Chereads / Antologi / Chapter 20 - Prasangka #10

Chapter 20 - Prasangka #10

∽ Dua Jam Sebelumnya ∽

Setelah rapat dengan warga di aula kampung selesai, Boy berencana langsung pulang ke rumah. Setelah mendengar informasi yang Ilmi sampaikan ia bisa menghela napas lega. Aman. Boy akan tidur lelap malam ini dan bangun siang keesokan harinya. Memang ada beberapa hal yang tidak masuk akal. Dia nyaris terkena serangan jantung saat mendengarnya, tapi siapa yang peduli selama semuanya baik-baik saja.

Kemudian Ketua RT yang sedang merapikan ruangan memanggil Boy. Ketua RT memintanya untuk mampir ke rumah. Dia sama sekali tidak tahu ada apa atau apa yang akan terjadi. Tidak tahu untuk tujuan apa sebenarnya dia dipanggil dan siapa-siapa yang sudah menunggunya.

Sebenarnya Boy sudah ingin tidur di kasurnya yang empuk, dalam kamarnya yang hangat. Tetapi, ketika Boy berpikir sekali lagi, rasanya tidak masalah jika sebentar. Ia jadi memiliki kesempatan untuk mengorek informasi mengenai kedua pendatang itu. Mungkin saja ia akan beruntung bisa mendapat satu atau dua informasi penting dari Pak RT.

Ketika sampai di rumah PAK RT masih tidak ada firasat buruk. Boy pikir ia hanya akan bermain catur sembari membahas hal-hal yang sudah terjadi. Sedikit memancing Pak RT agar bicara. Kejadian seperti ini bukan pertama kalinya dan Ketua RT memang dekat dengan semua warga kampung.

Boy masih melipat payungnya ketika Ketua RT masuk ke dalam rumah lebih dulu. Di sana, di balik pintu yang terbuka, ada dua orang telah menunggu. Boy tidak merasa sebagai orang yang ditunggu sampai Imam menunjukkan senyumnya yang misterius.

Tidak perlu berpikir terlalu lama atau bertanya dua kali untuk menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya. Boy menatap dua orang yang ada di depannya bergantian.

"Anda... apa Anda orang yang telah membunuh korban?" Imam tiba-tiba menghakimi Boy dengan pertanyaan tolol.

Membunuh Rahma? Membayangkannya saja tidak pernah, dan bagaimana mungkin ia bisa membunuh seseorang yang sebelumnya sempat ia sukai. Boy merasa kebenciannya pada Imam yang semula tanpa sebab akhirnya memuncak. Wanitanya pun sama. Mengucapkan omong kosong lain yang tidak ada gunanya.

"Adakalanya orang menjadi banyak bicara dan melemparkan tuduhan-tuduhan tak berdasar ke orang lain hanya untuk menutupi perbuatannya."

"Omong kosong macam apa ini!"

Boy merasa sudah sewajarnya marah. Ia tidak pernah merasa semarah sekaligus seterkejut ini sebelumnya. Untuk beberapa saat ia tidak tahu harus berkata apa. Berpikir. Mungkinkah ada seseorang yang melaporkannya? Atau ada jejaknya yang tertinggal.

"Kenapa? Mas Boy terkejut karena kami bisa tahu?" Ilmi menambahkan.

"Ada banyak jeda kosong setelah Anda meninggalkan rumah." Imam memulai pertunjukan analisanya. "Menurut keterangan Ibu Anda, Anda keluar dari rumah sekitar 20-30 menit sebelum korban ditemukan. Keluarga Pak Basuki yang katanya akan Anda kunjungi berkumpul di ruang depan sembari sarapan dan menonton televisi. Pasti mereka akan langsung sadar kalau Anda datang. Sementara berjalan dari rumah ke tempat Pak Basuki tidak akan menghabiskan waktu sampai 10 menit. Jadi, di mana Anda selama selang waktu kosong itu?"

"Saat itu Mas Boy ada di TKP. Iya, 'kan?" Ilmi menimpali.

"Omong kosong! Kalian hanya menggertak. Kalian bisa membuktikannya?!" Boy mengumpulkan peruntungan terakhir yang dimilikinya dan balik menantang.

"Anda pasti kabur melaui jendela, bukan? Selanjutnya membaur bersama orang-orang yang telah berkerumun. Kami menemukan jejak DNA tertinggal di jendela." Kalimat Imam telak menjatuhkan Boy. Wajahnya berubah pucat. Ia ingin membantah namun kata-katanya hanya tertahan di tenggorokan.

"Aku... aku bukan pembunuh." Boy menjatuhkan dirinya terduduk di sofa.

Rumah Pak Nasir memiliki ruang tamu yang sangat luas dengan bagian terasnya lebih sepit dibanding teras-teras rumah lain di sekitarnya. Ada seperangkat sofa yang kainnya sudah pecah-pecah dibeberapa sisi. Ruang keluarga yang digunakan untuk menonton televisi ada di bagian lorong depan kamar dengan kasur lipat yang dihampar di lantai.

