya mengalami kecelakaan. 18 tahun lalu. Ilmi pernah mengadukan apa yang dilihatnya pada ibu. Ibu kemudian membawanya menemui seorang dokter untuk dilakukan pemeriksaan. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Namun setelah mendengar cerita ibu, dokter menyarankannya untuk berkonsultasi ke seorang psikolog.
Psikolog yang ditemui itulah yang kemudian mengatakan bahwa yang Ilmi lihat merupakan bentuk tekanan bawah sadarnya. Perasaan bersalah, pikiran bahwa sumpah serapah yang ia ucapkan pada kakaknya saat bertengkar merupakan salah satu penyebab kecelakaan menimpanya.
Psikolog itu benar mengenai rasa bersalah. Begitu melihat kondisi kakak laki-lakinya meninggal, Ilmi merasa bersalah atas kata-katanya, makiannya, sumpah serapahnya. Pun ketika anaknya meninggal. Perasaan bersalah karena tidak menjaganya dengan baik, tidak menjadi ibu yang baik.
Jika yang Ilmi lihat merupakan perasaan bersalah, bagaimana mungkin penglihatan berpengaruh pada orang yang tidak ia kenal. Setelah sekian lama merasa bersalah, apa jangan-jangan penyakitnya telah berubah menjadi delusi.
Kesimpulan yang diberikan psikolog yang menangani Ilmi berakhir pada dua kata, Dinamika Kepribadian. Rasa bersalah yang terus berlanjut. Saat melihat mayat, trauma lama Ilmi akan kambuh. Kemudian menyama-nyamakan nasib yang telah meninggal dengan apa yang terjadi pada kakak Ilmi di masa lalu, pada perasaan bersalahnya. Mencari-cari kesalahan sekecil-kecilnya orang yang mengenal almarhum dan menghubung-hubungkannya.
Kesimpulan itu mungkin benar. Ilmi pernah sangat memercayainya.
Bertahun-tahun mengikuti terapi yang katanya dapat menyebuhkan penyakitnya, dapat mengurangi perasaan bersalahnya. Berusaha menjalani hidup dengan baik-baik saja dan meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya telah berlalu. Bahwa ia tidak dibenci. Nyatanya, tidak ada yang berubah dari penglihatannya. Mungkin rasa bersalahnya terlalu besar, atau mungkin gangguan kejiwaannya terlampau akut. Ilmi tidak mengerti. Ia tidak tahu apa yang dipercayai dan apa yang ingin dipercayainya.
"Saya harus kembali sekarang," Imam pamit, berdiri dari duduknya. "Petugas yang lain mungkin sudah menunggu."
'Mungkin benar, seharusnya kita berpisah sejak awal. Jangan khawatir, setelah polisi datang besok pagi dan kasus ini selesai, saya akan pergi dari tempat ini.' Ilmi tiba-tiba teringat kalimat Imam ketika tempo hari mereka bertengkar.
Ilmi hanya mengangguk. Mendadak tenggorokannya kering, membuatnya susah berkata-kata. "Hati-hati!" tambahnya.
Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Imam akhirnya pergi. Ilmi hanya bisa mengantar kepergian pria itu dengan tatapan dari sudut matanya. 1 langkah, 5 langkah, dan seterusnya sampai Ilmi tidak bisa lagi melihat keberadaan Imam.
Ilmi kembali mengalihkan tatapannya pada langit. Pikirannya menerawang beberapa saat dan berakhir pada riak air laut di bawah kakinya.
Hari masih terlampau panjang untuk Ilmi habiskan dengan termenung dan duduk-duduk santai. Bukankah dari awal ia telah merencakan untuk pergi menenangkan diri tanpa kehadiran Imam. Hanya saja, kehadiran pria yang tidak pernah mau lepas darinya membuatnya merasa selalu memiliki seseorang yang bisa diandalkan, yang selalu ada untuknya, menemaninya. Menjadi egois benar-benar menyebalkan.
Sekarang, hari-hari tenangnya tanpa kehadiran Imam telah kembali tapi yang ada Ilmi justru merasa kehilangan. Yang meski melakukan banyak aktifitas tetap tidak mampu mengisi sesuatu yang terasa hilang.
"Jangan-jangan aku dipelet?" Ilmi berkata kepada diri sendiri sembari menahan senyumnya yang aneh.
Ilmi melewati sisa harinya dengan mengantar makanan untuk Pak Fadhil dan Bu Patemi. Mereka bercerita mengenai banyak hal hingga berjam-jam. Ilmi juga belajar berbaur dengan warga lain. Saling sapa dan bercerita mengenai asal masing-masing sebelum menetap di pulau K.
Hari ini pelajaran sekolah dimulai terlambat karena kedatangan para polisi dan berakhir lebih cepat karena kampung sedang berduka.
Tidak peduli betapa berduka sekelilingnya, anak-anak polos itu tetap dengan penuh suka cita berhambur pulang ke rumah. Senyum mereka tetap sumringah dengan tawa lepas. Karena jam sekolah berkurang, otomatis jam main mereka bertambah. Dalam dunia mereka, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding bisa bermain sampai puas.
Seperti Ilmi, setiap orang tetap lanjutkan hidup mereka seperti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya. Semua orang menghindari membicarakan apa yang telah terjadi bukan berarti mereka menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka hanya sedang berduka dan masalah itu menjadi pembahasan paling sensitif untuk semua orang.
Kini, rumah nomor 19 bercat hijau yang dibangun dekat Sekolah Dasar itu akan selamanya kosong. Tidak ada lagi keluarga kecil bahagia yang tinggal di sana. Tidak ada lagi wanita berkulit kuning langsat yang selalu rutin merawat dirinya.
Angin laut berembus lembut. Ilmi berdiri di depan rumah yang terasnya masih sama berantakannya seperti pertama kali ia lihat. Tidak ada yang berubah selain garis polisi yang baru dipasang pagi tadi.
***