"Ini, kami menemukan ini di pinggiran jendela kayu tempat di mana Anda terburu-buru melarikan diri." Imam menunjukkan plastik yang di dalamnya terdapat sehelai rambut hitam dan pendek yang ia maksud sebagai jejak DNA. "Saat tes DNA dilakukan, saya yakin hasilnya akan cocok dengan Anda."

"Saat itu dia sudah mati..."

"Kami tahu." Kali ini Ilmi yang berbicara.

"Eh?"

"Kami tahu Mas Boy bukan pembunuhnya karena saat tanya-jawab pertama kali Mas Boy juga mengatakan hal yang sama. 'Saat itu dia sudah mati!'," Ilmi mengingatkan. "Seseorang yang tidak memeriksa keadaan korban dengan tangannya sendiri tidak akan berteriak sekeras dan seyakin itu."

"Jadi, kalian sudah tahu aku bukan pembunuhnya tapi tetap menuduhku seperti ini. Apa kalian minta dihajar?!" Boy kembali kesal, merasa dipermainkan. Ia tidak pernah membunuh seseorang. Jangankan membunuh, berpikir untuk melakukannya saja ia tidak memiliki keberanian.

"Kenyataan Mas Boy menyembunyikan fakta bahwa Anda adalah orang pertama yang menemukan jenazah korban jelas karena Mas Boy menyembunyikan sesuatu." Ilmi melipat tangannya. Memberi tatapan menghardik. "Mas Boy... mencoba memerkosa jenazah korban."

Boy tertunduk sembari menggengam tinju kanannya. Bibirnya sedikit terangkat seperti akan bicara tapi yang dia lakukan hanya meneguk ludahnya sendiri.

"Astaghfirullah hal'azim." Ketua RT mengelus dada. Ini adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya sejak tiba di rumah. Ketua RT lebih sering menahan nafas karena tegang, takut-takut kalau Boy akan mengamuk dan mulai mengacau. Kemudian bernafas lega ketika akhirnya hal seperti itu tidak terjadi.

"Aku... enggak."

Gerakan bahu Boy tidak simetris karena hanya terangkat di satu sisi. Dia benar-benar merasa tertekan sekarang. Terintimidasi. Ini lebih seperti dia dituduh membunuh. Kalimat-kalimat Ilmi cukup memojokkannya. Dia ingin mengamuk, tapi tatapan menghakimi Ilmi membuatnya kehilangan daya. Entah susuk apa yang dipakai wanita itu.

"Iya, Mas Boy hendak melakukannya." Nada bicara Ilmi datar, dingin, ia cukup memegang kendali atas lawan bicaranya.

Imam masih memperhatikan setiap gerakan dan perubahan mimik di wajah Boy. Dalam hati Imam selalu kagum pada kemampuan Ilmi dalam menekan orang lain sampai ke dasar-dasar. Mungkin, jika ditempatkan dalam tim investigasi sebagai ahli introgasi, Ilmi bisa selalu unggul.

Sebagai orang yang pernah tinggal di atap yang sama dengan Ilmi sebagai keluarga selama bertahun-tahun, –setelah mengatakan ingin bercerai, Ilmi pulang ke rumah orang tuanya dan tinggal di sana– tidak mungkin ia tidak pernah mengalami hal serupa. Rasanya... seperti ia tidak ingin melakukan kesalahan lain yang membuatnya merasakan nasib yang sama.

"Iya, aku berpikir untuk melakukannya. Dia wanita yang sama sekali tidak pernah melihatku. Melihatnya mati mengenaskan seperti itu membuatku..." Kalimat Boy tertahan. Ia tidak tahu harus berkata apa. "Tapi Bu Nunik keburu datang dan berteriak."

Ilmi menghela napas berat. Semakin berat. Ia kehabisan kata-kata meski untuk mengutuki niat gila Boy. Ia sudah menduga kebenarannya, Imam pun sudah mengatakan kemungkinan itu, tapi tetap saja ada sebagian dari diri Ilmi yang tidak ingin mengakuinya. Bagian yang selalu melihat dunia dari segi yang sepenuhnya indah. Seperti kampung di atas laut di hari pertama kedatangannya. Cuaca yang sempurna, awan putih yang berarak, laut biru bersih yang terbentang. Bagian yang hanya melihat hal-hal seperti itu.

Hening.

Semua orang sama terpukulnya dengan kenyataan yang sebagian besar sudah diprediksi. Terutama Ketua RT. Cara pandangnya terhadap Boy mulai detik ini mungkin akan berubah. Setidaknya banyak orang memang akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya.

Selama ini bukannya Pak RT tidak pernah mendengarkan cerita-cerita mengenai bagaimana sifat Boy. Tapi ia menganggap itu sebagai kenakalan pria muda yang masih layak dimaklumi. Kejadian terakhir mengenai seseorang yang menyusup ke kamar Rahma. Berita yang paling membuatnya terkejut.

Sejujurnya jika memilih harus percaya pada Boy atau Rahma, jelas Ketua RT akan lebih memercayai Rahma. Meski jarang membaur Rahma tidak pernah melakukan sesuatu yang buruk. Terlebih lagi ia sangat mengenal Amran yang sudah seperti anaknya sendiri. Pria itu tidak pernah salah dalam memilih wanita, tapi kejadian waktu hari itu tidak bisa diputuskan hanya berdasarkan rasa percaya. Meski menyayangkan apa yang telah terjadi, Pak RT tetap tidak bisa berbuat apa-apa.

"Tali penjerat dan ponsel, mana di antara keduanya yang Anda ambil?" Imam memecah keheningan yang sudah berjeda terlalu lama.

"Ah, itu!" Boy berseru. "Bukannya kalian harus bertanya kenapa aku ke sana."

"Apa?"

Imam, Ilmi, dan Ketua RT saling bertukar pandangan yang di detik selanjutkan berakhir pada wajah Boy. Mereka melewatkan bagian itu. Alasan kedatangan Boy yang sama sekali tidak terpikirkan.

"Jadi kalian hanya berpikir berdasarkan sudut pandang korban dan sama sekali tidak peduli dengan... Ck! Kalian sama sekali enggak profesional," Boy mengomel.

"Jadi?" Ilmi menuntut penjelasan.

"Aku menerima sms. Dia yang memintaku datang, katanya ada yang mau dibicarakan," kata Boy.

Boy mengeluarkan ponsel androidnya. Awalnya ia sempat berpikir untuk menghapus pesan yang ia terima, tapi kemudian ia berpikir lagi. Pesan yang dikirim padanya bisa menjadi bukti kenapa Boy bisa berada di TKP. Ia dipanggil.

Imam, Ilmi, dan Ketua RT merapat. Benar seperti yang Boy bilang, ada satu sms yang dikirimkan ke ponselnya. Dan ketika diperiksa oleh Ketua RT, nomor ponsel pengirim memang benar milik Rahma.

Sms singkat itu berisi, 'Datang ke rumah. Saya harus bicara.'

Dikirim pukul 11.45.

"Lihat waktu dikirimnya," Boy menunjuk. "Bagaimana aku enggak habis pikir waktu kalian bilang perkiraan waktu kematiannya mulai dari jam 6-8 pagi."

"Apa ini artinya, Mas Imam?" Wajah Ketua RT berubah pucat. Sepertinya ia sama ngerinya seperti Boy ketika mendengar korban telah meninggal saat sms dikirim.

"Pelaku yang mengirimkannya atau... sms berwaktu?" Imam menjawab pertanyaan Ketua RT namun menoleh pada Ilmi seolah berkata pada wanita itu.

"Jadi bukan hantu?" Ketua RT bertanya polos. Ada helaan napas lega yang terdengar halus. Imam mengangguk dan kelegaan di wajah Ketua RT terlihat semakin jelas. Imam dan Ilmi menatap ketua RT geli, menahan senyum. Tidak menyangka pria dengan tampang garang, berbadan besar sepenakut itu.

"Jadi, di antara tali penjerat dan ponsel, mana di antara keduanya yang Anda ambil dari TKP?" Imam kembali mengajukan pertanyaan yang sama pada Boy. Pertanyaan sebelumnya yang memang belum terjawab.

"Untuk apa aku mengambil sesuatu seperti itu," Boy justru balik bertanya, tidak mengerti.

Imam kembali menoleh pada Ilmi. Ia sedang membutuhkan suntikan pendapat atau kemungkinan apa pun yang bisa saja terjadi di situasi korban, atau pelaku, atau apa pun yang memungkinkan untuk terjadi.

Ilmi menggeleng.

"Tapi... ini membuka kemungkinan pelaku juga dipanggil dengan alasan dan cara yang sama," Ilmi berkata pada akhirnya.

"Sayangnya kita bisa tahu itu benar atau tidak setelah ponselnya didapatkan."

Tidak ada tanggapan. Yang terjadi selanjutnya adalah meminta Boy memberi keterangan mengenai keadaan TKP saat pertama kali ia datang. Tapi sebanyak apa pun ditanya ulang atau diminta mengingat-ingat, tidak ada informasi yang bisa ditambahkan. Boy hanya terpaku pada keterkejutannya melihat jasad korban dan sama sekali tidak berpikir untuk memperhatikan sekitarnya barang sebentar saja.

Pembahasan lain terjadi setelah Imam dan Ilmi menyerah untuk mengorek informasi dari pria itu. Keempat orang yang berkumpul kemudian membahas mengenai rencana menarik tali pancing yang belum lama telah Imam lempar umpannya.

Ditugasi peran penting awalnya Boy menolak. Ini sama sekali bertolak belakang dengan rencana pribadinya untuk tidur nyenyak lebih awal. Tapi begitu diancam dia akan menjadi orang yang paling dicurigai sebagai pembunuh jika pelaku sebenarnya tidak tertangkap, dengan berat hati yang seberat-beratnya, Boy setuju. Ia tidak lagi bertanya. Tidak juga berencana mendebat.

***